Chapter 7 - Rumor

Tiba-tiba saja, Arvin dan Davin mendatangi Edward dengan bertamu ke apartemen kakak pertamanya itu. Sesaat setelah dibukakan pintu, mereka lantas masuk tanpa adanya sedikit pun sikap sopan-santun. Hal itu tentu saja membuat Edward kembali dikuasai oleh api amarah.

Namun sebelum melesatkan tinju, atau setidaknya mengutarakan protes, Davin menunjukkan layar ponselnya. Laman yang menunjukkan sebuah artikel memuat kabar mengenai rumor yang belum lama ini beredar, dan tentu saja membuat Edward merasa heran. Bagaimana bisa rumor konyol semacam itu bisa naik ke permukaan? Padahal, semua orang pasti tahu jika dirinya pernah memiliki seorang wanita dalam hidupnya.

"Ini apa, Kak? Apa Kak Edward tahu resiko yang akan datang ketika rumor ini dipercaya oleh banyak orang?" tanya Davin dengan ekspresi marah.

"Ini cukup meresahkan. Apa Kakak masih bisa mengatasinya?" tambah Arvin.

Edward tersenyum sinis kemudian melipat kedua tangannya ke depan. "Hanya rumor sampah, memangnya kenapa? Aku tak terpengaruh, perusahaan juga pasti begitu."

"Ya!" Suara Davin meninggi. "Kak Edward benar, hanya rumor sampah dan tidak berguna sama sekali. Ya! Itu memang benar, lantaran baru beberapa jam terunggah. Tapi, meski begitu, rumor ini sudah meramaikan dunia maya. Apa yang terjadi jika para petinggi dan investor tahu?"

"Dan Kak Edward masih mau menyepelekan?" tanya Arvin.

Edward terdiam. Namun meski memilih bungkam, ia tidak merasa risih atas rumor tersebut. Pasalnya, sebagai seseorang yang dikenal banyak orang dan terutama pembisnis besar, hal semacam itu sudah pasti tak asing lagi baginya. Tidak menyukai lawan jenis katanya? Bukankah kedengarannya sangat menggelikan? Sepertinya orang yang sengaja menjatuhkannya hanyalah orang bodoh dan tidak berpendidikan.

"Tak lama lagi rumor itu akan redup. Lantas, apa yang perlu dikhawatirkan? Atau ... justru kalian-lah yang menyebarkan rumor itu agar aku lengser dari jabatan?" Mata Edward menatap tajam pada kedua adiknya itu. Wajahnya pun terpasang ekspresi garang, sementara hatinya berangsur menaruh curiga.

Arvin mendesah. "Jangan ngasal! Aku tidak se-pengecut itu, Kak. Meski aku sangat ingin kamu lengser, aku akan mengusirmu dengan cara terhormat. Mungkin saja Davin yang berbuat," tandasnya.

Tanpa pikir panjang, Davin langsung menjatuhkan tinju di pundak Arvin. "Jangan sembarangan menuduh! Bukan aku!"

"Baiklah." Edward menghela napas. "Aku tahu siapa kalian sejak kecil, bahkan aku rela menjadi pengasuh kalian saat itu. Tak mungkin kalian berbuat sekonyol itu hanya untuk melengserkanku."

Davin dan Arvin terdiam. Keduanya diliputi rasa getir. Pasalnya, Edward baru saja mengungkit kehidupan masa kecil mereka. Kala itu, di saat kedua orang tua mereka sama-sama sibuk bekerja, Edward memang menjadi pengasuh sekaligus penjaga Davin dan Arvin. Apa pun akan Edward lakukan, agar kedua adiknya itu tidak sampai menangis. Terlebih, ketika bisnis Javier belum sebesar sekarang, tentu saja ketiga saudara itu pernah mengalami hidup kesusahan.

Davin menghela napas, kemudian berangsur memasukkan kedua jemarinya ke dalam saku celana. "Kita sudah dewasa. Tak perlu ungkit masa kecil yang memang sudah seharusnya," ucapnya.

"Be-benar," sahut Arvin.

Edward tersenyum. "Aku tidak mengungkitnya. Hanya, mengingatkan saja. Tanpa diriku, mungkin kalian tidak akan hidup sampai saat ini. Astaga!" Ia mengusap rambut dari depan sampai belakang. "Pulang saja. Aku terlalu lelah untuk berdebat. Apalagi, sampai berkelahi."

"Tanpa kamu usir. Kami juga akan pulang." Davin mendekati Edward, dan lantas mencengkeram kedua pundak kakak tertuanya itu. "Jika rumor itu tak redup dalam satu minggu dan menyebabkan kerugian besar, maka saat itu, Kakak harus benar-benar turun tahta!"

Sesaat setelah menghentak tubuh Edward pada dinding, Davin melepas cengkeraman tangannya dari kedua pundak kakaknya itu. Dengan diliputi kekesalan dan tentu saja ambisi, ia berlalu bersama Arvin. Sementara, Edward hanya bisa menghela napas pasrah sembari melepas kepergian kedua saudaranya tersebut.

Tak lama kemudian, Edward memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya. Ia terlalu lelah untuk ambil pusing segala hal yang baru saja ia dapatkan, entah rumor ataupun sikap kedua adiknya.

Di bawah pendar lampu krystal, Edward mencoba memejamkan matanya. Paras Perancis-nya yang putih dan halus begitu memukai, indah, dan tampan. Namun visual itu tidak menjamin jika Edward bukanlah pria yang berbahaya. Nyatanya, ia sangat berbahaya untuk para pesaing bisnis, bahkan seorang Miss Arrogant macam Febiana. Bahkan, Edward sudah menyusun rencana untuk menyingkirkan wanita itu dari sisi Mr. Hector dalam hal berbisnis.

Ketika benaknya kembali terbayang wajah Febiana, Edward lantas membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar yang bergambar kumpulan awan ditemani langit yang biru. Tak lama setelah itu, matanya yang sempat terpaku kini justru bergerak-gerak tak menentu.

"Febiana? Jangan-jangan, dia yang menaikkan rumor tentang diriku?" gumam Edward bertanya-tanya. Pasalnya, saat ini musuh terbesar yang ia miliki adalah wanita itu. Bukan hal aneh, jika rasa curiganya terarah pada sosok Febiana. "Ternyata kamu tidak tercerdas Kimmy, Febiana. Cara konyol itu, jika benar-benar kamu yang berbuat, alangkah polosnya dirimu. Itu tak akan membuatku jatuh, Sayang."

Senyum melengkung menarik kedua sudut bibir Edward. Kini, ada secercah cahaya yang memberinya penjelasan tentang siapa dalang di balik mencuatnya sebuah rumor mengenai dirinya. Ia menganggap jika Febiana masih tidak ada apa-apanya, dan tindakan wanita itu tidak setegas ucapannya. Febiana memang lemah, bodoh, pengecut, atau bahkan hanya sosok yang lugu. Menggelikan!

***

Febiana melipat kakinya dan bersikap layaknya sosialita. Ia tengah berada di sebuah kafe ternama tanpa seorang pun teman. Namun, dari matanya yang kerap kali menatap tangga, tampaknya ia sedang menunggu seseorang.

Benar saja, beberapa detik setelah Febiana memalingkan tatapan, muncul sosok Sapta yang baru menaiki tangga tersebut. Pria itu mendekati wanita yang saat ini bisa dikatakan sebagai atasannya itu. Dengan badan yang agak membungkuk, Sapta mencoba memberikan sapaan.

"Selamat malam, Nona."

Febiana mengangkat kepalanya dan berangsur menatap pria itu. "Selamat malam," jawabnya singkat, tetapi diiringi senyuman yang begitu menawan. "Duduk saja, tak perlu sungkan."

"Terima kasih, Nona."

"Mm ... mau pesan sesuatu?"

Sapta menggeleng. "Tidak perlu, Nona. Informasi ini akan saya sampaikan secepat mungkin."

"Kamu cukup peka dan andal. Kurasa aku tak salah dalam memilihmu. Baiklah, segera katakan saja."

Hati dan sekujur tubuh Sapta menghangat setelah mendengar pujian dari sang nona. Satu hal yang paling ia inginkan setelah mendapatkan nilai bagus adalah uang. Dan jika Febiana merasa puas atas kinerjanya, maka bayaran yang ia terima pun akan semakin besar.

Sebuah amplop berwarna cokelat dan agak besar, Sapta keluarkan dari dalam tasnya. Kemudian ia menyodorkan berkas itu pada Febiana.

"Amplop ini berisi foto Tuan Sinclair, Nona. Saya sudah membayar seseorang untuk membuat Tuan Sinclair tampak seperti rumor yang beredar. Silakan dilihat terlebih dahulu," jelas Sapta.

Sejenak, Febiana menatap netra hitam milik Sapta. Baru setelah itu, ia membuka amplop tersebut dan meraih isinya. Beberapa foto yang dipotret oleh Sapta sudah berada di depan matanya. Gambar diri Edward Sinclair yang tampak memeluk, memegang, serta membelai seorang pria.

"Bagaimana kamu melakukannya, Sapta? Aku cukup penasaran dengan kecerdasanmu." Febiana bertanya sembari memasukkan kembali foto-foto itu.

Sapta tersenyum. "Cukup mudah. Saya ... memancing Sekretaris Ibnu keluar, lalu menyodorkan seorang aktor yang berpura-pura sakit. Tempat keberadaan mereka adalah salah satu hotel milik Sinclair Group. Tentu saja, Tuan Sinclair akan bersikap ramah pada pengunjung yang kesakitan demi keuntungan propertinya."

"Waaah! Menakjubkan. Padahal, Edward Sinclair dikenal sebagai sosok dingin dan kejam. Tapi, kamu berhasil memancing simpatik yang bersembunyi di dalam dirinya, Sapta."

"Semua orang akan melakukan apa pun demi uang, Nona, baik saya, Tuan Sinclair, bahkan Anda sendiri."

"Yeah. Itu benar." Febiana menghela napas, kemudian menyandarkan punggungnya. "Unggah foto-foto ini dan kacaukan semua sosial media, buat rumor itu seperti fakta. Akan kunaikkan harga kinerjamu."

"Baik, Nona! Masih ada satu lagi. Soal Tuan Sinclair dan keluarganya. Dia memiliki dua saudara, lalu kedua adiknya itu berambisi ingin mengalahkan Tuan Sinclair, maksud saya Edward Sinclair. Saya rasa, info ini cukup berguna untuk Anda."

"Ya!" sahut Febiana cepat. "Sangat berguna!"

Sapta tersenyum. "Baiklah kalau begitu, Nona. Saya tunggu transferan honornya dan selamat malam, saya pamit."

Sapta beranjak. Sesaat setelah memundurkan kursinya, ia merundukkan badan di hadapan Febiana. Tak perlu menunggu lama, pria itu meninggalkan Febiana yang masih asyik menikmati satu per satu permainan.

***