Pukul enam pagi. Burung-burung berkicau di luar sana. Sinar mentari pun menembus jendela kaca kamarku, membuat ruangan menjadi terang dan hangat. Di tambah tetesan embun di kaca yang seperti kelereng bagiku.
Perbekalan sudah kukemas rapi ke dalam tas. Akupun lekas beranjak menuju pintu kamar lalu membukanya perlahan. Diriku keluar setelahnya dan berjalan di koridor asrama menuju pintu depan aula. Sunyi sepi, suasana itu yang kurasakan sekarang. Itu karena saat ini masih sangatlah pagi. Para masyarakat asrama mungkin masih bergulat dengan bantal mereka di kasur yang empuk.
Sesampai di luar aula, aku langsung disambut oleh ringkikan seekor kuda hitam di depanku. Di sambung sapaan hangat pemuda berambut biru gelap di kursi pengendara dengan senyuman. Dia tampak bersemangat. Terlihat dari mimik keceriaan yang menonjol. Tidaklah bisa dipungkiri sebab saat ini merupakan hari spesial baginya.
Segera aku menuju kursi penumpang di bagian belakang yang di atasnya tertutupi seterpal kain coklat. Juga pada sisi kiri dan kanan pun terdapat lubang berbentuk kotak sebagai jendela. Di lain sisi, suara derak kayu terdengar ketika kakiku berpijak pada lantai kereta yang seolah-olah akan patah kapan saja.
Usai kata, "Baiklah, kita berangkat!", dari sang kusir di depan, pecutan tali pelan dilakukan dan kuda pun meringkik kembali. Namun entah kenapa roda tidaklah bergerak sama sekali. Apa ada kendala? Tidak, lebih tepatnya ada sebuah sambutan lain. Sapaan ceria dari seseorang di balik pintu depan asrama. Pemuda pirang keriting yang rambutnya masihlah basah. Barangkali dia habis membersihkan diri. Setidaknya itulah tebakanku.
"Sepertinya kalian ingin liburan ya?" Tanya pemuda dengan tinggi 165 cm itu seraya berjalan mendekat.
"Bukan liburan. Kami hanya akan ke kampung halamanku untuk beberapa hari," jawab Clain. "Baiklah, kalau begitu kami berangkat dulu ...."
"Eh, tunggu sebentar ...,"
Ketika sang kusir hendak memacu kereta, sekali lagi pemuda pirang itu berhasil membungkam langkah kendaraan kami.
"Ada apa?" Tanya Clain.
"Ngomong-ngomong, selepas kembali boleh aku berkunjung ke kamar kalian?"
Pertanyaan spontan anak itu membuat Clain tampak terkejut dan mengerutkan dahi.
"Kenapa tiba-tiba kau meminta hal itu?" Tanya pemuda berambut biru dongkar itu lagi. Barang kali untuk memastikan.
"Yah, untuk melihat isi kamar kalian saja," jawab Walru. "Dan akupun sudah mendapatkan izin dari Nevtor juga waktu ekspedisi lalu."
Saat anak itu memasukan namaku dalam percakapannya, sontak saja tatapan Clain beralih padaku untuk sesaat. Raut yang terasa ada sedikit marah dibaliknya, meski ia tidak menunjukkannya secara langsung, aku bisa merasakan itu.
"Baiklah, akan kupikir dahulu," kata Clain. Nada suaranya sedikit lesu.
"Baik, tapi jangan lama-lama ya," pinta Walru. "Semoga perjalanan kalian menyenangkan!" Pemuda pirang itu melambaikan tangan. Namun, sang kusir tidak merespon sedikitpun.
***
Dua jam berlalu setelah kami memulai perjalanan. Melewati berbagai rute dan medan yang beraneka ragam, kami akhirnya tiba pada jalur yang memiliki pemandangan indah dan juga aroma yang semerbak di sisi kanan dan kiri.
Hamparan hijau yang terbentang luas. Di isi oleh aneka ragam jenis bunga-bunga yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan lalu-lalang lebah yang berterbangan ke sana kemari mencari nektar diantara bunga tersebut, dan tidak ketinggalan kupu-kupu yang sekedar hinggap di tangkai bunga. Juga hembusan angin pun ikut memeriahkan hingga menerbang kelopak bunga yang berhamburan di udara.
Meski suasana di luar itu ramai nan indah namun di sisi dalam kereta begitu hening dan suram seperti tidak ada kehidupan. Walau itu memang yang sebenarnya kuinginkan, tetapi disisi lain, aku juga merasa tidak menginginkan itu.
"Bagaimana Nevtor, apa kau menikmati perjalanan ini?" Sekian lama bungkam, pemuda di depanku akhirnya kembali angkat bicara. Rautnya pun sudah seperti semula.
"Ya, suasananya nyaman dan juga sejuk," jawabku.
"Mungkin kedepan aku akan mengajak Walru dan Tommy agar mereka juga bisa menikmati hal ini," tatapan Clain kembali berpaling ke depan. Tak lama ia menoleh padaku lagi. "Oh, iya Nevtor. Ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa itu?" Tanyaku untuk memastikan.
"Kau berasal dimana?"
"Bukankah dulu aku pernah menceritakannya padamu?"
"Ya, kau dulu memang pernah cerita kalau kau berasal dari Sektor Selatan, namun kau tidak mengatakan dimana tempat tinggalmu."
Aku terdiam sesaat atas pertanyaan itu.
"... Aku tinggal di desa kecil bernama Kamze," jawabku.
"Wah, tidak kusangka kau berasal dari desa juga," serunya. "Tetapi aku belum pernah mendengar desa itu sebelumnya."
"Ya, itu karena desa tersebut terpencil, jadi orang-orang jarang sekali yang mau ke sana."
"Begitu ya."
"Lalu, kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Aku ingin tahu saja. Tetapi kalau bisa akupun ingin berkunjung ke sana untuk melihat bagaimana desa tempat tinggalmu tersebut."
"Tidak ada yang spesial dari desaku. Hanya seperti desa-desa pada umumnya."
"Karena kau berkata demikian, aku jadi semakin penasaran untuk melihatnya."
-----
Sebuah dinding kayu yang terbentang luas terlihat dikejauhan depan sana, yang di dalam berisikan banyak rumah dan dua menara pada bagian pintu gerbang. Tampak juga asap pekat yang keluar dari cerobong salah satu rumah. Namun yang lebih mencolok dari tempat itu adalah sebuah hamparan berwarna kuning.
Apa itu?
Aku bertanya-tanya dan sangat penasaran.
Tepat di depan gerbang desa kami lantas disambut oleh dua pria tua yang tengah mengangkut bakul besar penuh jagung. Kemudian, pada saat perjalanan masuk lambaian tangan para penduduk lain pun menyambut kami, juga tidak ketinggalan suara anak-anak yang meneriaki dengan penuh keceriaan yang ditunjukkan untuk sang kusir.
Tampak dirinya cukup populer sekali dikalangan anak-anak.
Roda kereta berhenti pada satu rumah sederhana yang beratapkan genting yang berbalut lumut hijau. Dan saat kami beranjak turun dari kereta, anak perempuan bergaun merah muda dan berkepang dua berlari dari dalam rumah lalu memeluk erat Claid dengan tangannya yang mungil. Tak lama disusul wanita berambut biru panjang dengan celemek yang melekat di pakaiannya menyambut kami dengan suara yang lembut dan hangat.
"Bagaimana kehidupan barumu di sana, Clain?" Tanya wanita berambut biru itu dengan senyuman semanis gula.
"Cukup baik! Bahkan akupun mendapat banyak teman di sana, dan juga hal-hal baru yang bisa kupelajari," jawab pemuda di depanku yang masih membelai rambut anak perempuan di dekatnya.
"Kak Clain, apakah tempat baru yang Kakak tinggali sekarang sangat bagus?" Tanya gadis kecil itu seraya menatap sang kakak dengan keceriaan.
Clain berjongkok untuk menyamai tinggi badannya dengan anak itu, "Tentu saja! Bermacam tempat di sana begitu bagus dan juga indah. Lebih lagi, tempat itu pun sangat luas yang tidak akan membuatmu bosan jika berjalan-jalan."
Mata gadis itu berbinar-binar. Iris lapiz lazuli yang amat berkilau. "Wah, kalau begitu bolehkah aku ke tempat, Kakak?"
"Boleh saja! Tapi nanti setelah Kakak punya waktu luang lagi," sekali lagi, Clain membelai rambut anak itu.
"Janji!" Seraya menunjukkan jari kelingking, gadis itu membuat ikrar perjanjian.
Clain tersenyum simpul, ia kemudian mengaitkan jari kelingkingnya pada gadis itu, "Ya, Kakak janji! Kakak pasti akan mengajakmu ke sana!"
Keluarga yang harmonis.
Itulah yang terlihat dari pertemuan mereka yang amat hangat. Raut positif pun senantiasa terpancar di wajah mereka masing-masing, yang dimana itu adalah
ekspresi kesenangan dan keceriaan yang begitu menyejukkan.