Febiana merundukkan badannya di hadapan seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah Mr. Hector. Pria berdarah Jerman, tetapi sudah fasih berbahasa Indonesia itu membalas anggukan serta senyum tipis.
"Semoga rencana ini akan sukses besar, Mr. Hector," ucap Febiana lebih ramah dan santun.
Mr. Hector tersenyum. "Tentu saja, kita sukseskan proyek ini, Nona," jawabnya.
"Baik, Mr. Hector. Sampai jumpa lagi."
"Mm ...."
Febiana memutar badannya, kemudian ia berlalu dari partner kerja samanya itu. Di belakangya ada Feline dan salah satu sekretaris pria yang sekaligus menjadi sopirnya. Mereka berjalan menuju elevator di bagian sudut dari restoran dari hotel elite milik Big Golden tersebut, yang juga menjadi tempat penginapan Mr. Hector di Indonesia. Sesaat setelah, tombol elevator ditekan oleh Feline, serta pintu tempat itu terbuka, mereka lantas masuk dan hilang dari pandangan mata Mr. Hector.
Mr. Hector menghela napas. Namun bukan karena merasa risau, melainkan cukup puas dengan hasil diskusinya bersama CEO muda tersebut. Sepertinya, pilihannya yang ditujukan pada Febiana bukanlah sesuatu yang buruk. Nyatanya, wanita itu cukup meyakinkan dan strategi yang disarankan sangat menggiurkan. Meski Big Golden bukan perusahaan yang masuk dalam jajaran lima besar, tetap saja Febiana bisa mengatasi kekurangan itu dengan ide bisnis yang apik.
Ketika Mr. Hector hendak mengambil beberapa berkas yang masih tertinggal di dalam ruang private dari restoran tersebut, ponselnya justru berbunyi. Ia terpaksa membatalkan rencana dan segera merogoh benda itu dari dalam kantong celana.
Mr. Hector menghela napas. Wajahnya yang sempat berekspresi ceria, kini justru menjadi muram dan seolah enggan menanggapi telepon yang masuk ke dalam ponselnya. Namun, dikarenakan ia bukan orang yang tidak berperikemanusiaan, Mr. Hector tetap menggeser tombol hijau untuk menerimanya.
"Hello," sapa Mr. Hector.
"Mr. Hector?" Suara tak asing terdengar di telinga Mr. Hector. "Where are you, Mr. Hector? Bisakah kita bertemu, ada hal penting yang perlu saya sampaikan."
"I'm sorry, Mr. Sinclair. Pihak kami sudah memutuskan pada siapa akan bekerja sama."
"No!" sahut sang penelepon yang sejatinya adalah Edward Sinclair. "I don't care, Mr. Hector. Because, i want to be an investor."
Dahi Mr. Hector mengernyit, serta matanya terbuka lebar. "Really?"
"Yes! Saya tidak main-main. Saya bukan meminta investasi, melainkan ingin menjadi salah satu investor untuk proyek Anda bersama Big Golden."
"Tentu saja. Jadwalkan saya pertemuan kita dan saya akan mengundang Nona Febiana untu—"
"Tidak perlu, Mr. Hector. Saya dan Miss Febi adalah sepasang sahabat, saya ingin menjadikan kesepakatan ini sebagai kejutan saja. Dan, mm ... apakah Anda ada waktu satu jam setelah perbincangan kita di telepon?"
Sejenak, Mr. Hector tampak berpikir. Ia juga bertanya mengenai jadwal selanjutnya pada sang sekretaris. Dan untungnya tidak ada. Sepertinya kedatangan Edward Sinclair tepat pada waktunya. Investasi yang akan diberikan pada pria itu tampaknya tidak main-main. Mungkin, pengajuan diri itu akan menguntungkan dirinya.
"Tidak ada. Saya akan kirimkan alamatnya dan Anda bisa datang kemari," ucap Mr. Hector.
"Terima kasih, Mr. Hector."
Panggilan itupun ditutup oleh Mr. Hector tanpa kata salam sedikit pun. Ia kembali melanjutkan rencananya untuk mengambil beberapa berkas yang masih tertinggal. Sesaat setelah itu, ia berencana untuk kembali ke dalam kamar hotelnya.
***
Senyum Edward merekah, tampak gigi-giginya berbaris rapi dan indah. Ia tidak menyangka, pengajuan sebagai seorang investor sangat mudah sekali. Ia pikir Mr. Hector akan sulit untuk didesak, tetapi nyatanya orang sebesar tuan Jerman itupun juga bisa buat akan uang yang ditawarkan.
Kemudian, Edward berjalan menghampiri sebuah brankas yang yang memiliki kunci digital. Dari dalam benda itu, tampak kepingan emas batangan, uang jutaan rupiah, serta perhiasan-perhiasaan mahal. Tempat keberadaannya saat ini bukanlah ruang kerja pribadinya, melainkan kamar apartemennya yang tentu saja lebih aman.
Edward sengaja pulang ke rumah, pasca membuat rencana, untuk mengecek kembali harta yang ia miliki. Sebab, pemilik sah Sinclair Real Estate masih ayahnya bukan dirinya, dan beberapa pemegang saham di bawah keluarganya. Tentu saja, hal itu yang membuat Edward tidak bisa mengambil keputusan sepihak, apalagi sampai mengeluarkan banyak dana dari perusahaan.
Keuntungan lain yang muncul di benak Edward adalah ia bisa mempunyai investasi tunggal atas namanya sendiri. Dan jika proyek yang akan ia bangun bersama Mr. Hector dan Febiana berjalan dengan lancar, maka ia memiliki satu harta tanpa campur tangan keluarga. Suatu saat ketika ada kemungkinan kedua saudaranya berhasil menggulingkannya, Edward tidak perlu menjadi orang miskin.
"Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Aku bisa mengawasi Febiana sekaligus berinvestasi pribadi. Tak ada ruginya aku menabung selama ini," gumam Edward sembari tersenyum lebar.
Detik berikutnya, ia memasukkan beberapa ikat uang seratus ribu bergambar presiden dan wakil presiden di Indonesia itu. Dan tanpa menunggu lama, ia bergegas untuk menuju keberadaan Mr. Hector.
Edward membawa mobilnya sendirian, tanpa sopir maupun Ibnu. Rasa tak sabar yang sudah meliputi dirinya, membuatnya enggan untuk memanggil dua orang kepercayaannya itu. Oleh sebab itu, Edward berangkat tanpa satu pun penjaga. Lagi pula, ia seorang pria kuat dan tentu saja terhormat. Orang-orang akan segan menghadangnya, apalagi membuatnya kesulitan, kecuali satu wanira arrogant—Febiana Aditya.
Perjalanan yang ditempuh Edward bersama mobilnya memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit, jika terjebak dalam kemacetan mungkin bisa sampai satu jam. Namun beruntung, lantaran masih dalam jam operasional, keadaan jalan raya sangat lengang, membuat Edward tidak kesulitan dalam mempercepat kendaraannya itu.
Sebuah hotel besar bernama Edwin Star Hotel, salah satu aset besar milik Big Golden Real Estate itu sudah tampak di mata biru milik Edward. Sejenak ia terpaku sembari menepikan mobilnya kiri jalan. Ia menghela napas dan merasakan keraguan diam-diam melesak ke dalam sanubarinya.
Edward tidak menyangka, jika Mr. Hector bahkan sudah memutuskan untuk menginap di tempat itu daripada perhotelan milik Sinclair Real Estate. Dan kini ia terjebak dalam situasi gamang. Malas dan enggan, Edward merasa aneh untuk menyinggahi salah satu anak istana milik sang musuh. Namun apa boleh buat, lagi pula, sebentar lagi ia akan semakin terikat dengan pemiliknya.
"Oke, tak apa. Singgah ke sana tidak membuat kakiku lantas lumpuh," gumam Edward. Matanya terpejam dalam beberapa saat yang dimaksudkan untuk mengumpulkan segenap keyakinan. Tak berselang lama, ia kembali menyalakan mesin mobilnya.
Edward memasuki pekarangan hotel tersebut dan menuju baseman untuk memarkir mobil mewahnya. Suasana hotel yang senyap membuatnya tak perlu kesulitan dalam menyembunyikan wajahnya, karena harus dirundung malu atas rumor yang beredar.
Edward berjalan mencari elevator terdekat. Ia menekan nomor sesuai lantai yang dituju sesaat setelah memasuki alat pengantar itu. Tak lupa tas kotak berisi uang ratusan juta sudah tergenggam erat dalam cengkeraman jemarinya yang kekar.