Kota Lanc. Kota terluas di Sektor Barat. Dengan terdapat sebuah banguan menjulang tinggi bagaikan menara di pusat kota. Ketinggian yang hampir menembus awan, bangunan tersebut bisa terlihat di penjuru kota. Bahkan sampai dikejauhan wilayah luar itu pun tampak jelas. Menjadikan bangunan itu keistimewahan Kota Lanc tersendiri. Meskipun aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya.
Tak hanya bangunan menjulang itu saja, Kota Lanc juga terkenal akan pepohonan yang menyelimuti tiap tempat di kota bak hutan belantara. Memberikan kesejukan dan keindahan terasa jika berjalan-jalan di sekitar meski dalam keadaan panas. Oleh sebab itulah kota ini memiliki julukan sebagai Kota Hutan.
Ada pun perpustakaan besar yang selalu aku singgahi ketika ada waktu luang. Selain itu, Kota Lanc pun cukup ketat soal tingkat keamanan. Saat awal tiba di kota ini, aku kesulitan untuk bisa masuk. Namun berkat bantuan Pare, Jendral Title Knight waktu itu, diriku akhirnya diperbolehkan untuk menyinggahinya. Meski kota ini begitu tampak bisa dikatakan sempurna, namun nyatanya Kota Lanc tidak luput dari namanya kekurangan. Jikalau kota ini tidak mempunyai toko pandai besi. Hal itu di picu sebab wilayah Kota Lanc tidak memiliki lahan tambang. Mengharuskan kota ini menerima suplai senjata melalui kota-kota lain.
"Oh iya, ada hal yang ingin kutanyakan sejak lama padamu." Pemuda yang berjalan di sampingku mulai melakukan pembicaraan. Memecahkan keheningan. "Darimana kau mempelajari seni bela diri?" Tanyanya.
"... Aku mempelajari hal itu dari Ayahku. Beliau memberikan banyak ilmu cara bertarung dan menghindar yang baik. Ia juga mem--, yah intinya aku belajar banyak dari beliau."
Tanpa sadar aku telah mengeluarkan banyak kosa kata yang bahkan tidak harus diucapkan.
"Wah sepertinya beliau itu orang yang hebat ya. Lalu, dimana ayah sekarang berada?"
Haruskah dia bertanya hal itu?
Sebaiknya aku mengacuhkannya. Tidak terlalu penting juga.
"Maaf, jika aku menanyakan hal yang tidak sopan," ujar pemuda itu. Nada suaranya pelan.
Kesunyian kembali menyelimuti. Itu bagus.
Hendak sampai di toko yang kami tuju terlihat dua pemuda yang tampak tengah kebingungan di pintu depan. Mereka saling menyeluk-yeluk saku celana seperti sedang kehilangan sesuatu. Yah, aku merasa kalau itulah yang sedang terjadi.
"Ada apa? Apa kalian kehilangan sesuatu?" Tanya Clain tiba-tiba saat kami di tempat mereka. Membuat keduanya kontan kaget dan beralih pandang.
"Ah kak Clain," ujar pemuda berambut coklat yang masih menyelukan saku celananya. "Ya kami sedang kehilangan uang. Padahal uang tersebut untuk membeli makan siang hari ini," keluhnya. Ia tampak begitu sedih.
"Bahkan uang itu pun tabungan kami untuk bulan ini," tambah pemuda berambut pirang yang berada di samping pemuda berambut coklat.
Kedua pemuda tersebut merupakan Title Physical yang seangkatan denganku. Pemuda berkaus hitam polos, berambut coklat gelap pendek dengan iris mata coklat terang itu bernama Tommy. Sedangkan satunya, berambut pirang keriting dan mengenakan kemeja putih lengan panjang, dengan iris mata merah ruby tersebut bernama Walru. Tinggi mereka sama-sama 165 cm. Membuatnya terlihat seperti anak kembar. Umur keduanya 17 tahun, tiga tahun lebih muda dariku. Tetapi meski begitu, kemampuan mereka sangat hebat. Bahkan keduanya mendapat peringkat pertama dan kedua pada [1] Tes Simbolis.
"Kalau mau, aku bisa mentraktir kalian. Tetapi ... jangan pilih makanan yang mahal-mahal ya," tawar Clain sambil mengusap-rambut rambut. Dia terlihat seperti ayah bagi mereka, menurutku.
"Benarkah?" Mata anak berambut coklat itu berbinar-binar. Dia mendapat respon mengangguk dari sang pemuda yang memberi tawaran hingga melompat kegirangan.
"Terima kasih, kak Clain!" Ucap Walru sambil membungkuk 90 derajat. Anak itu terlihat lebih sopan ketimbang pemuda di sampingnya.
Clain tersenyum melihat tingkah mereka. Mungkin ia sekarang telah menjadi ayah yang bisa menyenangkan kedua anaknya.
Segera setelah membeli makan siang kami pun segera untuk kembali ke asrama. Namun saat dipertengahan jalan, Clain mendadak mengatakan akan pergi ke suatu tempat. Dia pamit dan pergi secara terburu-buru. Sepertinya itu urusan penting.
Kami melanjutkan perjalanan. Melangkah sunyi di jalan trotoar yang minim orang yang lalu lalang. Tidak seperti sebelumnya yang ada obrolan, kali ini Tommy dan Walru hanya diam. Tetapi setidaknya itulah yang kuinginkan. Sebab diriku saat ini sibuk menikmati indahnya panorama kota. Akan mengecewakan jika melewatkan hal tersebut.
Lama perjalanan akhirnya kami tiba di asrama. Serentak kedua anak yang bersamaku pun beranjak masuk ke dalam tanpa kata ataupun ekspresi yang ditunjukkan.
Apakah wujudku ini cukup menakutkan bagi mereka?
-----
Diriku bergegas menuju ruang makan yang berisikan deretan kursi dan meja yang di tata sejajar dan rapi. Juga dipenuhi para Titlelist yang asyik mengobrol dan sibuk menyantap makan siangnya. Tidak ketinggalan orang-orang yang bercanda ria dan membuat kegaduhan. Menjadikan seisi ruangan begitu ramai bagaikan pasar.
Beranjak aku mengambil kursi bagian belakang yang hanya di isi oleh dua orang. Setidaknya bukan di sisi tengah yang berisi banyak sekali kata-kata dan keributan yang bising. Di sini cukup tenang dan damai. Terhindar dari hal negatif, bahkan konflik.
Aku segera membuka bekal makan siangku dan mulai melahapnya perlahan. Namun, saat hendak melakukan suapan kedua, sontak saja ada pegangan seseorang menempel lengket di bahuku. Membuat gerakan tanganku yang bersiap memasukkan makanan harus terhenti sejenak.
Jake muncul dari belakangku dengan ekspresi cerianya. Dia pun ikut andil dalam kegiatan makan siangku. Bahkan dirinya tidak segan-segan mengusir dua orang yang sedari tadi duduk di sampingku. Membuat keduanya terpaksa pergi sambil memasang mimik kesal.
"Kalau kau ingin makan setidaknya ajak aku dong!" Gerutunya. Dia kemudian membuka bungkus bekalnya yang sudah agak acak-acakan. "Aku jadi harus makan sendiri dan harus merasa jenuh tanpa ada yang peduli. Tapi kalau ada gadis, mungkin aku tidak akan kesepian, hehe."
Dia mulai melahap makan siangnya usai melontarkan keluhan. Bahkan dia menyempat untuk membahas gadis-gadis, seakan-akan yang ada dipikirannya hanyalah satu hal.
"Oh iya Nevtor. Apa kau melihat Clain? Sejak tadi aku tidak melihat di mana pun. Bahkan di kamar mandi ia juga tidak ada," tambahnya. Ia sampai memperkirakan bahwa Clain ada di kamar mandi. Kemesumannya benar-benar totalitas.
"Dia tadi bersamaku. Namun ia mendadak pergi karena ada urusan," jawabku.
"Ke mana?"
"Entahlah, dia tidak mengatakannya."
Jake menopang dagu. "Hm ... dia pasti ingin menghindariku karena tahu kalau aku ini lebih tampan darinya, hehe." Dia cukup bangga atas ucapannya tersebut. Aku bahkan tidak mengerti apa yang diutarakannya itu.
***
Langit sore hari ini begitu cerah. Dengan matahari berwarna jingga yang bagaikan sebuah jeruk raksasa dihamparan langit sana.
Sore ini aku tengah di sebuah gedung yang menyimpan banyak pengetahuan dan informasi. Singkatnya perpustakaan. Tempat yang besar dan luas yang di dalamnya terkelilingi rak-rak raksasa dengan banyak buku yang tersusun rapih. Juga suasana di sini sunyi. Seperti yang kusuka.
Saat mengambil tempat duduk yang biasa kugunakan, tiba-tiba saja gadis berambut ungu mendahuluiku. Gadis yang membuat Jake terpukau waktu itu telah merubah tampilannya. Kini ia mengenakan gaun ungu lengan panjang dengan rumbai-rumbai di sisi tangan dan leher. Sangat terhubung dengan iris mata dan rambutnya. Di tambah aksesoris kalung berbentuk bulan sabit yang melekat di lehernya, ia terlihat begitu mencolok. Bahkan raut dingin pun seakan tenggelam dalam tampilannya itu.
Lembar demi lembaran buku berganti. Diriku telah membaca sekitar tiga buah buku. Tentunya pengetahuan yang kudapat begitu banyak. Bahkan, sudah melebihi kapasitas memori di kepalaku. Lebih lagi, aku sampai tak sadar kalau hari sudah mulai gelap di luar sana.
Aku beranjak dari kursi seraya membereskan buku-buku yang tadi kubaca, lalu menuju meja pustakawan untuk mengembalikan. Dan terlihat gadis berambut ungu itu masih sibuk dengan buku yang dibacanya. Terlebih matanya pun tidak lepas dari benda tersebut, seakan dirinya telah tenggelam dalam dunianya sendiri dan tidak memperdulikan apapun. Hingga tak lama, ia mulai berpaling. Sorot tatapannya beralih padaku. Iris mata yang bagaikan amethyst tersebut begitu dingin hingga langkahku membeku saat menatapnya.
Dia hanya diam dan terus melototiku. Dia seperti akan melahap diriku.
=====
[ Tes Simbolis : Sebuah tes untuk menunjukkan kelayakan menjadi seorang Titlelist ]