Suasana yang sejuk. Di tambah padang rumput hijau sejauh mata memandang yang enak untuk dipandang. Hembusan angin pun membuat rumput-rumput itu bergoyang. Tidak ketinggalan spora dari bunga dandelion yang berterbangan di udara bagaikan salju turun.
Kota Lanc berada jauh di Sektor Barat. Memang butuh berhari-hari untuk sampai ke sana jika dalam rute normal. Namun dengan peta, diriku bisa meminimalisir hal itu. Dengan rute tercepat dan aman, aku dapat memperkiraan tiba sana kemungkinan dua hari saja. Itu pun jikalau tidak ada hambatan.
Tidak seperti sebelumnya yang berguncang, jalan saat ini mulus tanpa kendala. Sehingga diriku bisa tenang dalam mengendarai kereta kuda. Ada pun angin sepoi-sepoi membuatku terasa ingin tidur sekarang. Namun saat aku bisa melakukan itu, nampak di depan sana seseorang yang sedang melambaikan tangannya.
Semakin dekat dan jelas, kalau orang tersebut rupanya kandidat pria berbaju merah pada tes waktu kemarin. Tetapi yang membuatku tak habis pikir, bagaimana ia sampai di rute ini secara cepat dengan berjalan kaki.
"Beruntung sekali! Boleh ak ...." Ucapan pemuda itu mendadak tersendat. Dia menatapku lekat. "Kau ... um ... Nevtor, 'kan?"
"Iya! Ada yang bisa kubantu?"
"Hey, Nevtor! Boleh aku menumpang dan ikut bersamamu menuju Sektor Barat?"
Aku sedikit terkejut padanya. Tidak seperti waktu sebelumnya, kali ini ucapannya cukup frontal. Seolah-olah kepribadian telah berubah. Namun sifatnya yang ceria tetap tidak memudar sedikipun.
"Ya, silahkan naik!" Jawabku. Pemuda itu pun beranjak menuju belakang dan naik ke kursi penumpang yang tak beratap.
Aku lekas memacu kembali kereta kuda. Di temani dengan penumpang baru, kami berdua melanjutkan perjalanan menuju Kota Lanc. Selain itu, pemuda itu nampak kelelahan sekali hingga dengusan nafasnya terdengar jelas. Namun yang membuatku masih terheran adalah cara dia tiba di rute ini dengan cepat. Padahal aku butuh lima jam dengan menggunakan kendaraan.
"Untunglah ada kau, Nevtor. Jika tidak, mungkin kakiku akan kram lebih lama." Pemuda itu mengusap-usap pergelangan kakinya pelan.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini dengan cepat?" Tanyaku penasaran.
"Itu ... aku berangkat sejak jam 3 pagi. Sebab kupikir akan lebih cepat untuk sampai ke Desa Naws sebelum hari gelap dan menginap sejenak di desa itu. Sampai-sampai aku lupa melakukan persiapan bekal," jelasnya.
Dia berangkat tiga jam lebih awal dariku. Itu alasan mengapa dia begitu cepat sampai di rute ini. Lebih lagi, tampaknya ia cukup berpengalaman dalam melakukan perjalanan hingga membuat rencana matang untuk titik pemberhentian.
"Sepertinya kau cukup ahli membaca rute, apa kau seorang pengelana?" Tanyaku lagi.
"Tunggu ... kau ...," mendadak dia menatap serius diriku. Seakan-akan sedang menganalisis dan mencurigai.
Tetapi ...
( Apakah ada yang salah dengan perkataanku barusan? )
"Kau … sepertinya lupa dengan namaku ya, Nevtor? Dari tadi kau terus memanggilku dengan sebutan 'Kau'," lanjutnya dengan nada sedikit kesal.
Dia orang yang cukup teliti seperti seseorang yang kukenal. Sejak awal aku memang tidak mengingat namanya. Terlalu banyak orang yang kukenal sehingga sulit untuk mengingat satu per satu. Memori kepalaku penuh berbagai macam hal.
"Um … yah, aku memang lupa dengan namamu," balasku pelan.
"Baiklah, kalau begitu! Aku akan perkenalan diriku sekali lagi ...," pemuda itu beranjak berdiri. Ia hampir saja terjatuh karena kereta mengalami guncangan. "... Aku Sead! Seorang pengelana dan juga penjual benih tanaman. Kau mau beli, Nevtor?" Sambungnya. Ia menutup setengah wajahnya dengan tangan kanan dan menyodorkan kantung benih di tangan kiri.
Diriku hanya terdiam atas aksinya tersebut. Perkenalan yang dilontarkannya terkesan konyol seakan-akan seperti ajang promosi. Mungkin itu yang membuatku tidak dapat mengingat namanya. Namun di sisi lain, namanya memiliki sedikit kecocokan dalam bidang yang ia geluti.
Sead, atau Seed ( Benih )
***
Matahari telah berada di arah barat. Di bawah garis cakrawala, tanda sore hari sudah di ujung tugasnya. Hampir sepuluh jam kami melakukan perjalanan tanpa henti. Bahkan kuda pun nampak sudah mulai kelelahan. Namun, untungnya terlihat desa kecil dikejauhan depan sana. Tampak itu desa yang dibicarakan Sead tadi.
Dengan mempercepat laju, kami pun bergegas menuju ke sana.
Setibanya di desa itu kami ditawarkan pemandangan yang cukup kumuh dan berantakan. Para penduduk desa ini pun terlihat begitu muram seperti sedang mengalami masalah. Bagaikan aura negatif telah menyelubungi tempat ini sepenuhnya.
Seraya berjalan dipenjuru desa kami mencari penginapan guna beristirahat. Hingga sampai pada timur desa terlihat sebuah bar. Dari ukuran bangunan tersebut yang besar mungkin tempat itu juga menyediakan fasilitas kamar untuk dipesan. Meski aku tidak menyukai yang namanya bar, tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain.
Segera setelah memakirkan kereta kuda pada sisi kiri bangunan itu, kami lekas beranjak masuk. Dan ketika di dalamnya, tubuh kami lantas membeku dan tidak mampu berbicara apapun. Sesaat mendapat sambutan dari tatapan empat orang yang begitu mencekam. Mereka seperti singa yang sedang mengintai buruan. Hal itu bahkan mengingatkanku pada suatu kejadian.
Seolah-olah tatapan teror sudah menjadi tradisi yang harus dilakukan ketika seseorang memasuki bar.
Usai mengacuhkan hal itu kami kembali melangkah menuju meja bartender di depan sana. Meski tatapan mereka masih saja mengikuti. Memang menggangu sekali. Bahkan Sead tidak henti-hentinya berbisik padaku. Mengatakan, 'Mereka menakutkan!', berulang kali.
"Ada yang bisa aku bantu?" Tanya Bartender ketika kami tiba di meja pesanan.
"Kami pesan dua kamar, juga makan malam," jawabku. Selepas melakukan pembayaran kami pun bergegas ke lantai atas. Tidak ingin terus menjadi sorotan para orang-orang menakutkan tersebut.
Aku memasuki kamar yang kupesan. Namun nyatanya tidak seperti yang kubayangkan. Cukup kotor dan berantakan. Dindingnya pun sudah mengalami kerusakan. Bahkan kayu dari tempat tidurnya juga sedikit mengalami pelapukan yang tampak kapan pun akan roboh. Tidak ada kesan kamar penginapan sama sekali.
Tetapi tidak waktu mengeluh sekarang. Saat ini yang terpenting aku dapat beristirahat.
Membaringkan tubuhku pada kasur rupanya cukup empuk. Namun, saat hendak memejam aku tersentak kaget. Ketika mendengar suara ribut dari arah luar. Untuk memastikan saja, aku pun lekas menuju jendela lalu membukanya. Seketika itu juga, diriku langsung mendapatkan kejutan tak terduga di bawah sana. Tatapan orang-orang yang membuat kegaduhan tersebut kontan melesat cepat padaku bak halilintar menyambar. Membuat diriku hanya mampu terdiam kemudian menutup kembali jendela.
Atas kejadian itu suasana kamar yang kugunakan ini bertambah seramnya.
Tok... Tok... Tok
Suara ketukan itu menyadarkan diriku dari fase teror tadi. Aku pun segera membukakannya. Dari balik pintu gadis berambut coklat berdiri sambil membawa nampan berisi makanan dan segelas air putih.
"Silahkan, makanan yang anda pesan!" Ujar gadis itu seraya menyodorkan nampan padaku.
Aku pun mengambilnya, "Terima kasih!"
"Kalau begitu aku permisi dulu!"
"Ngomong-ngomong, di luar ada kejadian apa?" Tanyaku saat gadis itu hendak melangkah pergi. Dia kembali monoleh padaku.
"... Itu biasa terjadi. Maaf kalau hal itu membuatmu terganggu!" Jawabnya. "Baik, aku permisi dulu!" Ia pergi dengan tergesa-gesa.
Melihat gerak-geriknya yang seperti itu, nampaknya dia sedang menyembunyikan sesuatu. Namun, yah, itu bukanlah persoalan untukku. Diriku hanyalah orang asing di sini. Akan jadi masalah bagiku jika terlibat.
***
Hari berikutnya.
Selepas berkemas aku beranjak ke pintu kamar. Membuka lalu menutupnya perlahan, dan rupanya tetangga di sampingku pun melakukan hal serupa. Entah itu kebetulan atau memang ia sengaja.
Kami lekas menuruni tangga setelahnya. Setiba di lantai bawah, kami lantas dikejutkan oleh kondisi bar saat ini. Cukup berantakan. Dengan meja dan kursi yang hancur tidak karuan di sana sini. Juga pecahan botol minuman yang berserakan di lantai. Tetapi di lain sisi, tidak seorang pun. Sepi sekali.
"Berantakan sekali! Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Sead tiba-tiba.
"Jika kau berkata seperti itu, tampaknya tidur kita sangatlah nyenyak hingga tidak dapat mendengar apa yang terjadi semalam," sahutku seraya melihat sekeliling.
"Apa ini ulah empat orang semalam?"
Saat kami akan menerka-nerka pelaku atas kejadian ini, tak lama terdengar suara seseorang cukup lantang dari arah luar. Kami pun serentak beranjak pergi keluar untuk memastikan. Dan tepat dari arah kanan banyak orang yang tengah berkerumun. Ada pun dari salah satu mereka yang terus melontarkan kata bernada kesal.