"Jika ingin menang ... kita harus bekerja sama!" Gadis dingin itu mengucapkan kata mengejutkan.
Meski itu benar, namun di sisi lain hal itu juga sulit. Melihat hubungan kami yang tidak begitu baik, belum sepaham satu lain, melakukan sesuatu semacam 'Bekerja sama' itu tampaknya mustahil. Di tambah lagi, tak ada tanda-tanda tanggapan Walru sedikit dikejauhan sana. Dia hanya membisu.
"... Yah, aku memang tidak suka sifat kalian ...," pemuda pirang keriting yang sedari tadi mematung mulai beranjak mendekati aku dan Aurora, "... tetapi tetap saja, kita ini adalah seorang Titlelist Physical yang sama. Dan akan buruk jika saling membenci. Mungkin hal tersebut bisa merusak ekspedisi ini," lanjutnya, dia berhenti tepat di tempat kami.
"Apa itu saja yang ingin katakan?" Gadis dingin itu bertanya.
"Tidak!" Jawabnya. "Namun, ada hal lain yang ingin kuberitahu pada kalian." Dia menatap kami penuh keseriusan.
Walru mengajukan rencana yang buatnya. Lantaran tidak pilihan lagi, kami pun menyetujui itu. Tinggal berdiri manis menjadi pendengar. Tahap demi tahap, aku mencoba memahami yang katakan pemuda itu. Meski di sisi lain, Aurora tampak acuh tak acuh. Entah ia menyimak atau tidak. Namun yang pasti, akhirnya satu ke satuan rencana telah sepenuh aku pahami. Dengan mempertimbangkan risiko semuanya pun beres.
"Nevtor, Aurora. Aku mengandalkan kalian!" Pemuda pirang itu memberikan isyarat jempol pada kami. Dia kemudian menghunuskan pedangnya lalu menerjang maju ke arah pria bertudung yang tengah terdiam.
Itu sesuai rencana.
"Technique: Triple Slash!" Meliuk-liuk di tiga titik yang berbeda, tubuh Walru melesatkan secepat ke depan bagaikan halilintar.
Cringg!! Logam bergemerincing nyaring. Mengalun di telinga kami sesaat pedang milik Walru beradu keras dengan kedua belati pria bertudung tersebut. Mereka saling berupaya mendorong dan bertahan.
"Kau lumayan juga ternyata! Aku sedikit terkejut dengan teknik-mu yang cepat tadi," ujar Baff. "Tetapi, meski begitu aku masih bisa melihat loh. Bahkan kau melakukan hal itu secara terbuka tanpa perhitungan, konyol sekali."
"Begitu ya," timpal Walru. "Kau benar. Itu memang konyol! Dan entah kenapa aku melakukan secara sadar."
Baff tertawa keras. "Bahkan kau melakukan secara sadar? Kau ternyata bukan saja aneh, namun juga bodoh rupanya."
"Begitu ya!" Walru terkekeh, ia kemudian melepaskan posisinya kemudian melebar jarak sedikit pada musuh dihadapannya yang saat ini memasang raut angkuh.
"Tetapi ... meski aku bodoh seperti yang kau kira, namun tidak sepenuhnya kau mampu memahami kebodohanku saat ini," sang pemuda pirang itu tersenyum tipis lalu menghadapkan pedangnya ke belakang. Sesaat aura keemasan menyelimuti mata bilahnya, "Technique: Crush Slash!"
Sayatan horizontal berkilau emas melintas tepat di muka pria bertudung yang terperanjat. Dengan spontan ia pun berusaha menahan menggunakan kedua belati-nya. Namun apa daya, kekuatan tebasan tersebut lebih kuat ketimbang usahanya. Mengakibatkan pipinya terkena sabetan, juga membelah kedua belati di genggamannya.
"Sialan!" Baff berdecak kesal seraya mencoba mundur perlahan. Namun hal itu tidak biarkan oleh Walru. Anak itu lekas memasang kuda-kudanya lagi dan aura emas kembali menyelimuti pedangnya.
Slaash!!
Sayatan yang sama kembali melesat. Di waktu yang bersamaan pula sihir bola api meluncur tepat pada pemuda berambut pirang yang tengah berfokus di satu titik. Namun, sihir dapat dipatahkan oleh tebasan angin dari Aurora yang datang membantu.
Sesuai rencana, ia mampu menggunakan perannya cukup baik dan efektif.
Sementara itu, tebasan keemasan membuat pria bertudung tersebut menjadi panik. Namun, mendadak ia tersenyum lebar sambil tertawa. Baff kemudian membuang satu belati-nya dari genggaman, lalu memajukan satu belati yang berada di tangan kiri ke depan.
"Technique: Devouring!"
Aura kehitaman menyelimuti bilah belati-nya. Kemudian membentuk wujud seperti ular dan seketika melahap tebasan keemasan--pedang--yang melintas dihadapannya. Mengkoyak-koyak senjata milik Walru menjadi tak berbentuk lagi.
Di momen itu aku lekas maju. Mendekati penyihir wanita di depan sana melalui titik buta. Sesuai rencana yang dibuat, aku berperan menumbangnya ketika selesai merapalkan sihir. Sebab seorang Mage pasti butuh waktu untuk mengeluarkan sihir kembali. Lebih lagi, ia menciptakan sihir tanpa tongkat. Bisa diasumsikan jikalau tangannya kaku saat ini.
Kami sudah memperhitungkan segala semua itu. Rencana yang benar-benar matang. Semoga saja itu berhasil.
Kuayunkan tebasan sesaat tiba di dekatnya.
Trangg!!
Sebuah dinding tanah berukuran besar tiba-tiba muncul tepat dihadapanku. Membungkam seranganku sekaligus mendorong diriku ketika saling berbenturan. Walaupun aku berupaya untuk menghancurkan tembok tersebut dengan melakukan sayatan berkali-kali, tapi nihil yang kudapat. Dinding yang benar-benar keras.
"Menyerah saja! Sihir itu tidak akan bisa menghancurkannya meski dihantam berkala sekalipun." Penyihir wanita itu berucap dari balik tembok. Aku bahkan tidak tahu pose apa yang ia lakukan saat ini.
"Selain itu, jangan kau berpikir bisa menyerangku dari titik buta. Aku bisa mendengar pergerakanmu dengan jelas. Bahkan sebelum kau bisa mencapai jangkauanku, aku sudah merasakannya," imbuhnya.
"Begitu ya, aku cukup tahu sekarang ...," aku beralih melebarkan jarak sedikit. Berusaha mencari celah untuk bisa menyerang balik. "Di atas!" Batinku. Diriku lekas maju kembali. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba saja guncangan terjadi tepat di bawah kaki.
Draak!!
Tanpa terduga gumpalan batu membentuk kepalan tangan menghantam diriku dari bawah tanah. Untungnya, dengan sigap aku dapat menahannya dengan pedang. Walau momentum dari sihir tersebut mampu mendorong tubuhku ke udara dengan begitu keras. Menghempaskan diriku cukup jauh dan mendarat hingga kaki kananku terkilir.
"Ouch ...." Rintihku, aku mencoba bertahan dari rasa sakit saat ini. Di samping itu, diriku belum bisa menggores wanita tersebut walau sedikit.
"Oh, boleh juga!" Wujud penyihir wanita itu perlahan-lahan terlihat tatkala sihir dinding dihadapannya mulai runtuh. "Kau cukup hebat bisa menghindari situasi krusial seperti tadi. Aku sangat kagum." Dia bertepuk tangan, kemudian menciptakan tongkat dari bebatuan di bawah kakinya.
"Mana-ku sudah hampir terkuras. Sayang sekali, tapi aku harus menghabisimu sekarang juga." Sang penyihir wanita itu mulai merapal. Dia lalu memajukan tongkatnya dan muncul sihir bola api besar yang sama seperti sebelumnya.
Tidak waktu mengeluh.
Diriku beranjak maju kembali. Setelahnya, saat sihir itu semakin dekat, diriku langsung menghindari dengan teknik yang kugunakan sebelumnya, "Technique: Dodge!" Melesat di medan penuh debu yang berterbangan ke sana kemari yang acakapli partikel itu masuk ke mata.
Yeter kembali memajukan tongkat. Di waktu yang sama tanah juga berguncang. Dari bawah muncul sihir kepalan tinju batu sama yang seperti tadi. Dengan respon dan pemikiran cepat, aku menancapkan pedang ke tanah kemudian dengan bantuan tumpuan gagangnya, diriku lekas mendorong tubuh ke depan secepat kilat. Untuk sesaat, rasa sakit pada kakiku kembali terasa. Sementara itu di belakang, pedangku tergerus oleh hantaman sihir tersebut dan hancur berkeping-keping. Dan sayangnya, aku tidak punya waktu untuk meratapi hal itu.
Layaknya burung, diriku terbang di udara dengan angin yang terus menerpa tubuhku. Kemudian saat kakiku kembali mendarat, aku langsung berlari cepat mungkin meski rasa sakit kurasakan. Mendatangi musuh di depan yang kini sibuk berkomat-kamit.
"Low Ma--"
Ucapan penyihir wanita itu terpotong saat tinjuku lebih cepat menghantam perutnya. Suara yang hendak keluar kini berubah menjadi air liur yang menyembur. Tubuh wanita itu terhempas sangat jauh dan jatuh di puing-puing bangunan yang sudah roboh di belakang. Dia pingsan seketika. Kemudian tudung yang menutupi kepalanya pun mengibas. Memperlihatkan rambut merah pendeknya serta aksesoris anting berbentuk hati di telinga kiri.
Buak!!
Dua pukulan Walru mendarat tepat di pipi dan perut pria tudung tersebut. Membuatnya terpental lalu mendarat terlentang dengan mulut menganga.
"... Ki-Kita menang?" Dengan tidak percaya pemuda pirang itu berucap dengan terbata-bata seraya menghela nafas. Lalu ia pun melompat kegirangan, kemudian menoleh diriku dan Aurora. "Kerja sama yang bagus, Aurora, Nevtor!" Serunya. Lagi-lagi ia memberikan kami isyarat jempol dan tambahan senyum lebar.
"Berterima kasihlah padaku! Tanpa aku, kau mungkin sudah hangus terbakar waktu tadi," timpal Aurora. Dia menatap Walru dengan raut dingin.
"Y-Ya, terima kasih!" Dengan canggung, Walru mengucapkannya dengan senyum yang tampak terpaksa.
"Selain itu, tolong jelaskan maksud dari kata 'Tidak suka dengan sifat kalian'? Aku cukup risih jika ada yang berkata seperti itu tanpa kejelasan."
"Eh... itu ...." Walru menundukan kepala seraya mengusap-usap rambut. Sepertinya ia kesulitan memberi jawaban kepala gadis itu. Yah, mengingat Walru seorang yang supel, memang agak sulit jika menghadapi tipe orang seperti Aurora.
"Aku menunggu loh!" Aurora masih menatap dingin pemuda pirang tersebut yang mungkin sudah membeku karena tidak bergeming sedikitpun.
"... Sebenarnya ...," mulut pemuda itu mulai bergerak, namun bungkam kembali. Ia menghela nafas panjang, dan menatap aku dan Aurora secara bergantian. "... Sejak awal bertemu kalian berdua, aku merasa sedikit tidak suka. Tetapi bukan aku membenci kalian. Hanya saja ...."
"Hanya saja, kau tidak suka berada di dekatku? Sebab sifatku ini?" Sela Aurora. "Maaf saja aku tidak peduli akan hal tersebut. Namun, jika kau ingin mengejek sifat ataupun kepribadiaku ... aku tidak tinggal diam!" Gadis itu kali ini menatap nanar lawan bicara di depannya. Nada suaranya pun sedikit meninggi. Sifatnya berbeda sekali seperti sebelumnya.
"Bukan itu!" Bantah Walru. "Hanya saja, diriku sulit jika menghadapi tipe orang seperti kalian, yang dimana aku tidak percaya diri. Dan sebenarnya, aku ingin mengenal kalian lebih dalam. Bahkan kalau bisa, berteman dengan kalian," ungkapnya. Ia melontarkan semua itu mungkin dari lubuk hatinya dan menyusun kata-kata itu dengan rapih.
"Hmph, ternyata itu ...," gadis dingin itu memalingkan wajahnya, "baguslah kalau kau memang tidak sedang mengejek sifatku."
"Jadi, apakah kita bisa berteman?" Matanya anak berambut pirang itu berbinar-binar menunggu jawaban.
"Maaf saja, kalau hal itu aku belum yakin."
"Eh ...." Kembali, pemuda pirang itu memasang senyum terpaksa. "Padahal aku sudah menaruh harapan agar bisa berteman denganmu. Bahkan aku telah mengungkapkan isi hatiku tadi."
"Aku hanya meminta penjelasanmu saja, tidak untuk hal lainnya. Itu saja!" Jelas Aurora, ia masih memalingkan wajahnya. Di sisi lain, Walru telah gagal mencair hati dari gadis dihadapannya tersebut. Terlebih dirinya juga tidak berhasil melakukan hal semacam 'Pertemanan' padanya.
"Lalu, Nevtor ...," dengan ekspresi yang sama pemuda itu beralih minat padaku, "apa kau mau berteman denganku?" Pintanya.
"Tentu!" Jawabku singkat.
"Benarkah?"
"Haruskah banyak kata yang kuberikan untuk meyakinkan dirimu?"
Walru terkekeh. "Tidak perlu itu sudah cukup!" Jawabnya. "Kalau begitu, apa boleh ke kamarmu selepas Ekspedisi ini?" Pintanya lagi. Iris merah ruby-nya berbinar-binar sangat cerah.
"Boleh saja! Tapi aku tidak yakin kalau Clain mengizinkan kau masuk begitu saja."
"Kak Clain pasti mengizinkanku ...."
"Wah, wah, wah. Sepertinya kalian cukup bersenang-senang di sana ya."
Suara itu terdengar tiba-tiba. Membuat kami kontan kaget pada waktu yang bersamaan.
Terlebih, pemilik suara tersebut sudah tidak asing lagi. Jikalau seseorang yang sedari tadi kami yakini sudah tumbang. Tentu saja, ialah pria bertudung bernama Baff. Bukan, bukan pria bertudung. Lebih tepat, pria berambut putih berantakan dengan iris mata se-hijau emerald. Dia menatap kami sambil senyum tipis.
Senyuman yang memiliki aura buruk. Aura negatif yang mencuat keluar dari mimiknya. Tatapan intimidasi yang sangat mencekam.