Sabtu, 10.30 AM
"Yaudah sih biarin aja"
"Berantakan Sal, sumpah gak cocok banget lo dandan"
"Mirip ondel-ondel"
Hahahahahaha
Pekan olahraga akan segera dimulai semua atlit bahkan sudah giat mempersiapkan diri untuk lomba, bahkan mental merekapun sudah ditekan sedemikian rupa untuk kuat dalam perlombaan.
"Guys sstttt diem dulu, gue mau ngomong"
"Diem Jen maknya boneka mampang mau ngomong"
"Allahu lisannya"
"Udah udah serius woy"
"Gue gak mau tau, kita harus tampil semaksimal mungkin, kita harus memang, karena ini pertandingan terakhir kita sebelum UN kan, gue mau ngasih piala terakhir dari kita buat sekolah ini"
"Pasti dong kita menang, kapan sih kita gak maksimal ya kan"
"Kalo kita gak menang, asli pasti gue kecewa banget sih guys"
"Makanya kita harus berjuang"
"SEMANGAT!"
"Mad gado-gado yang pedes pake banget satu"
"Lagi Jen?"
"Gue belum kenyang"
"Subhanaullah, satu piring nasi goreng telor dadar, satu piring cilok, satu piring mie goreng, satu piring ketoprak dan ini lo minta satu gado-gado lagi?" Ucap Hanin.
"Selera lo bagong banget asli" sambar Tika.
"Ya gue laper gimana dong" jawab Jennie santai.
"Ya Allah, di rumah lo gak dikasih makan apa gimana sih?"
"Udah sih bawel banget"
"Tante Rita sih anaknya di rumah dikrangkeng mulu pas keluar kan ngabisin duit"
"Malah gue lagi yang bayar" pasrah Hanin.
"Sabar ya Hanin, hahahahahaha"
"Suek lu pada"
Terik matahari siang ini, menemani latihan team volly Bakti mulya, beberapa hari lagi mereka akan melawan sekolah yang sudah lama menjadi rival mereka, dan itu artinya jika team volly mereka menang otomatis akan masuk kejurnas tahun depan.
"Oper Jen"
"Tik ambil"
"Lepas sal"
Plak !
Pukulan smash yang sempurna untuk set pertama, seperti biasa perpaduan Jennie sebagai toser dan Tika sebagai team serang, begitu sangat harmonis. Kerja yang sangat bagus jika dipasangkan.
"I love you Jennie banyak banyak" teriak Albani.
"Apaan sih Jen laki lu"
"Udah cuekin aja"
Prittt.....
"Bubar, teduh dulu"
"Baik pak"
Hujan, seperti tidak tertebak. Datang begitu saja tidak terkira, belakangan ini cuaca memang sedikit membingungkan.
"Bentar" ucap Albani.
"Eh ngapain buka jaket"
"Pakek"
"Aku bau"
"Gak bau, aku suka malah keringet kamu"
"Dih"
"Pakek, ntr masuk angin"
"Iya, makasi ya"
"Jennie doang ni Ban?"
"Iyalah emg lu siapa gue"
"Buset nyelekin banget lu jadi hooman"
"Gue yakin ya besok kalau anak 25 dateng lo pasti kalah pamor"
"Gak bakal"
"Lo liat aja, Jennie bakal kecantol cowo kece anak 25 yakin gua"
"Iya ya Nin, Zaki gila cakep banget itu"
"Fernan juga duh itu bule boleh gue bungkus gak sih"
"Masih gantengan gue, gue kan eksotis, item manis gitu, ya gak sayang?" Ucap Albani pede.
"Tapi Fernan juga ganteng sih aku setuju sayang" balas Jennie santai.
"Hahahahaha mampus lo Ban, kegencet"
"Tega banget ama suami"
"Buset suami guys HAHAHAHAHA"
"EH tapi Kiki sih lebih ganteng ya gak Sal?"
"Apaan sih Jen ngapain nanya gue"
"Gak sih gue cek ombak aja, mastiin lo masih disini apa udah ke 25"
"Bangsat lo emang, gak mau kena sendiri"
"HAHAHAHA..."
"Awwwwwhh"
"Kenapa Jen?"
"Keram.."
"Apanya?"
"Perut"
"Asam lambung lo kumat lagi?"
"Gak tau"
"Aku anter ke UKS yuk"
"Gila walaupun absurd tu si Albani, tapi jado cowo gentle parah, beruntung tu Jennie dapetin dia"
"Jangan iri"
"Amit-amit Nin"
🔻🔺🔻
Sabtu, 12.00 PM
Elusan demi elusan yang tiba-tiba menenangkan ini seakan menjadi candu, bahkan setiap dia melepaskan tangannya sakit itu bukannya berkurang malah semakin bertambah.
"Ban"
"Hmm?"
"Aku..."
"Kenapa?"
"Sini deh tangan kamu"
Tangan yang mengusap intens perutnya, seketika terhenti saat ada segelitik rasa aneh yang menjalar begitu saja dalam dirinya, meletakan tangannya tepat ditengah perut wanitanya, rasa itu begitu membingungkannya.
"Apa?"
"Happy anniversary.... Ayah"
"Aaaayyyaah?"
"Ya Ban"
"Jen..."
Seketika tangan itu ditarik menjauh dari perut wanitanya, sentak keterkejutan itu menyeruak dihatinya, bagaimana ia bisa menjelaskan ini kepada semua, hidupnya dan semua kemungkinan buruk ke depannya.
"Dia udah 3 minggu"
"Lo becanda kan?"
"Gak Ban gue serius"
Seketika hening, denting jam dan deras hujan yang turun menggantikan bunyi detak jantung yang berpacu lebih keras dari biasanya itu, menghilangkan raut gugup yang seketika berganti dengan emosi yang tak terjelaskan.
"Gue gak bisa"
"Apanya?"
"Lo pasti minta gue tanggung jawab kan?, Gue gak bisa"
"Maksud lo apa?"
"Gue belum siap jadi orang tua Jen, kita masih 17 tahun"
"Brengsek lo Ban"
"Gak usah muna Jen, kita masih kecil mau ngasih dia apa ntar"
"Sumpah ya lo jahat banget"
"Kita putus aja Jen"
"Apa lo bilang?, Putus?"
"Iya gue mau kita putus"
"Gampang banget lo bilang putus, setelah lo hamilin gue trus lo minta putus?"
"Jen lo gak ngerti"
"Maksud lo gak ngerti apa?, Lo biarin gue nanggung ini sendirian?, Iya?"
"Gue gak pernah paksa lo hari itu ya"
"Ooh sekarang lo bilang gini? Kalau lo gak mohon sama gue, gue juga ogah ngasih semuanya sama lo"
"Gue gak bisa Jen, kita putus"
"Albani, tunggu....
Albani...
BRENGSEKKK.."
lelaki itu pergi meninggalkan Jennie dengan bejuta rasa sakit, setelah ini apa lagi yang akan terjadi?, Menanggung sendirian mungkin adalah pilihan terbaik saat ini.
"Ban Jennie mana"
.....
"Yeee tu anak kesambet apa ya"
"Tau..."
"Yuk ke UKS aja"
"Yaudah"
🔻🔺🔻
Jennie.
Bahkan luka seperti apa yang akan aku umpamakan dalam sakit ini, semuanya jauh dari yang aku fikirkan, dan yang aku tau dia pergi dan memilih untuk melupakan semua yang pernah kita janjikan waktu dulu.
Sesak, perasaan ini menyakitiku. Air mata yang bahkan tidak bisa berhenti mengalir, terlalu dalam kecewa yang dia tanam pada diriku, saat aku bahkan tidak sedetikpun menginginkannya terjadi.
"Jennnn pul... Jennie lo kenapa?"
"Sal..."
"Jen kenapa?"
"Ya lo kenapa sih cerita sama kita"
Hiksss...
"Kenapa sih?, Sakit? Apa gimana?"
"Gue..."
"Hmmm hmmm"
"Kenapa?"
"Putus... Hiksss"
"HAH? kok bisa?"
"Pantesan si Bani mukannya serem banget pas keluar"
"Gue... Hiksss, sakit Sal"
"Yaudah sini sini peluk"
Bahkan aku pungkiripun semuanya akan sama saja, menyakitkan.
"Tik lo tau apa yang harus lo lakuin?"
"Iya Sal..."
🔻🔺🔻
Sabtu, 12.00 PM
Hujan seakan tau, ada pilu yang sedang berkobar besar dalam hatinya, bahkan rindu sudah bukan lagi sebuah pilihan dalam penantian, dia salah untuk sebuah kepastian.
"Lo istirahat ya"
"Makasi ya Tik"
"Jen..."
"Ya..."
"Lo tau kan kita sayang banget sama lo"
"Thanks ya tik, bilang Salsa sama Hanin, makasi banyak"
"Iya Jen, yang sabar ya"
"Iya"
"Lu masuk sana"
"Lu?"
"Gue ada urusan jadi gak bisa mampir"
"Hati-hati ya"
"Bye...."
Aku bahkan lupa cara menikmati hidup, seakan duniaku terbawa jauh dengan kepergiannya, saat dia tak di sini seketika harapanku ikut hilang dengan dirinya.
Aku kira aku kuat untuk ini, namun sebelum aku memulai semuanya, aku sudah ingin menyerah saja, ini bukan main-main, bahkan yang hadir juga bukan sebuah lelucon, seharusnya hari itu aku menolaknya, mengusirnya dengan paksa, bukan malah membiarkannya masuk lalu pergi begitu saja.
"Tetep di sini ya nak, jangan tinggalin bunda, cukup ayah aja kamu jangan"