Pria berambut putih berantakan dengan Iris se-hijau emerald itu menatap kami penuh intimidasi. Terlebih kami sempat terperanjat sebab dirinya masih bisa sadar setelah mendapat dua tinju keras dari Walru.
"T-tidak mungkin! Seharusnya tinjuku suda--"
"Sudah mengalahkanku?" Sela Baff. "Memang benar seranganmu tadi cukup kuat yang membuat siapapun pasti tumbang. Namun, berkat kesigapanku, juga bantuan bilah pedangmu tadi, aku bisa meminimalisir hantaman itu."
"Bilah pedangku? Apa maksud?" Tanya Walru.
"Ya, bilah pedangmu yang kini menjadi pelindung di tubuhku," jawabnya. Kami tetap tidak mengerti apa maksudnya.
Melihat kami yang kebingungan, pria itu menaikan sudut kiri bibirnya lalu membuka perlahan jubah yang melekat di tubuhnya. Memperlihatkan kedua lengan atas yang berotot dan luka sayat yang begitu panjang di sekitar dadanya yang bidang. Tetapi, tatapan kami lebih berfokus pada hal lain. Sesuatu yang menempel di antara bagian perutnya. Semacam perak yang tampak seperti sebuah perisai.
"'Devouring'. Sebuah teknik yang mampu melahap apapun, juga bisa merubah ulang pecahan dari sesuatu yang dilahap menjadikan benda yang baru," jelas pria itu.
"Memang benar, saat meninju perutmu tadi tanganku merasakan sesuatu yang keras," ujar Walru seraya mengepal-epalkan tangan kanannya yang sedikit mengalami memar. "Akan tetapi, walau bisa selamat sekarang, tetap saja kau tidak memiliki apapun lagi. Bahkan kau juga sudah memperlihatkan kartu As-mu yang di mana aku tidak akan menyerang pada bagian tersebut," sambungnya. Pemuda berambut pirang itu menatap tajam lawan bicaranya.
"... Oh, maksud ini ...." Baff melepaskan perisai perak yang menempel di perutnya. Menjatuhkannya ke lantai menciptakan suara cukup nyaring. "Benda itu memang tidak kuperlukan lagi. Sekarang, untuk mengalahkan kalian tidak perlu ada bantuan lainnya." Dia kembali menaikan sudut kiri bibirnya. Senyuman berbumbu kesombongan. Tidak, lebih tepatnya kepercayaan diri.
"Selain itu, tentang perkataanmu tadi, 'Senjataku bukan sekedar pedang ini saja, aku bisa menebaknya jikalau senjata itu adalah ... tekad, bukan?" Tambahnya. Hal itu membuat Walru terbelalak. Akupun sempat sedikit terperanjat.
"Bagaimana kau bisa tahu hal tersebut?" Tanya Walru.
"... Sebab, aku dulunya seorang Title Physical. Dan diriku mendapatkan kata serupa dari Pare, Jendral Title Knight." Lagi-lagi ucapannya membuat mata pemuda pirang itu kembali terbelalak, bukan, namun kami semua. Di samping itu, pria tersebut sepertinya tidak berbohong.
"K-Kau ... seorang Title Physical," ujar Walru terbata-bata. "Jika itu benar, kenapa kau melakukan ini semua?!" Nada pemuda itu sedikit meninggi.
"Karena melakukan ini semua lebih menguntungkan daripada melakukan berbagai misi ataupun Ekspedisi konyol yang seperti kalian lakukan saat ini. Juga hal itu, hanya membuang-buang waktu dengan hasil yang minim," balas Baff santai. Itu memicu kekesalan di mimik sang pemuda pirang.
"Konyol, membuang waktu katamu?! Apa tujuanmu itu hanyalah demi uang semata?!" Ketus Walru seraya mengepalkan erat kedua tangannya. Dia sempat ingin melangkah namun kembali diam.
"Tentu, uang adalah segalanya. Daripada menerima pencapaian dan gelar yang hanya formalitas semata agar dirimu bisa menjadi tontonan orang-orang yang melihatnya. Bahkan itu sama sekali tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupmu, menggelikan sekali." Pria itu masih bersilat lidah dengan senyum tipisnya.
"Hmph... seperti dia sudah rusak oleh uang," celetuk Aurora lirih.
"Baiklah cukup obrolannya," ujar Baff, ia beralih memasang mimik tajam. "Aku ingin mengakhiri ini sekarang juga. Dan tentunya, tujuanku membawa gadis itu tidak boleh menunggu lama." Dia menatap Aurora dengan rasa haus memburu. Di sisi lain, gadis dingin itu tampak acuh. Dia seperti tidak peduli pada kondisi apapun yang akan menimpanya.
"Maaf saja, tapi aku akan mengalahkanmu sekarang tanpa ampun," timpal Walru.
"Membawaku? Orang payah sepertimu tidak mungkin bisa mengalahkanku," tambah Aurora.
Baff tertawa. "Sebenarnya tadi aku belum serius loh ...." Pria itu langsung menerjang maju. Di susul Walru dari arah berlawanan.
Buk!!
Tibs di satu titik, mereka saling meninju, menendang, semua dilayangkan demi menjatuhkan satu sama lain. Menghatam titik yang tak terlindungi. Keduanya pun sama-sama seimbang dari segi bertahan maupun menangkis. Belum ada satu serangan pun yang berhasil mendarat di tubuh dua petarung tersebut.
Sett!! Pukulan uppercut dari Baff nyaris menghantam dagu sang pemuda pirang. Kemudian, Walru membalas dengan tinju dan tendang lurus. Namun hal itu sama sekali tidak berkesan. Pertahanan dari pria berotot itu tampak mutlak. Tapi setidaknya pemuda tersebut berhasil melebarkan jarak lawannya.
"Masih belum ...." Dengan cepat Baff balik mendekati pemuda pirang yang saat ini tengah mengatur nafas.
Secara reflek, Walru langsung membentuk perlindungan dengan kedua tangan yang silangkan sesaat pukulan hendak menghantam dirinya. Sementara itu, Baff memasang mimik menyeringai kemudian melompati tubuh pemuda tersebut dan mendarat tepat di belakangnya. Sontak hal itu membuat panik Walru bahwa ia tidak menyadari musuhnya mengambil titik butanya.
"Skakm--"
"Technique: Lightning Slash!" Tanpa terduga dan cepat Aurora ikut andil dalam pertarungan kedua lelaki itu dan melesatkan pedangnya yang berselimuti percikan listrik kuning pada Baff.
Cress!!
Bilah pedang gadis dingin itu membelah angin dan memberikan gemuruh kilatan guntur. Namun sayangnya, sasaran telah hilang sebelum serangan itu mampu mengenainya. Saat ini Baff tengah di udara seraya tertawa lepas. Kemudian, ia pun menjulurkan tangan kirinya dan muncul molekul asap yang lalu pecah menimbulkan gelombang kabut putih tebal menyelubungi tempat mereka bertiga.
Tak lama dari balik kabut tersebut hembusan angin kencang muncul dan menerbangkan asap putih itu begitu cepat ke udara. Tidak tersisa sedikit pun. Wujud sang gadis dingin pun kembali terlihat. Namun, sebelum mukanya bisa berpaling ke arah lain, ia dihadapkan oleh sebuah tendangan tepat di wajahnya.
Buak!! Wajah putih nan bersihnya kini bercampur tanah kotor. Tubuh Aurora pun terlempar cukup jauh lalu mendarat kasar secara telungkup. Bersamaan pedangnya yang tertancap tepat di depannya.
"Dasar ... untuk melawan keroco seperti kalian saja aku sampai seserius ini." Pria berotot itu berselebrasi seraya kaki kirinya menginjak tubuh Walru yang terkapar tak berdaya di tanah. Pemuda pirang itu meringis kesakitan lantaran tubuhnya terus dihantam oleh injakan kaki.
"Dua beres, tinggal satu lagi." Setelah ia cukup memandangi keroco--Aurora dan Walru--dia beralih minat padaku. "Hey bocah! Kenapa kau diam saja. Apa kau takut padaku?" Ujarnya.
"Tidak sama sekali!"
Pria menaikan alis. "... Aku sempat heran denganmu. Kenapa kau tidak ikut menyerang secara bersama dan membantu teman-temanmu."
"Jika aku ingin andil mungkin diriku akan bernasib sama seperti gadis itu. Atau, mungkin saat ini aku sedang meringankan bebanmu agar tidak mengkroyokmu dan membuat kalah dengan cepat," tukasku.
Kali ini dia mengerutkan dahi. "Huh?! Meringan bebanku? Walau kalian menyerang bersamaan pun hal tetap tidak akan berguna."
"Yah, kalau begitu berarti aku menghindari kemungkinan terburuk."
"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau ocehkan. Tetapi aku cukup kagum padamu yang bisa mengalahkan Yeter dengan mudah."
"Pengguna sihir itu tidak memiliki bela diri sama sekali, jadi cukup mudah ditumbangkan dalam pertarungan jarak dekat," jelasku.
"Yah, kau memang benar ...," pria itu menaikan sudut kiri bibir bersamaan menatapku tajam, "... tetapi, meski kau bisa mengalahkan Yeter, jangan pikir kau bisa mengalahkanku cukup mudah." Dia meregangkan kepalan kedua tangannya secara bergantian. Sempat terdengar bunyi tulang saat ia melakukan itu. Kemudian, pria itu pun beranjak mendekat.
"Kalau begitu, aku tidak perlu menahan diri."