Sore berganti malam. Terang berubah gelap.
Angin dingin menerpa tubuhku yang melekat mantel hitam. Menusuk kulitku yang tidak terlindungi oleh apapun. Meski aku tidak sedikipun peduli akan hal itu. Saat ini yang kupedulikan hanyalah kemenangan atau kekalahan. Melawan seseorang yang tengah dihadapanku sekarang. Pertarungan yang menentukan siapa yang akan menjuarai kondisi yang terjadi selanjutnya.
Dia ataukah diriku.
Kami saling menatap lekat penuh keseriusan. Memikirkan sebuah rencana untuk menumbangkan satu sama lain yang tidak dapat di tebak jalan pikir, baik diriku maupun pria tersebut. Pondasi tangan dan kaki telah kuperkuat untuk menjadikannya alat tempur nantinya. Dan tentunya, aku juga mempersiapkan tenaga sebagai pendukung untuk memaksimalkan serangan. Meski sayangnya, latihan berpedangku selama sebulan tidak bisa gunakan saat ini. Sebab pedang yang kumiliki telah hancur lebur menjadi serpihan tidak berarti.
Awan-awan yang menutupi bulan perlahan-lahan bergerak. Cahaya rembulan kembali menyinar tempat kami yang semula gelap gulita. Dedauan berjatuh dari tangkai pohon dan tertiup melewati pandang kami. Keheningan menyeruak setelahnya.
Tap!!
Dengan waktu yang bersamaan kami menerjang maju seraya mengepalkan tangan. Tarik-menarik bagaikan kutub magnet. Bersiap bertemu di satu titik.
Kuayunkan satu pukulan lurus bertepatan ketika kami saling bertemu. Di susul pria itu yang juga melakukan tinju serupa. Dan tentunya serangan kami sama-sama bertabrakan tepat di kelima jari dan momentumnya langsung menyeruak menyebabkan rasa sakit yang luarbiasa.
"Cih ...." Desis Baff, ia melebarkan sedikit jarak lalu melakukan tendangan samping menuju sisi tubuhku.
Dengan respon dan reflek, aku menahan serangan itu dengan pergelangan kanan. Di waktu yang sama juga serangan tambahkan dikerahkan pria tersebut. Pukulan lurus melesat tepat menuju perutku.
Buak!! Tinju tersebut tepat mengenai sasaran membuat jarak diriku melebar. Kemudian, aku membalas. Tinju lurus dengan tenaga penuh kuluncurkan dan menghantam pipi Baff hingga sedikit darah muncrat dari mulutnya. Lalu kulanjutkan dengan tendang sabit. Namun sayang, pria tersebut mundur sebelum seranganku bisa mengenainya.
"Lumayan!" Pria itu menyeka darah yang membasahi bibirnya. Setelahnya, dia pun kembali mendatangiku, bersamaan dengan diriku yang juga maju.
Malam yang sunyi nan dingin kini dimeriahkan hingar bingar jual beli pukulan. Meski hembusan angin begitu menusuk-nusuk, namun itu tak mampu menghentikan pertarungan kami. Adrenalin kami masihlah membara seperti kobaran api.
Dua pukulan mendarat akurat di pipi dan perutku, sedangkan satu tinju keras dariku menghantam perut pria berotot tersebut membuat jarak kami saling melebar di waktu yang hampir bersamaan. Pada saat itu juga kami saling memajukan telapak tangan.
Baff memajukan tangan kiri. "Technique: Smog!"
"Technique: Blind!" Dengan sedikit berkonsentrasi, aku memajukan tangan kanan.
Pada timming yang sama, kabut putih dan asap hitam keluar deras dari telapak tangan kami. Menyelubungi begitu cepat persekitaran dengan warna yang bercampur aduk. Meskipun itu mengurangi penglihatanku, namun hal tersebut tidak merusak indera pendengaranku.
"Di sana ...." Aku lekas menunduk dan sebuah pukulan lurus pun meluncur melewati atas kepalaku.
Setelah memperkuat pondasi kepalan tangan, aku lekas mendorong tinju uppercut yang kemudian menghantam dagu musuh dihadapanku yang tengah membeku. Membuat dirinya terbang di udara dengan darah yang muncrat dari mulutnya.
Angin bertiup kencang setelahnya. Membersihkan asap dan kabut dari tempat yang menyelimuti tempatku. Perlahan-lahan penglihatan diriku kembali sedia kala. Dan dikejauhan terlihat pria berotot yang terlentang lemas di tanah berdekatan dengan Aurora. Dia belum tumbang sama sekali. Pria itu kuat.
"Aku menang!" Seru batinku seraya memegangi perut yang lumayan sakit. Bahkan kaki yang terkilir pun kembali memilukan. Diriku benar-benar sudah sampai batas.
"D-Dasar keroco sialan!!" Ketus pria itu. Dia kemudian bangkit dan bertatih-tatih berjalan mendatangi Aurora yang terkapar pingsan. Lalu mengangkat gadis itu dan menghadapkan tubuhnya ke arah yang di mana aku bisa lihat penampilan Aurora yang kotor penuh debu.
"Menyerahlah, kalau kau ingin gadis ini selamat!" Seraya membelengu tubuh dan menodongkan pedang ke leher Aurora, pria berotot itu mengacam dari jauh dengan suara parau.
"Setelah terdesak, kau malah melupakan perkataanmu tadi," cetusku.
"Huh?! Apa yang bicarakan?!"
"Tadi kau bilang tidak akan menggunakan bantuan lainnya. Dan sekarang kau malah menyandera seseorang," timpalku. "Payah sekali, kau menelan ludah sendiri!"
"Hmph, itu hal yang berbeda! Menyandera bukanlah bantuan!" Tegasnya ketus. Pria itu berupaya bersembunyi dibalik argumennya.
"Tetapi bukankah itu membantumu agar tidak dapat menyerang? Lebih lagi, kau mendapat keuntungan akan hal itu, bukan? Berarti itu sama saja seperti bantuan."
"Cih... terserah apa katamu. Mau bantuan atau apalah aku tidak peduli. Dan jangan kau berpikir bisa memprovokasi dengan ucapanmu itu!!" Dia menatap nanar diriku. Setelah bersembunyi ia akhirnya menunjukan kenyataannya, meski dia masih saja mengelak.
"Payah, sekarang kau baru mengakuinya. Kau benar-benar orang yang kikuk ya."
"Diam!!!" Bentaknya. "Jika kau bicara lagi akan kubunuh gadis ini!" Dia semakin memajukan pedang di genggamnya ke tenggorakan Aurora.
"Jika kau membunuhnya maka dirimu akan kehilangan hadiahmu, ingat!"
Meski aku mencoba menenangkan diri dari balik perkataan semua itu, namun nyatanya posisi diriku tidak mampu melakukan apapun saat ini. Terlepas dari pertarungan tadi tenagaku sudah benar-benar terkuras. Di tambah luka yang kuderita semakin mempersulit diriku bergerak. Memenangkan pertarungan sekaligus menyelamatkan Aurora yang tengah disandera, spekulasi dariku untuk berhasil dari kondisi tersebut mungkin hanya satu digit angka saja.
Aku dalam kondisi yang tidak bagus.
Tatkala di saat ketidak berdayaan itu, sebuah ide terbesit tepat di bawah kakiku. Sebuah hal yang mungkin bisa digunakan untuk mengendalikan situasi sekarang.
Aku lekas mengambil benda tersebut. "Ini! Aku mempunyai hadia--"
"Jangan coba-coba kau melakukan apapun," sosornya ketus.
"Tenang saja! Ini hanya batu," kataku. "Tangkaplah, sebagai hadiah atas kemenanganmu!" Sebuah kerikil kecil kulemparkan padanya. Dengan sigap pria itu menangkapnya. Lupa bahwa sesuatu yang penting terlepas dari genggamanya.
"Technique: Dodge!" Di waktu bersamaan, aku menerjang maju dengan cepat dan menangkap tubuh Aurora yang hendak terjatuh. Kemudian lekas menjauh dari jangkauan pria itu. Di sisi lain, aku merasa sakit pada kakiku.
"Sialan! Beraninya kau membo--"
"Baik, cukup sampai di sini saja!"
Mendadak terdengar siluet suara seseorang di belakang pria itu. Membuat Baff seketika terperanjat dan memalingkan pandangannya. Pada itu juga kabut putih tiba-tiba muncul dan membanjiri wilayah mereka berdua. Kemudian sesosok orang--pria berotot itu melompat dan berlari menjauh dari kami. Namun sayangnya ada seseorang yang menghadang dan membungkam langkahnya.
"Kau pikir bisa kabur dariku?" Pria berjirah biru terang dan berambut merah itu memberikan senyum tipis pada Baff yang tengah keringat dingin. Sampai-sampai keringat dari dahinya menetes ke lantai.
"Cih... Technique: Crush Blow!" Pria berotot itu mengangkat kepalan tangan tinggi-tinggi, lalu meluncurkan pukulan dahsyat menyebabkan deru angin yang kencang.
Namun miris, tinju hebat tersebut tidak mampu menggores Feek sedikitpun. Cengkeraman tangannya yang kokoh mampu menghentikan pukulan yang mungkin sebuah serangan pamungkas dengan cukup mudah. Bahkan senyum pria berjirah itu pun tidak memudar sedikit pun. Dia juga masih berdiri kokoh tidak bergeming.
"Baiklah, sekarang giliranku!" Aura biru tiba-tiba muncul dari tangan kanan Feek yang dikepalkan. Membuat pria dihadapannya hanya membatu di tempat yang mungkin sudah kencing di celana.
Buak!!
Pukulan dilesatkan oleh pria berjirah tersebut dan menghantam pipi Baff cukup keras. Membuat pria berotot itu terpental sangat jauh dan mendarat terseret-seret ke tanah. Menerbang debu-debu ke udara. Dia terlentang dan pingsan seketika dengan mulut menganga, juga wajahnya yang babak belur sebelah.
Pria berjirah itu berjalan menghampiri diriku yang tengah membopong Aurora dengan kedua tangan. "Kau tidak apa-apa, Nevtor?"
"Ya, aku baik-baik saja!"
"Lalu Aurora?" Tanyanya.
"Tenang saja, dia hanya pingsan!"
"Syukurlah!" Pria berjirah itu berjalan kembali mendatangi Walru yang tengah bertatih-tatih berjalan. Pemuda pria tersebut tampak kesakitan.
"Sepertinya kau terluka parah Walru," ujar Feek.
Walru tersenyum tipis. "T-Tidak apa-apa! Ini hanya luka ri ..., Ouch ...." Pemuda berambut pirang itu memegangi tangan kanannya erat.
"Maaf, aku terlambat datang," ujar Feek. "Sebab waktu itu aku mendapat sedikit masalah yang di mana diriku terkena perangkap ilusi setiba di tempat penelusuran," jelasnya.
"Jadi, memo itu benar jebakan?!" Walru terkejut. "Lalu, apakah anda baik-baik saja?"
"Aku baik saja! Meski awalnya aku cukup kerepotan untuk keluar dari ilusi tersebut. Dan selain itu, tampaknya salah satu kelompok kriminal ini memiliki penyihir ilusi."
"Penyihir ilusi?" Bola mata pemuda itu memperhatikan Yeter dan Baff yang tidak sadarkan diri secara bergantian. "Kedua orang kami lawan itu sama sekali tidak memiliki kemampuan semacam itu. Apakah berarti ketua mereka atau anggotanya bernama Loudd?" Seraya menempelkan kelima jarinya di dagu Walru menerka-nerka.
"Kita kesampingkan itu dulu. Prioritas utama kita sekarang adalah membawa kedua orang itu dan kembali ke kota untuk menunggu perintah selanjutnya," tegas pria berjirah itu.
***
Malam semakin memperlihatkan kegelapannya. Bintang-bintang pun menghiasi hamparan langit dengan keindahan setiap rasi yang terbentuk. Juga bulan pun ikut andil memeriahkan dan mengikuti langkah demi langkah perjalanan kami dengan bentuk bulatan yang begitu terang. Bagaikan sebuah lampu raksasa yang mengikuti kemana saja dan tidak redup sedikitpun.
Roda kereta berputar terus menerus. Di iringi tapak kaki kuda yang juga sama temponya. Membawa banyak orang yang terdiri dari satu kusir, tiga penumpang aktif yang sedang duduk dan tiga penumpang pasif yang tengah berbaring. Menuju tempat pemberhentian. Kota Lanc.
"Maaf tadi aku tidak dapat membantumu, Nevtor." Sang pemuda pirang mulai berbicara tiba-tiba dengan mimik murung. Memecah keheningan sesaat.
"Tidak apa-apa! Lagipula kau dalam posisi yang tidak bagus, jadi sudah sewajarnya aku akan melakukan apa yang kubisa untuk mengatasi situasi buruk tadi," jelasku.
Walru menunduk kepala. "Andai saja waktu itu aku tidak gegabah, mungkin kau dan Aurora tidak harus mengalami luka seperti itu." Raut pemuda itu masihlah murung. Mungkin penyesalan masih menyelimutinya.
"Kadang seseorang juga pernah mengalami kesalahan, bukan? Jadi kau tak perlu mencemaskan itu," tegasku. Aku berupaya untuk mencair suasananya. Namun tampak itu masih sulit.
"Meski kau berkata demikian, tetap saja aku--"
"Bahkan orang yang seceria dan bersemangat sepertimu bisa mengalami penurunan emosi juga ya."
Suara itu terdengar dari salah seorang yang tadi tengah berbaring. Mengalihkan pandang kami padanya yang baru saja sadar dari fase pingsan selama beberapa jam.
"Wah, kau sudah sadar Aurora." Walru menatap gadis berambut ungu nan dingin itu sambil tersenyum kecil.
"Sudah berapa lama aku pingsan?" Tanya gadis itu.
"Cukup lama!" Jawab pemuda pirang itu.
"Hmph ...," sang gadis dingin itu beranjak berdiri, "... ini semua salahnya!" Seketika ia menendang pria berotot yang tengah tepar tak berdaya yang berada di samping kanannya. Tendangan yang kuat membuat tubuh pria itu bergeser jauh dari tempat awal.
"Hei, jangan lukai tahanan kita!" Perintah itu berasal dari pria berjirah yang sedang duduk santai.
Gadis dingin itu kembali duduk. "Maaf!" Ujarnya singkat. Meski tanpa ekspresi terukir sedikitpun di wajahnya. Yah, itu hal yang lazim.
"Sepertinya mood-mu sedang tidak bagus ya," ujar Walru masih tersenyum tipis.
"Bukankah sejak awal dia sudah seperti itu," sahutku.
"... Apa kau sedang mengejekku?!" Tatapan dingin itu beralih menyorotku. Penuh nanar, bukan, lebih tepatnya penuh intimidasi.
"Aku hanya menyampaikan pernyataan saja."
"Hmph ...." Wajah gadis itu seketika berpaling cepat ke arah lain. Dia nampaknya tidak mau melihat diriku lagi.
"Ngomong-ngomong, Aurora. Saat kau tengah disandera oleh pria itu, Nevtor yang menyelamatkanmu tadi," ungkap Walru tiba-tiba.
"Kalau begitu, baguslah." Wajah gadis itu tidak bergeming sedikitpun.
"Apa begitu caramu berterima kasih kepada seseorang?" Timpalku.
"Haruskah aku mengucapkan hal tersebut?!" Setelah dirinya menghindari kontak mata denganku, dia kembali menatap diriku. Ekspresi sama yang ia tunjukkan. Bahkan tidak memudar sama sekali.
"Yah setidaknya berucap seperti itu lebih baik ketimbang katamu tadi." Perkataan tersebut rupanya malah mendapatkan respon pedas dari gadis yang sedang kutatap saat ini. Ingin sekali aku memalingkan wajah. Namun, tampaknya mustahil.
"Baiklah, cukup pertengkaran kalian berdua," celetuk Feek. Masih dalam kondisinya. "Bukankah akan lebih bagus kalau kalian saling mempererat pertemanan untuk memperbaiki kerja sama kalian yang penuh lubang tadi."
Mendapat hikmah dari perkataan barusan kami bertiga hanya terdiam tidak dapat berkata-kata. Tidak bisa dipungkiri jikalau hal itu memang benar adanya. Sebuah ucapan yang tidak terelakan lagi bagi kami.
"Pertemanan, huh?!" Batinku.