Roda kereta terus berputar tanpa henti. Meski pada medan yang acapkali meliuk-liuk, terguncang dan naik turun. Hal itu sama sekali tidak menjadi halangan bagi sang kusir untuk terus melaju. Bahkan kuda pun tidak mengeluh minta beristirahat. Yah, itu karena kami tak mengerti bahasa kuda.
Kereta yang kutumpangi ini berisikan dua wanita dan dua pria. Setidaknya tidak membuatku menjadi harem. Satu wanita tepat di depanku, seorang Title Fighter yang masih tampak seram dengan tatapan tajam. Kemudian di samping wanita itu terdapat gadis berambut ungu yang tengah sibuk mengamati suasana di luar kereta. Dengan tatapan dingin tentunya. Di samping kiri tempat dudukku pula ada Walru yang sedang cengar-cengir yang tampak terkesan dipaksakan. Dia begitu aneh. Mengingat aku belum pernah melihatnya seperti itu.
Tak lama suasana kereta yang kami tumpangi ini dilanda ketegangan, Title Fighter wanita mulai mencairkan kondisi. Dia perlahan mengurangi ekspresi tajamnya menjadi sedikit lembut. Dia tampak lebih feminim sekarang. Aku bisa bernafas lega.
"Sebelumnya aku belum memperkenalkan diri," wanita itu angkat bicara. Suara lembutnya membuat suasana lebih sejuk lagi, "namaku Felicia. Aku seorang Title Fighter. Untuk itu kedepan mohon kerjasamanya." Dia melempar senyum manis. Bahkan aku tidak tahu kalau ia punya ekpresi seperti itu. Perumpamaan, 'Jangan menilai buku dari sampulnya', ternyata sebuah kebenaran.
"Mohon kerjasamanya juga, Nona Felicia! Nama saya Walru!" Balasnya dengan cepat seraya menyodorkan jabat tangan. Dia terlihat antusias sekali.
Felicia membalas jabat tangan Walru. Masih dengan senyum semanis gula. "Oh, jadi kau yang mendapat nilai tertinggi waktu penerimaan itu ya. Tidak kusangka kalau dirimu ternyata masih muda."
Dengan potensi yang dimiliki anak itu, tidak heran jikalau banyak orang kagum atas prestasi dirinya. Tentu didukung oleh sifat dia yang sopan itu menambah nilai plus untuk pemuda tersebut. Juga kepribadian yang supel pun patut diperhitungkan.
"Lalu, siapa namamu?" Felicia beralih minat padaku, sesaat selesai berkontak dengan Walru.
Yah itu hal biasa. Selalu ada perkenalan disetiap kegiatan baru yang kulakukan. Meski aku bosan untuk melakukannya, tapi mau bagaimana lagi. Inilah kehidupan sosial. Akan berakibat buruk jika tidak bisa beradaptasi pada hal tersebut. Fatalnya, mungkin aku akan menjadi petapa total.
Aku menghela nafas sejenak, "Aku Nevtor. Salam kenal!" Jawabku singkat.
Tampak itu perkenalan yang cukup membosankan. Terlihat dari balasan ekspresi mereka berdua yang terkesan dipaksakan. Tetapi setidaknya sudah kulakukan. Tidak peduli respon apapun yang diberikan.
"Salam kenal juga, Nevtor!" Balas Felicia. Dia kemudian menatap gadis berambut ungu yang tengah asyik memandang keluar kereta. "Lalu gadis di sana, siapa namamu?" Tanyanya.
"Aku Aurora!" Jawabnya lirih. Dia tidak bergeming sedikipun dari kondisinya. Tampak tidak berselera untuk melakukan perkenalan ini. Namun, sesuatu yang baru kuketahui tentang dirinya adalah, namanya. Aurora. Sepintas itu mirip dengan suatu fenomena alam di langit seperti yang disematkan dalam buku yang kubaca kemarin.
Sementara itu, Felicia dan Walru semakin memperlihatkan mimik yang terpaksa. Dengan bumbu sedikit jengkel. Mereka seolah berkata di dalam hati seperti ini, 'Sebaiknya aku tidak berbicara dengan kedua orang itu lagi', atau 'Sepertinya aku salah menanyakan namanya'.
Yah itulah kemungkinannya.
"Baiklah, karena kita sudah saling mengenal satu sama lain, itu akan mudah dalam melakukan komunikasi," ujar Felicia.
"Mengenai ekspedisi kali ini, aku ingin kalian tidak bertindak ceroboh dan mematuhi perintah yang ada. Lalu, jika kalian menghadapi musuh yang tidak sepadan, sebaiknya lari dan sembunyi. Dan jangan beranggapan itu sifat pengecut. Namun anggaplah itu hal lumrah untuk diri kita bertahan. Sebab termakan emosi dan keegoisan semata akan berakibat fatal. Mengerti!" Tegas wanita itu. Nada suaranya lebih tinggi.
"Baik, kami mengerti!" Ucap kami serentak. Walru yang paling bersemangat.
"Satu lagi, jika kalian terdesak ...," wanita Title Fighter itu menyeluk tas yang diselempangkan, "... gunakan ini! Aku ataupun Tuan Feek akan langsung datang jika mendengar bunyi benda itu. Jadi gunakan dengan bijak." Dia menyodorkan tiga pluit. Pluit bambu yang umumnya dipakai untuk memanggil burung.
"Tentu, aku akan gunakan ini dengan bijak, nona Felicia!" Walru berseru semangat. Bahkan dirinya tidak segan untuk selalu menunjukan raut keceriaannya kepada Felicia. Seakan-akan ia bermuka tebal.
***
Cukup jauh nan lama perjalanan, akhirnya roda kereta kuda terhenti. Satu per satu penumpang termasuk diriku beranjak turun. Menginjakkan kaki dan kami pun lantas disambut oleh angin gersang, juga terik matahari yang menyekat. Bahkan debu pun senantiasa bertiup melewati mata kami begitu saja yang terasa menggangu.
Namun, ada hal yang lebih buruk dari itu. Sesaat pandangan kami berpaling ke depan sana. Arah di mana tempat yang kami akan tuju. Melihat suasana yang tidak terduga dan mengagetkan. Kondisi yang siapapun tersentak diam membisu tanpa bisa mengekspresikan apapun.
"Kita telah terlambat," kata Feek seraya memperhatikan sekitar. Tempat yang sudah tidak dapat dikatakan sebagai desa. Dengan rumah-rumah yang hancur lebur. Kayu dan benda lain yang berserakan tidak karuan di sepanjang jalan. Pohon tumbang pun tidak luput dari kehancuran itu.
Tetapi, kami hanya terpaku pada hal lain. Pada kondisi mencekam dan memilukan bagaikan mimpi buruk. Jikalau itu adalah keadaan orang-orang yang tergeletak tewas di tanah. Penuh luka dan kemalangan. Lebih lagi, darah dari semua korban itu memerciki persekitaran yang membuat seperti lautan merah.
Sungguh pemandangan yang sangat menakutkan.
"Keji sekali! Mereka sampai melakukan pembantaian seperti ini. Memang apa salahnya mereka dengan desa ini?!" Ketus Walru.
Kami berjalan penuh rasa iba dan miris dalam lautan merah saat ini. Tidak ada bisa kami lakukan sekarang selain memandangi semua itu.
"Kelompok kriminal itu mengaku sebagai penerima pajak. Tetapi, itu hanyalah kedok mereka untuk mendapat pundi-pundi uang. Terlebih, kelompok tersebut hanya mengincar desa kecil yang memiliki keamanan rendah. Dengan begitu mereka dapat keluar masuk dengan cukup mudah," tutur Feek.
"Parah sekali! Menipu, memeras dan bahkan mereka sampai melakukan hal keji ini. Kelompok itu bagaikan iblis. Seharusnya mereka musnah saja dari dunia ini!" Bentak Walru. Anak itu mulai tersulut emosi.
"Jangan termakan emosi! Ingat, tugas kita adalah menangkap dan membawa mereka," jelas Feek.
Title Knight itu kemudian membagi tugas dalam dua kelompok untuk melakukan pencarian. Informasi, ataupun korban selamat. Kelompok satu terdiri Feek dan Clain. Mereka melakukan pencarian di sekitar rumah kepala desa yang berada di barat. Sementara itu tim kedua yang tersisa. Melakukan penelusuran pada bagian timur. Lebih tepatnya bagian dalam desa.
Setelah persiapan selesai, kelompok pun mulai bergerak masing-masing menuju titik yang diperintahkan. Kami berempat berlari di medan gersang yang dipenuhi bermacam suasana yang sama seperti sebelumnya. Namun, sedikit terjadi anomali. Jikalau jalan yang kami lalui saat ini tidak terlihat satupun korban.
Tatkala menelusuri begitu dalam, kami terhenti sesaat di dua persimpangan jalan. Lalu Felicia mengintruksikan untuk membagi dua tim. "Untuk melakukan pencarian yang lebih kompleks dan terarah", begitu penuturannya.
Tim pertama yaitu Felicia dan Walru. Sisanya, tentu diriku dan Aurora. Entah itu kebetulan atau disengaja.
Segera setelah kelompok dibentuk kami mulai berpencar. Aku dan Aurora menuju arah selatan, sedangkan mereka ke arah utara. Mencari dan menelusuri, aku melakukan itu setiap detiknya seraya terus berjalan dipenjuru tempat. Berupaya menemukan secercah petunjuk, ataupun orang selamat. Namun apa daya, sejauh ini aku belum menemukan apapun. Lebih-lebih lagi, ada hal yang menganggu konsentrasiku. Ketika melihat Aurora yang begitu menempel mengikutiku tanpa membantu sama sekali. Dia hanya mengamati. Tampak tidak mempunyai insiatif untuk melakukan tugasnya.
Lama pencarian, namun nihil yang kudapat. Kami pun bergegas untuk segera melapor. Tetapi ketika hendak ingin kembali Aurora sontak terdiam. Tatapannya menuju bangunan di belakang kami. Lebih tepatnya sebuah penginapan. Tempat yang dulu sempat kukunjungi. Namun bukan itu yang ingin gadis itu tunjukkan. Dia menunjukan hal lain yang berada diantara susunan kayu yang berdiri kokoh tersebut. Bahwa terdapat sosok tergeletak dengan tubuh tengkurap dan tangan yang seolah ingin meraih sesuatu. Berbaju merah dengan luka sayatan lebar di punggungnya. Juga darah di bawahnya yang sudah mengering.
Kami pun beranjak mendekat. Seraya menoleh kiri dan kanan mencoba memastikan kalau ini bukanlah jebakan. Dan semakin mendekat, meski dari jarak itu, aku nampak mengenali sosok tersebut. Akupun berjongkok lalu segera membalikkan tubuhnya. Seketika itu juga, aku terdiam membisu.
Bahwa orang yang kutatap dan kupegang saat ini adalah orang yang kukenal. Bahkan tidak menyangka kalau dirinya mengalami hal tragis seperti ini meski sebelumnya ia pernah mengalami hal buruk.
Aku bangkit. Masih dalam keadaan membisu.
"Apa kau mengenalnya?" Tanya gadis di sampingku tiba-tiba.
"... Ya, dia merupakan salah satu kandidat perekrutan," jawabku lirih. Bibirku sedikit kaku ketika menjawab.
"Apa dia temanmu?" Tanyanya lagi. Gadis itu terlihat antusias menanyakan semua itu. Walau sebelumnya ia tampak tidak selera untuk berbicara.
"... Hanya kenalan!" Jawabku seraya beranjak pergi.
Namun baru beberapa langkah sontak saja terdengar erangan kecil dari dalam bangunan tersebut. Suara yang seperti sesosok wanita.