Bu Sinaga sudah amat dekat dengan Warni. Bu Sinaga sedikit bungkukkan tubuhnya menghadap Warni yang jadi menunduk menahan resah yang terus saja ganggu hatinya sejak apel pagi tadi.
" Di sekolah ini tidak ada Undang-undang yang menyatakan seorang siswa boleh pulang karena orang tua pacarnya meninggal. Kamu paham ?".
" Paham Bu ".
Bu Sinaga tersenyum simpul dan kembali kedepan meneruskan pelajaran Kimia yang ia bawakan dengan serius. Terang ini semua membuat kepala Warni makin pusing, otaknya udah ada di Danu, yang dipelajari justru Kimia.
Kali ini kepala Warni makin sakit saja, ditambah lagi diluar agak ribut, teman satu ruangan Danu berbaris mendengarkan arahan Pak Kepala Sekolah sebelum melangkah melayat.
Danu dapat tambahan semangat dengan adanya kawan-kawannya disekitarnya, terutama Imam dan Husin yang begitu sampai langsung dampingi Danu duduk maupun berdiri.
Danu juga sedikit lega, apalagi Bapak Junet yang guru agama mengomandoi anak-anaknya yang memikul keranda ibu Danu menuju pemakaman yang jaraknya ngga' berapa jauh dari rumah Danu.
Prosesi pemakaman tak makan waktu lama sudah selesai. Perkuburan muslim Ujung Sibolga mulai ditinggalkan orang-orang yang mengantar. Danu berjalan beriring bersama dengan teman-teman satu ruangannya meninggalkan pemakaman. Danu berjalan dengan apitan Imam dan Husin.
" Dan… ".
Danu menoleh. " War.. ".
Didepan Danu ada Warni dan Ros. Danu menerima uluran tangan Warni dan Ros. Danu cukup senang dengan kehadiran Warni, hingga Danu mampu munculkan senyum pertamanya sejak kemarin.
Kali ini Danu berjalan beriringan dengan Warni hingga di depan gudang yang banyak menyimpan garam di jalan Zainul Arifin, sedang Ros gantian diapit Imam dan Husin. Warni terus berjalan beriring bersama Danu, demikian juga Ros dan Husin, sedang Imam memilih naik angkot dan pulang ke rumahnya di Kalangan.
Warni, Ros, dan Imam antar Danu hingga sampai kerumahnya di gang Lapo sona masih di jalan Zainul Arifin Kota Baringin. Mereka malah cukup lama disana berusaha memberi kekuatan pada Danu yang tampak amat drop.
Ada banyak yang berubah dalam hari-hari Danu. Tanpa adanya seorang Ibu ternyata membuat Danu banyak kehilangan arti hidup. Pulang sekolah yang ditemukan hanya kesunyian, hingga Danu lebih memilih pergi keluar rumah.
Belum lagi ulah Putri yang sering mengigau memanggil wawaknya. Putri jelas amat kehilangan, wawaknya yang setiap hari terus bersamanya, tiba-tiba saja pergi, tentu membuat putri amat kehilangan sekali.
Hari terus berlalu tanpa ada yang bisa dicegat sama sekali. Yang jadi bahan pikiran Danu saat ini bukan hanya soal UN yang sedang berlangsung, tapi ayahnya yang berubah 180º.
Semenjak kepergian ibunya, ayah Danu berubah menjadi orang yang begitu pendiam, tak banyak kata yang keluar dari bibirnya sekarang. Dan bahkan sering sakit-sakitan.
Pulang sekolah Danu harus langsung kepajak jumpai ayahnya yang jualan disana. Dan Danu tambah stress melihat kondisi kedai yang hampir hancur-hancuran, seperti kapal pecah. Ayah Danu tampak tak punya gairah bahkan untuk memperbaiki dan membuat rapi kedai yang menjadi tempatnya menggantungkan hidup selama ini.
" Beresin kenapa Yah ".
" Ayah capek ".
" Kok bisa capek. Apa sih yang ayah kerjain disini hingga ini ngga' sempat ?".
" Sejak kapan kamu jadi anak kurang ajar ?".
Ayah Danu langsung main bentak, ini yang membuat Danu miris, dulu ini tak pernah terjadi sekali saja, yang ada hanya senyum dan tawa saja. Tapi kini ayah Danu betul-betul berubah.
" Ayah ngga' punya hati ".
" Apa ".
Tangan ayah Danu hanya tinggal setengah jengkal lagi untuk sampai ke pipi Danu. Danu sama sekali tak mau mengelak, ia tetap berdiri menghadap ayahnya yang naik pitam.
Melihat anaknya tak ada usaha mengelak tangan ayah Danu tak jadi mendarat, ia turunkan tangannya dan terduduk di rak panjang yang digunakan untuk tempat menyusun barang yang dijual yang ada didalam kedai.
" Ayah memang sudah tak punya hati Nak ".
Ayah Danu malah menangis dan memijit keningnya dengan kedua tangannya. Ayah Danu terisak memandang lantai yang terbuat dari papan.
" Semua hati ayah sudah dibawa pergi ".
" Dibawa pergi. Apa sih ?".
" Sudah diabawa semua oleh ibumu ".
Danu tersentak. Ia tak menyangka ayahnya bakal ngomong seperti itu. Tapi kening Danu kerutnya jadi banyak. Ia tak sangka ayahnya bakal seperti itu, Danu sendiri tak lagi begitu memikirkan ibunya.
Danu mendekat, duduk disamping ayahnya dan merangkul bahu ayahnya. Ayah Danu melirik Danu sesaat dan kembali memandang lantai. Tapi kali ini isak tangisnya berangsur hilang. Akhirnya Danu berdiri dan beranjak pergi pulang ke rumahnya.
Malam masih amat larut. Tak ada suara yang terdengar kecuali suara lalu lalang kenderaan yang terus hilir mudik. Danu tiduran di kamarnya, selarut itu Danu belum juga mampu pejamkan matanya, Danu merasa ada yang membuatnya resah.
" Pak Pur, Danu.. Pak Pur ".
Danu lamat-lamat mendengar panggilan itu dan rasanya Danu kenal dengan suara yang memanggil namanya dan nama ayahnya. Danu berdiri dan keluar kamar, ternyata ayahnya sudah bukakan pintu dan disana ada Pak Yasin.
" Anak saya Rian baru aja telephon Pak. Katanya Pasar Inpres terbakar Pak Pur. Lihat dulu ".
" Terbakar Pak ?".
" Ya.. Pak Pur lihat dulu, siapa tahu Pak ".
Danu langsung keluarkan sepeda motornya dan langsung cabut menuju Pasar Inpres tanpa hiraukan panggilan ayahnya lagi. Danu tancap gas, salip semua yang ada didepannya.
Dada Danu tambah berdebar saat dengar sirene mobil pemadam kebakaran meraung raung membelah malam. Danu menambah kecepatan sepeda motornya dan terpaksa berjalan pelan-pelan begitu sampai di jalan Pasar Inpres. Ada banyak orang berkerumun disana. Danu ambil jalur mobil pemadam kebakaran dan kembali tancap gas hingga dekat dengan lokasi kebakaran.
Kepala Danu berdenyut. Lokasi kebakaran persis dilokasi kedai ayahnya. Danu hanya bisa pandangi dari kejauhan saja kobaran api yang tinggi menjulang menembus angkasa.
Dalam keadaan gelap karena lampu langsung mati lokasi pasar terang benderang oleh sinar api yang memerah tinggi. Tinggi sekali malah, membakar semua yang ada disana.
Hati Danu udah pasrah. Danu yakin tak ada yang tersisa dari semua dagangan ayahnya, sehingga Danu hanya memandangi saja dari kejauhan tanpa berusaha mendekat sedikitpun.
Setelah melihat semua dagangan tinggal puing tanpa ada sisa sedikitpun, Danu bertambah pusing kini. Ayahnya lebih banyak diam diri dirumah, sering merenung sendiri tanpa diketahui apa yang sedang direnungkannya.
Danu yang menjadi saki kepala. Setiap hari Danu harus mencoba membangkitkan semangat ayahnya, dan juga harus bekerja sepulang sekolah, les sore yang harusnya dijalani sama sekali Danu tak punya waktu.
Hingga UN tiba, masih untung Danu cukup tahu menjawab semua pertanyaan yang ada diatas kertas soal.
… Bersambung …