Tak!!
Lagi... sekali lagi, kuayunkan pedang kayu di genggamanku pada musuh di depan. Sayatan demi sayatan kulakukan dengan tempo yang lumayan cepat. Namun sayang tidak ada serangan yang bisa melukainya, bahkan tidak sedikitpun. Si musuh terlalu kuat.
"Technique: Dodge!" Sesaat kaki terselimuti aura putih, lantas aku pun menerjang kembali mendatangi si musuh yang masih pada posisinya. Lagi, kedua pedang kayu kami bertabrakan lalu saling menempel. Bunyi derak kayu mengalun di telinga. Lantunan suara yang amat buruk.
"Apa itu saja kemampuanmu, Nevtor?"
Serta merta, si musuh berhasil memukul pedangku mundur sampai jarak diriku melebar beberapa meter. Kemudian, dia yang kali ini menyerang. Melayangkan dua tebasan vertikal. Namun untungnya aku bisa menangkis kedua serangan itu. Meski momentum dari sayatan tersebut merusak kuda-kuda pertahananku.
Lantaran ada celah yang terlihat, si musuh kembali mendatangiku cepat.
Kumajukan telapak tangan kanan seraya berkonsentrasi, "Technique: Blind!"
Tatkala si musuh masuk jangkauan medanku, lekas aku mengeluarkan teknik asap hitam. Saking derasnya asap itu secara cepat menyelubungi tempat si musuh. Lalu, bersamaan juga aku maju untuk menyerang lagi. Meski asap tersebut bisa membutakan penglihatan lawan, namun tidak untukku. Tentu saja karena itu kemampuanku. Akan terlihat konyol jika diriku juga terkena dampaknya.
Tak!! Tak!!
Tanpa kesulitan, dua serangan dariku dapat ditangkis begitu saja. Hebatnya lagi si musuh itu bisa melihat arah kedatanganku--titik buta--walau dalam kondisi gelap pekat.
Apakah dia semacam cenayang?
Aku lekas mundur lima meter dari si musuh. Lantaran teknik asap hitamku sudah mulai memudar. Di sisi lain, staminaku sudah sampai batas. Sudah lama sekali sejak kami memulai pertarungan. Tetapi, sama sekali tidak ada serangan yang mampu melukai si musuh. Parahnya, aku yang malah dapat luka. Yah benar-benar sulit melawan seorang Title Knight veteran kalau duel satu lawan satu. Nampak diriku harus banyak berlatih lagi.
"Baiklah, kita sudahi dulu latihan ini!" Si musuh berjalan mendekatiku. Dia yang tak lain adalah Feek, Letnan dari Title Knight.
"Sejauh ini kau sudah sedikit berkembang. Namun ada beberapa hal yang kau perlu hindari yakni menyerang dan maju secara sembarang," sambungnya. Pria berkaus tipis hitam polos itu tiba di tempatku. Otot bidangnya terlihat amat menonjol. Meski tanpa jirah sekali pun dia tetap gagah.
"Terima kasih atas koreksi anda!"
Feek memegang pundakku. "Latihan selanjutnya, aku ingin kau berkolaborasi dengan Clain," tambahnya, dia kemudian berjalan menjauh ke pintu keluar setelah mengucapkan itu.
Tempat yang kami gunakan saat ini merupakan area khusus pelatihan. Memang sekilas mirip dengan ruangan latihan yang selalu kugunakan. Perbedaannya hanyalah di sini kami dibimbing atau dilatih oleh para petinggi Title Fighter maupun Knight. Anggap saja tempat ini ruang kelas dan mereka sebagai gurunya.
Segera setelah menaruh kembali pedang kayu pada sudut dinding secara horizontal yang terdapat kayu kecil sebagai penopang, diriku berjalan menuju pintu keluar. Membuka perlahan lantas terik matahari menyorot amat menyilaukan. Satu tangan pun kuangkat untuk menghalangi sinar itu seraya melangkah di trotoar kota.
Tatkala tiba di taman, pepohoan rindang mulai terlihat menjamur di setiap sudut. Juga air mancur dan beberapa burung dara yang sekedar singgah. Di kejauhan juga ada sebuah cafetaria. Terik matahari pun tidak lagi silau. Lekas tangan kuturunkan sembari mata melihat panorama taman yang begitu indah tersebut.
Hari-hari ini diriku sibuk dengan ragam latihan. Untuk meningkatkan kekuatan sebab kedepan ada sebuah ekspedisi lanjutan. Yah ekspedisi yang waktu itu belum terselesaikan. Makanya, Feek memintaku untuk lebih fokus dalam berlatih bersamanya. Oleh sebab itu, aku sudah lama tidak merasakan suasana seperti sekarang ini.
Setibanya di asrama, aku lekas masuk dan mengambil alat mandi dari dalam kamarku. Kemudian, kulanjutkan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebab bau badan sudah cukup menyengat. Seusainya, aku pun beranjak ke ruang makan lalu mengambil makan siang berupa roti dan sepiring sup. Setelah itu mengambil kursi yang masih kosong.
Melahap makanan secara perlahan seraya melihat sekeliling. Hm... cukup sepi, tidak seperti biasanya. Mengingat tempat ini yang selalu ramai akan berbagai suara bak pasar. Namun kali sunyi seperti rumah kosong. Yah itu pun berlaku di meja makanku. Seorang diri tanpa ada yang menemani. Penghuni yang biasanya makan bersamaku tengah sibuk dengan misi-misi. Walru yang melakukan misi pengintai bersama Felicia. Tommy yang masih saja menjalani pengataran barang. Dan si mesum Jake yang sedang sibuk dengan misi pengawalan seorang putri kerajaan menuju Sektor Selatan. Satu lagi Clain... entahlah, seingatku dia tidak dalam misi apa pun hari ini. Mungkin saja sibuk dengan urusannya.
Makanan di piring telah ludes. Aku pun beranjak dari ruang makan dan pergi ke aula depan asrama. Secara hari masih terang jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar tuk menghabiskan waktu.
Langkahku tersekat tepat di taman kota. Suasana kali amat berbeda dari sebelumnya. Tempat ini sekarang didominasi pemuda pemudi yang saling mengobrol hangat di tempat duduk dari beton yang tersedia. Juga ada beberapa dari mereka yang tengah makan di cafetaria terbuka di depan sana. Kesan romantis amat kental di sini.
Apa sebaiknya aku pergi saja?
Sebelumnya bisa memutuskan itu ada sesuatu yang sudah membungkam diriku. Sebuah tepukan tangan seseorang di pundakku. Tangan putih nan berseri dengan aksesoris gelang perak yang melingkar di pergelangan. Bergaun ungu sampai mata kaki dan berambut berwarna sama. Iris mata amethyst dingin yang sangat kukenal.
Yah, itu Aurora.
"Apa yang kulakukan di sini?" Tanya gadis itu. Tatapannya masih saja sama, sedingin es. Di tambah ada sedikit aroma parfum.
"Hanya berjalan-jalan saja."
"Daripada berjalan-jalan, bagaimana kalau kau ikut denganku ke cafetaria?"
Diriku tidak menyangka dia akan mengatakan itu. Kupikir dirinya mungkin mengacuh diriku dan pergi begitu saja. Yah itu normalnya.
"Hm ..."
"Tenang saja, aku yang traktir!" Tambah gadis itu. Meski tatapan masih saja sama. Itu seperti sebuah paksaan, tetapi, mungkin bukan begitu maksudnya.
Usai kuputuskan untuk menyetujuinya, kami pun bergegas ke cafetaria yang berdekatan dengan air mancur. Memilih meja yang masih kosong dengan jaraknya jauh dari orang-orang di sekitar. Selang beberapa lama, seorang pelayan wanita berpakaian maid pun menghampiri meja kami. Dia menyodorkan lipatan kertas berisikan menu hidangan. Semuanya mengandung kafein dan juga gula. Itu cukup membuat lambung meronta-ronta.
Lantaran tidak ada yang kusuka, jadi aku memilih segela air putih saja. Gratis? Tentu saja. Jadi aku tidak perlu berhutang sepersen pun pada gadis bergaun ungu di kursi depanku itu.
"Jadi adakah hal yang ingin kau sampaikan?" Aku memulai perbincangan. Tentu saja diriku ingin tahu tujuannya mengajakku.
"Pertanyaanmu itu cukup frontal juga ya," balasnya. Ekspresi yang masih sedingin es.
"Asal tahu saja, aku tidak suka basa-basi."
Gadis itu menopang dagu. "Hm... begitu ya," ujarnya. "Bagaimana kalau selepas makan kita membicarakannya?"
Aku mengangguk pelan.
***
Lamban laun kesunyian perlahan menyelimuti kafe. Ramainya pemuda pemudi yang sedari tadi nongkrong telah beranjak pergi. Meninggalkan tiga meja yang masih dihuni termasuk meja kami. Saling bertukar pandang.
Apakah ini semacam kencan?
Gadis berambut dan bergaun ungu di depanku masih menyedot segelas jus dihadapanya perlahan. Berulang-ulang matanya melirik ke arahku dan memalingkan wajah. Tentu saja dengam atmosfir dingin. Juga ada sedikit bumbu merah di pipi. Sulit menerka apa yang dipikirkannya saat ini.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" Tanyaku tiba-tiba.
"Tunggu aku menghabiskan jus dulu."
Satu jam menunggu hanya mendapatkan penjelasan tidak berguna itu? Cukup mengesalkan.
Aku pun lantas bangkit dari kursi lalu beranjak pergi. Namun, baru satu langkah tangan kananku yang masih berada di atas meja ditahan oleh tangan gadis itu. Apakah dia belum cukup membuatku menunggu lebih lama lagi?
"Jika kau ingin bicara cepat katakan sekarang. Aku tidak mau waktuku terbuang sia-sia," tegasku.
"Ya, aku akan katakan! Jadi duduklah dulu!"
Mendengar itu, lekas aku duduk kembali. Lagi, menatap gadis berambut ungu tersebut yang kali ini memutar sedotan berulang kali. Rautnya lagi-lagi dingin. Tidak, mungkin lebih tepatnya keseriusan. Aku bisa merasakan itu.
"Sebelumnya, berjanjilah dulu padaku bahwa kau tidak akan mengatakan pada siapa pun mengenai percakapan ini," pinta Aurora lirih. Mimiknya benar-benar serius. Bahkan aku tidak menyangka dia punya ekspresi lain, setelah dingin dan malu-malu kucing.
Aku mengangguk. "Ya, aku berjanji!"
"Berjanjilah!"
"Haruskah aku mengatakan dua kali untuk meyakinkanmu?"
"Tentu saja, karena aku butuh kepastian!"
Yah, dia memang sama seperti wanita pada umumnya. Meski sikap yang terkenal dingin, di sisi lain pun dia ternyata punya sifat feminim.
"Tenang saja, aku orang yang tidak akan ingkar janji!"
"Apa itu benar?"
"Ya!"
Gadis itu menghela nafas. Mungkin sebuah kelegaan. "... Sebenarnya aku... ingin kau mengajariku cara berbicara yang baik pada orang lain!