Hari ini begitu cerah. Matahari pun yang tidak memancar begitu panas walau siang hari sudah menjelang.
Aku duduk di teras depan rumah kepala desa. Berdekatan dengan pohon-pohon rindang yang senantiasa meredam cahaya yang menyorot. Bukanlah bermalas-malas yang kulakukan, melainkan hanya menikmati alam sekitar. Aku ingin sekali bisa membantu para penduduk yang kesulitan, namun seseorang melarangku untuk melakukan hal itu. Dengan alasan, 'Kami tidak merepotkan orang asing seperti kalian lagi'. Hal ini adalah tugas kami sebagai warga desa ini'.
Yah, siapapun pasti sulit membantah jika ia sudah berkata demikian.
Orang tersebut adalah pria bertubuh gemuk waktu itu. Pria bernama Frans. Dia anak dari Kepala Desa. Ayahnya atau Kepala Desa sebelumnya telah pergi sejak lama. Dan dia mendapat kabar jikalau beliau telah dibunuh. Berita tersebut bahkan memicu kegelisahan dan kepanikan para warga. Hingga Frans berupaya untuk mengantikan peran kepemimpinan desa dan mampu menghilangkan rasa gelisah orang-orang.
"Tampaknya kau sedang menikmati siang hari ini ya." Ucapan itu terdengar dari belakangku. Membuyarkan lamunanku. Frans berjalan mendekat dari arah selatan.
Aku memalingkan pandangan ke belakang, "Tidak ada hal yang bisa kulakulan, jadi kuputuskan untuk menikmati siang ini," balasku.
Tak lama terdengar derak pintu dari rumah kepala desa terbuka perlahan hingga kami serentak menoleh pada sumber itu. Sead keluar setelahnya. Kemudian, ia pun berdiri sambil meregangkan tubuhnya.
"Sudah siang rupanya." Seraya menguap pemuda itu memandangi teriknya matahari.
"Wah kau sudah bangun," ujar Frans. "Bagaimana tubuhmu, apakah sudah baikan?" Tanyanya.
"Yah cukup baik, meski masih ada yang sedikit sakit. Tapi setidaknya 1 hari tidur sudah bisa membuat segar bugar sekarang." Dia kembali meregangkan tubuh. Selain itu, apa yang dikatakanya tidaklah sepenuhnya benar.
"1 hari tidur, huh? Nyatanya kau tidur selama 3 hari penuh," jelasku. Sead sontak terperanjat atas pernyataan itu.
"3 hari?! Apa itu benar?!"
Frans tersenyum tipis. "Yah, kau memang sudah 3 hari berbaring di tempat tidur. Itu membuat kami sampai khawatir," jawabnya.
"Tapi setidaknya kau sudah bangun sekarang. Jadi kami tidak perlu khawatir padamu lagi," tambahku dengan nada santai.
"Entah kenapa ucapan membuatmu tidak terdengar baik, Nevtor ...." keluh Sead lirih dengan mimik masam. Pipinya menggelembung bak balon.
"Tapi kami cukup senang dan lega melihat kau sudah baikan sekarang," ujar Frans. "Dan ngomong-ngomong terima kasih karena telah menolong diriku dan seluruh warga desa ini. Kami cukup tertegun atas keberanian kau waktu itu." Dia mengucapkan itu seraya membungkuk'kan tubuh 90 derajat. Membuat Sead tersentak kaget sambil mengusap rambut dan tersipu malu.
"Tidak perlu formal seperti itu," pintanya. "Akupun cukup senang bisa menolong kalian semua. Lagipula aku memang tidak suka jika melihat orang lain ditindas seperti itu." Dengan raut keseriusannya ia memang benar-benar memiliki jiwa kepahlawanan.
***
Hari berganti. Sead sudah sepenuhnya pulih dari cedera yang ia derita. Aku pun segera mengemas barang-barang. Tidak ingin terus merepotkan Frans. Tentu ada alasan lain yang kuat daripada itu. Jikalau kami harus melanjutkan perjalanan menuju Kota Lanc. Itu hal terpenting.
Saat kami keluar dari rumah, rupanya banyak penduduk yang telah berkumpul di depan. Mereka bersorak-sorai sambil menyuguhkan senyuman. Bahkan ada beberapa dari mereka yang memberi kami sejumlah makanan terbungkus bakul besar. Meski kami sempat menolak itu, mereka tetap bersikukuh. Tak lama kemudian, datang wanita berambut coklah dari balik kerumunan. Ia langsung mendekati dan memegang tangan Sead erat dengan telapak tangannya yang putih berseri. Tidak ketinggalan wajahnya yang sedikit memerah.
Itu bisa menjelaskan bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda berbaju merah yang berada di sampingku. Mungkin baginya Sead adalah seorang pahlawan yang telah menyelamatkan hidupnya. Kenyataan tersebut memang tidak bisa terbantahkan.
Selepas obrolan ringan dan menyatakan rasa terima kasihnya, gadis berambut coklat itu memberikan bakul penuh apel kepada Sead. Pemuda itu tanpa segan langsung menerimanya. Setelahnya, kami pun diantar berduyun-duyun oleh para penduduk menuju gerbang desa. Di sana juga terdapat kereta kuda milikku yang telah disiapkan.
Seperti halnya momen kepergian seseorang yang akan menuju medan perang. Itulah yang kupikirkan.
Aku beranjak menaiki kereta kuda lalu duduk di bagian kursi pengendara. Kemudian memegang tali pengendali. Namun di sisi lain, Sead hanya mamatung di tempatnya sambil memandangi para warga desa yang melambaikan tangan dengan senyuman berseri-seri.
"Hey Nevtor. Apakah mereka baik-baik saja?" Tanya pemuda itu tiba-tiba. Wajahnya tidak menoleh sedikitpun.
"Entahlah, aku tidak tahu."
"Tampaknya sulit meninggalkan mereka, bukan? Mengingat bahwa orang-orang tersebut akan kembali lagi," imbuhnya. "Untuk mencegah agar mereka tidak berbuat kekerasan pada penduduk ini lagi ...." sontak ucapan Sead tersendat. Meski aku tidak bisa melihat ekspersi saat ini, namun dari nada suaranya dia nampak sangat khawatir pada warga desa ini.
"... Aku akan tetap di sini!" Sambungnya. Mukanya berpaling kepadaku dan memberikan senyuman dengan mata berbinar-binar. Bahkan aku sempat lupa atas aksi konyolnya waktu itu. Dia benar-benar telah berubah total saat ini.
"Kau yakin?" Tanyaku untuk meyakinkan.
"Ya!" Jawabnya mantap. "Lagipula menolong seseorang juga tugas bagi Titlelist, bukan?" Dia kembali tersenyum lebar. Senyum yang menandakan keteguhan.
"Baiklah, jika itu mau-mu," ucapku. "Walau hanya sebentar, aku senang bisa berkenalan denganmu, Sead!"
"Aku juga, cukup senang bisa berteman denganmu, Nevtor!"
Selepas melakukan perpisahan pendek itu aku segera memacu kereta kuda. Dan melihat Sead yang tidak ikut denganku, para pun penduduk beramai-ramai mendekatinya. Wanita rambut coklat yang pertama menyambut hangat. Walau aku tidak mendengar percakapan mereka. Namun yang pasti, gemuruh kegembiraan para penduduk desa itu telah mengartikan hal yang nyata.
***
Melewati medan padang rumput gersang, sungai panjang dan hutan yang lebat akan pepohonan yang menjulang tinggi, aku telah berjalan selama enam jam tanpa henti. Hingga hari perlahan-lahan akan menunjukkan sisi gelapnya.
Dari rute yang tunjukkan di peta, hanya beberapa kilometer lagi aku hampir mendekati Kota Lanc. Dengan mengikuti arah jalan setapak yang kulalui saat ini yang tanpa kendala, aku bisa berspekulasi sampai di sana sebelumnya larut malam. Yah setidaknya aku berharap demikian.
Waktu terus bergulir. Matahari telah terbenam, membuat jalan yang kulalui makin lama semakin gelap. Tanpa penerangan sedikitpun suasana sekitar begitu mencekam. Di tambah deru angin yang bagaikan musik horor juga memperburuk keadaan. Hingga tak lama aku guyur oleh kondisi tersebut, terdengar bunyi kecil di belakangku. Persis seperti suara pijakan seseorang. Meski ingin sekali untuk memastikannya, tapi, aku memilih untuk terus memandang ke depan.
"Menarik!"
Sontak saja suara itu mengalun di telingaku. Kaget sudah pasti kurasakan. Selain itu, kata tersebut cukup familiar di indera pendengaranku. Kata yang kuingat kalau diriku pernah mendengar sebelumnya.
Untuk memastikan, sekaligus menghilangkan rasa penasaran aku segera memalingkan pandangan. Namun, mendadak aku seketika tidak dapat bergerak. Sesaat sebuah logam panjang nan tajam melintas tepat di samping leherku. Logam yang berkilau-kilau hingga wajahku terpampang di sana.
"Jika kau menoleh lehermu akan putus!" Dia mengacamku cukup sadis. Membuatku tidak mampu membangkang hal apa yang akan kukehendaki. Menuruti perintah tersebut adalah hal yang bijak.
"Apa yang kau mau? Uang?" Tanyaku seraya memastikan.
Sosok itu tertawa. "Aku ke sini bukan untuk hal semacam itu. Namun aku hanya ingin sedikit menyapa dan berbincang-bincang denganmu."
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Kau yakin meninggalkan temanmu begitu saja?"
( Teman? Diriku tidak ingat mempunyai hal semacam itu lagi. Teman yang kumiliki hanya satu. Namun, kini dia memilih mengkhinatiku dan memfitnah diriku. )
"Apa maksudmu?"
"Kau bahkan langsung melupakan itu. Teman seperjalananmu yang kini ia berpisah denganmu di desa tersebut."
"Oh, jadi itu maksudmu ...," balasku, "dia bukanlah temanku, melainkan hanya kenalan saja!"
"Hanya kenalan?" Dia tertawa geli atas pernyataanku itu. Apa itu sebuah lelucon?
"Kau orang-orang yang benar-benar yang menarik sekali. Padahal dirimu cukup dekat dengannya, tetapi kau hanya menganggapnya sebagai kenalan saja. Bahkan saat pemuda itu sedang dalam kesulitan kau pun hanya diam dan tidak membantunya," lanjutnya.
"Aku tahu tentang batas kemampuanku. Terlebih, bertindak hanya karena termakan emosi semata, hanya orang bodoh yang mau melakukannya. Lagipula, hal menggelikan itu sama sekali tidak ada untungnya bagiku."
"Kau orang yang kejam. Tetapi ... itulah dir--"
"Tetapi, aku cukup curiga denganmu. Bagaimana kau bisa tahu semua itu. Apa kau semacam Penguntit?"
"... Entahlah!"
Terlepas dari semua yang dikatakannya, aku merasa jikalau ia sudah mengikuti diriku sejak awal dari Kota Koza. Dengan logat kata yang sudah tidak asing terdengar di telingaku, hanya satu orang yang terbesit dalam benakku. Namun, aku tidak memiliki bukti yang kuat untuk menyatakan hal itu.
"Baiklah, itu saja yang ingin kubincangkan denganmu," ujarnya, ia kemudian menarik bilah pedangnya dari leherku. Aku dapat bergerak bebas sekarang. "Semoga kita bisa mengobrol lagi ... Nevtor!" Sambungnya.
Mataku terbelalak sontak mendengar hal itu. Namaku. Dia mengetahui nama diriku? Tidak dapat dipungkiri bahwa dia memanglah orang yang sedang kupikirkan saat ini. Tidak, lebih tepatnya orang yang sangat kukenal.
Diriku lekas memalingkan wajahku ke belakang. Memastikan dan menangkap basah dirinya. Namun, sayangnya hal itu tak terjadi. Sesaat hanyalah kekosongan yang kupandang. Dirinya telah menghilang begitu cepat sebelum aku melihat wujudnya. Hanya dedaunan jatuh dan terpaan angin malam yang kudapat.