Pagi Masih jauh dari angka Jam sembilan tepat, tapi Danu sudah berada di Tanggo Saratus, Danu duduk di tempat biasa ia duduk bersama Warni sambil pandangi hamparan laut yang membiru.
Entah sudah berapa kali Danu lihat jam yang ada ditangannya, baru tepat pada jam 09.00 WIB, Warni tampak naik dan mendekati Danu yang langsung berdiri menyambut.
Warni hentikan langkahnya tepat didepan Danu, hingga mereka saling hadap satu sama lainnya, dan terus saling pandang tanpa ada sepatah katapun, bahkan seutas senyumpun tak ada.
Danu melangkahkan kaki lebih mendekat, hingga mereka amat rapat. Dengan sejuta keberanian Danu memegang kedua belah pipi Warni dan mendekatkan bibirnya kebibir Warni yang terkuak sedikit. Cukup lama.
" Udah ack ".
Warni mendorong tubuh Danu hingga kecupan Danu ikut lepas. Warni terus merunduk, Danu pegang kedua bahu warni dengan kedua tangannya, langsung Warni berhamburan ke pelukan Danu.
Danu membalas dengan hangat, tangan warni melingkar kepunggung Danu, dan jemarinya remas pakaian Danu sebelah belakang, terasa benar ada air hangat yang mengalir ke dada Danu, dan Danu terus berupaya cium ubun-ubun Warni berulang kali.
" Maafkan aku Dan ".
" Ya.. Maafkan aku juga ".
" Kamu jangan marah ya ".
" Tidak War ".
Danu sudah lepas pelukannya dan terus pandang wajah Warni, Danu meraih kedua tangan Warni wanita yang lebih Empat tahun amat dicintainya itu dengan kedua tangannya, mereka saling hadap. Warni tetap menunduk.
" Aku pergi Dan ".
" Semoga Bahagia ".
" Maafkan Aku Dan.. aku ".
" Tak apa War.. Tidak apa-apa ".
Hati Danu benar-benar terbakar, dada Danu bagai dihimpit ribuan ton batu hitam yang beratnya minta ampun, hingga membuat nafas Danu sesak sekali. Tangan mereka terlepas.
Warni berbalik dan berjalan menuruni anak tangga. Danu hanya bisa melihat saja dengan pandangan yang sayu.
Warni turuni anak tangga Tanggo Saratus satu demi satu, amat perlahan, sama sekali Warni tak lagi menoleh kebelakang hingga hilang dari pandangan mata Danu.
Danu buang nafas berat, berbalik dan kembali menaiki Tanggo Saratus hingga puncak. Diasana ada tempat duduk yang terbuat dari beton dan juga beratap beton. Danu duduk disana sambil bersandar. Danu rogoh sakunya, ambil rokok dan hisap perlahan-lahan.
Hamparan pandangan indah Teluk Sibolga dengan tumpukan pulau yang amat permai tak mampu memupus gundah hati Danu yang amat perih.
Tak pantas menyesali diri menjadi anak piatu yang miskin. Sejak kepergian ibunya saat Danu jelang UN, ayahnya sering uring-uringan hingga kerjaannya juga sedikit terbengkalai, toko mereka di Pusat Pasar Inpres Aek Habil juga nyaris tak terurus.
Danu pernah melihat Ayahnya menangis sendiri disana, Danu saja yang anaknya juga amat terpukul dengan kepergian ibunya itu, dan tentunya itulah rasanya yang amat membuat ayah Danu amat terluka.
Hal itu membuat Danu berubah menjadi orang yang tak punya apa-apa, ayah Danu sakit-sakitan terus dengan berbagai penyakit yang jenisnya berbeda-beda tiap bulannya.
Sakit kepala, sesak nafas, demam tinggi, hingga tubuh yang nyeri. Semua keuangan amburadul jadinya, bahkan sepeda motornya juga terjual dengan murah untuk biaya pengobatan ayahnya. Jika saja Danu tak punya Bibi Tiara, entah apa yang akan terjadi pada Danu sepeninggal ibunya.
Danu akhirnya turun juga. Jika dulu Danu turun dari sini sering bersama dengan Warni sambil bergurau hingga ke bawah.
Tapi kini Warni sudah duluan turun dengan terburu-buru satu jam yang lalu, kini Danu yang turun sendirian dengan langkah satu-satu. Tak ada semangat, amat gontai dan terasa amat lemah sekali langkah Danu.
Baru dua langkah kaki Danu masuk pintu, Bibi Tiara ada dikursi depan dengan undangan ada ditangannya, Danu duduk didepan Bibinya, melihat cara Bibinya memandang Danu tahu kalau undangan yang ada ditangan bibinya pasti undangan pernikahan Warni yang ayahnya merupakan Kepala Dinas dimana bibinya berkantor setahun ini.
" Dan.. ".
" Aku udah tahu Bi ".
" Kamu ngga' sedih ? atau … ".
Danu buang nafas. " Apa gunanya aku sedih Bi, apa gunanya ?. toh memang harus begitu, ya.. udah kita sabar aja ".
" Semudah itu ?".
" Lantas ?".
" Masa sih ngga' ada perasaan apa-apa ? ".
" Ngga' ada Bi ".
" Kamu yakin ?".
" Orang yang bisa bahagia adalah orang yang menerima, dan orang yang menerima harus tahu posisinya dimana. Aku tahu posisiku Bi ".
" Tapi Dan.. ".
" Bi. Udahlah Bi. Apa yang ia harapkan dari orang semacam aku ?. ngga' ada apa-apa kan ?".
" Tapi kamu saling cinta kan ?".
Danu terdiam. Bicara soal cinta akan membuat Danu kehilangan kata-kata. Danu hanya memandang Bibinya sejenak dan mengalihkan pandangan kearah langit-langit rumahnya yang lumayan rendah.
" Kamu saling cinta kan Dan ?".
Danu buang nafas. " Apa itu cukup ?".
Bibi Tiara langsung terdiam. Ia tahu persis sifat istri Kepala Dinasnya yang selalu merasa besar dan amat sulit menghargai orang lain, pasti sekali cinta tak cukup baginya.
Bibi Tiara akhirnya berdiri dan meninggalkan Undangan diatas meja, kebetulan Putri bangun dan Paman Danu memanggil Bibi Tiara sebab Putri tak mau diam sama sekali.
… Bersambung …