Chapter 5 - 5

Danu geleng kepala. Dada Danu bergerak-gerak amat cepat. Danu parkirkan sepeda motornya dan dekati Ibu paruh baya yang masih kaget dan duduk ditepi jalan di pinggir trotoar, tangan Danu mengangkat bahu Ibu itu hingga berdiri dan kembali mendudukkannya lebih ketepi.

Danu tak lagi pikirkan orang yang tadi nyempret yang langsung cabut aja tanpa lihat yang disempretnya. Yang Danu lihat hanya dua orang yang rambutnya gondrong, naik sepeda motor bebek berwarna kemerah-merahan, satu pakai jaket hitam, satunya lagi pakai baju kotak-kotak merah biru, sama-sama pakai celana jiens biru dan kedua-duanya tanpa helm.

Danu raih keranjang Ibu tadi dan kembali memasukkan isi belanjaannya yang masih bagus, yang sudah lecet dan hancur dibiarin saja di jalan raya hingga makin hancur setelah digilas sudaco dan bus yang banyak lewat, setelah merasa cukup lengkap Danu meletakkannya disamping Ibu tadi yang terus saja memperhatikan Danu. Tak hanya itu, kebetulan dekat disana ada jualan kecil, Danu beli air kemasan dan membukanya.

" Minum dulu Bu ".

Gemetar tangan Ibu itu terima pemberian Danu dan meminumnya amat perlahan sekali. Danu mengelus-elus bahu Ibu itu dengan lembut. Prilaku Danu akhirnya dapat membuat Ibu separoh baya itu tenang. Ia sudah mampu mengatur nafasnya dengan baik. Pandangannya pada Danu amat lekat. Dalam hati Ibu ini banyak pertanyaan dan perasaan yang bercampur aduk. Amat jarang ada pemuda sebaik dan sesopan ini.

" Udah tenang Bu ?".

" Udah. Makasih ya.. ".

Danu duduk disamping Ibu itu dan buang nafas berat. Jika saja sepeda motor tadi telak mengenai tubuh ibu separuh baya ini, ceritanya pasti akan sangat berbeda. Untung hanya kesempret saja, paling mungkin hanya tangan ibu itu saja yang agak sakit sebab terbentur trotoar.

" Tangannya sakit Bu ?".

" Sedikit aja Kok ".

" Coba lihat Bu ".

Ibu itu tunjukkan tangannya yang kanan, yang memang tergores karena gesekan dengan aspal tadi. Danu sampai jongkok saat memperhatikannya dengan cermat. Danu anggukkan kepala karena merasa luka ibu itu tidak bisa dikatakan parah. Hanya luka biasa aja, hanya sekedar lecet aja.

" Rumahnya dimana Bu, saya antar ?".

" Ngga' usah. Biar telephon Bapak aja ".

Ibu itu mengambil HP dari dalam sakunya dan menelephon yang intinya ceritakan ada orang yang nyempretnya, dan dijrmput didepan Terminal Bus Sibolga, depan yang jualan mie tek-tek. Danu tetap duduk disana, ia ingin pastikan Ibu itu selamat sampai tujuan.

" Udah Bu ?".

" Bentar lagi pasti datang ".

Danu mengangguk saja. Hanya lima menit, mobil dengan plat merah mendekat dan stop didepan Danu dan ibu setengah tua itu. Ibu itu langsung naik, dan mobil berjalan menuju arah Pandan. Setelah hilang ditikungan jalan, Danu juga berdiri dan ambil sepeda motornya dan jalan, juga menuju arah Pandan, sejak awal rencana Danu memang mau ke rumah Friska di jalan Mojopahit baru, diatas laut, disamping tangkahan.

Banyak pertanyaan yang muncul dibenak Danu soal Ibu separuh baya tadi. Danu lihat Pakaiannya yang rapi, barangnya yang okey, dan dijemput dengan mobil plat merah. Itu artinya mobil dinas pemerintah. Kalau lihat platnya yang BB dan ujungnya NA itu tandanya mobil dinas jajaran Pemerintah Kota Sibolga.

Atau mungkin Ibu itu adalah Nyonya pejabat Pemko Sibolga, itu memang amat mungkin, Danu hanya senyum aja, walau tetap cukup banyak pertanyaan yang muncul dibenaknya, apalagi Ibu tadi pergi begitu aja, tanpa ucapan terimakasih sedikitpun. Tapi Danu buang perasaan itu, Danu menolong tak pernah minta ungkapan itu, tapi yang ditolong tak ngomong sedikitpun rasanya agak aneh juga.

Danu belok jalan menuju jalan Elang dan terus hingga jalan Mojopahit Baru yang namanya diganti menjadi Jalan KH Ahmad Dahlan, alasan penggantian katanya sebab di jalan ini ada Aula Sakinah yang lantai dianya adalah Mesjid Taqwa Muhammadiyah Aek Habil yang merupakan mesjid Muhammadiyah terbesar di Kota Sibolga.

Danu berhenti di depan rumah Friska. Selain Friska, disana udah ada Fahmi, Jurida, Amrito, Sonedi, dan juga Naila. Begitu Danu sampai, semuanya langsung hidupkan sepeda motor, Friska naik ke boncengan Sonedi, Jurida naik keboncengan Amrito, dengan begitu Naila menjadi teman Danu.

Dan semua langsung bergerak kembali telusuri jalan KH Ahmad Dahlan, belok ke jalan Bangau, belok lagi ke SM Raja dan terus melaju kearah Pandan. Tujuan mereka adalah Kalangan, mau ke rumah Husin yang sudah tiga hari ngga' masuk karena sakit.

Sonedi yang memang hobby ugal-ugalan jauh didepan, sedang Amrito coba mengimbangi, hingga Danu yang tak terbiasa lari 90 tertinggal jauh dibelakang. Apalagi Danu membawa sepeda motor dengan banyak rasa grogi, sebab Naila yang duduk diboncengannya enak aja peluk pinggang Danu dari belakang, kalau Danu pijak rem, ada yang lembut yang menekan bahunya yang membuat darah Danu berdesir lumayan sering. Apalagi sejak masuk kawasan Simpang Pondok Batu jalannya rusak berat hingga masuk daerah Tano Ponggol, hingga Danu harus lebih sering menginjakkan kaki kearah rem, dan terkadang harus dengan tenaga penuh sebab lobangnya lumayan besar dan tergenang air disana-sini. Sialnya lagi yang bagian tengah Danu yang tadi naik turun jadi ngga' mau turun-turun.

" Pelan pelan ngeremnya Dan. Hampir jatuh nih ".

" Emang pelan, kenapa memang ?".

" Apanya yang pelan. Aku hampir jatuh nih ".

Danu harus sedikit menggeliat karena Naila cubit perutnya. Danu makin resah aja. Untungnya hanya kurang lebih 15 menit, Danu sudah sampai kesimpang masuk ke Kalangan, tempat rekreasi yang lumayan bagus di Tapanuli Tengah, dari simpang ke rumah Husin hanya sekitar 20 meter saja. Danu ambil parkir didepan rumah Husin yang lumayan besar dan cukup bagus, Naila langsung turun, tepuk bahu Danu dan melangkah masuk kerumah Husin, Danu menyusul masuk, hanya berbeda tak lebih dari tiga langkah dari Naila, Danu duduk disamping Naila. Husin sudah bisa duduk dan sudah bisa ketawa dengar guyonan Amrito yang punya banyak simpanan gurauan.

" Sakit apa sih ?".

" Kepala pusing, badan penat ".

" Sakit apa tuh ?".

" Aku juga ngga' paham ".

" Masa ngga' paham ".

Danu pegangi kaki Husin yang menjulur kebetulan tepat kearahnya. Melihat muka Husin yang masih pucat, tapi pucatnya hanya pucat biasa aja, Danu yakin kalau Husin hanya sakit biasa aja.

" Kata dokter ?".

" Aku belum ke dokter ".

Kening Danu berkerut. " Belum ke dokter ?. Jadi kemana ?".

" Danu.. Danu. Macam ngga' tau aja. Sudah sejak dua setengah abad lalu Husin pasien Dukun ". Amrito sambut dengan enak aja, yang lain hanya tertawa.

Sekalian. Itu mungkin kata yang tepat, udah kadung disana, rasanya akan bagus jika langsung masuk lokasi Kalangan dan duduk-duduk sambil memandang laut.

.. Bersambung ..