Chapter 8 - Derita

Tak jauh berbeda, seperti seekor serigala yang tadinya garang kini justru menciut lantaran tertancap panah milik sang pemburu. Ya, Edward Sinclair baru saja menerima lesatan anak panah menyakitkan dari orang yang ia pikir adalah Febiana. Selama kurun waktu kurang lebih dua minggu ini, rumor mengenai dirinya belum redup sama sekali. Alih-alih, mendingin dan lantas hilang, justru muncul beberapa gambar dirinya dengan seorang pria tak dikenal.

Namun, ketika mengingat insiden di hotel, saat seorang pria tiba-tiba terjatuh di hadapannya, Edward merasa foto tersebut adalah momen di mana ia sedang membantu pria itu. Kalau saja bukan demi kelancaran bisnis, ia sudah pasti akan mengabaikan sosok tersebut. Namun, ironis, sedikit kebaikan yang ia berikan justru menjadi bumerang bagi dirinya serta perusahaannya

"Oh, seandainya aku menyadarinya lebih cepat!" ucap Edward dengan geram. Terbayang di benaknya tentang bagaimana pria itu jatuh, merangkul, serta membelai halus pundaknya dengan dalih merasa lemah dan sakit. Ternyata, sikap pria itu merupakan sebuah tipu muslihat saja. Orang itu hanya aktor dari jebakan yang kemungkinan besar diciptakan oleh seorang Febiana Aditya.

Edward merasa menyesal dengan caranya menilai wanita itu. Nyatanya Febiana secerdas, tidak, tetapi lebih cerdas daripada Kimmy. Wanita itu tak main-main. Entah apa motif yang mendasari sikap Febiana sampai berbuat sejauh ini terhadapnya. Tak mungkin hanya sekadar tertarik. Dan jika masih berkaitan dengan bisnis, rasanya Febiana tak perlu sampai menjatuhkan namanya. Lagipula, kerja sama dengan Mr. Hector dan lahan yang Edward inginkan sudah berada di genggamannya.

"Apa yang membuat dia sangat membenciku? Siapa sebenarnya dia, apa kami pernah bertemu jauh sebelum hari ini? Febiana Aditya? Rasanya aku tak pernah mendengar namanya di masa lalu," gumam Edward sembari menekan pelipis matanya. "Kupikir mengorbankan dua hal besar itu padanya adalah sesuatu yang tepat. Meski beberapa rencana telah kususun, lantaran menganggap dirinya sama seperti Kimmy, membuat rencana itu terus-terusan aku tunda. Tapi, Febiana bukan orang sebaik Kimmy. Dia pasti punya dendam tersendiri padaku."

Edward menghela napas. Sesaat setelah mendapatkan sedikit ketenangan di dalam hatinya, ia lantas beranjak. Edward keluar dari ruang kerja pribadinya dan berencana mencari Ibnu. Langkahnya terayun gontai. Ia yang biasanya tampak gagah dan berbahaya, kini justru terkesan tak berdaya. Bagaimana tidak, selain memikirkan akal licik Febiana, beberapa investor juga menarik investasi karena rumor tak sedap tersebut. Yang lebih parahnya lagi, kedua adiknya beserta istri mereka semakin gencar mengincar tahta di Sinclair Real Estate Group.

Edward menghentikan langkah tepat di hadapan Ibnu yang sudah berdiri tegak untuk menyambutnya. Sejenak, ia memandangi sekretarisnya itu dengan gusar dan menganggap Ibnu tidak berguna.

"Siapkan mobil untukku," titah Edward sembari memalingkan pandangan mata.

Ibnu menatap sekilas sang tuan. "Tuan mau ke mana? Sebentar lagi ada meeting."

"Aku tak peduli. Toh, hanya meeting yang akan membahas rumor, itu tak terlalu penting," tandas Edward.

"Tapi, Tuan, jika Tuan mengabaikan mereka, pasti—"

"Lakukan saja apa yang aku perintahkan, aku tuanmu, bukan mereka!"

"Ba-baik, Tuan."

Tidak ada pilihan lain, selain segera mewujudkan permintaan Edward detik itu juga. Ibnu segera berlalu untuk menyiapkan mobil bagi atasannya itu.

Tak berselang lama, setelah melakukannya, Ibnu kembali menemui Edward di tempat semula. Ia mengatakan jika kendaraan yang diinginkan sang tuan sudah siap. Pada akhirnya, keduanya pergi bersama dan mengabaikan akan janji rapat yang sudah dijadwalkan.

***

Seorang wanita paruh baya yang masih cantik dengan balutan dress nyentrik, tengah duduk di kursi kerja Febiana. Sikapnya tampak begitu berkuasa, wajahnya yang cantik terkesan garang serta menakutkan, apalagi ketika ia memakai riasan tebal dengan lipstik berwarna merah layaknya darah. Wanita itu merupakan seorang nyonya besar, istri dari Edwin Aditya sekaligus ibu dari Febiana Aditya.

"Kamu menggunakan cara pasaran dan konyol untuk melawan Edward Sinclair?" tanya wanita pemilik nama sapaan Madam Trisia itu pada sang putri yang duduk di kursi tamu tepat di hadapannya. "Bagaimana bisa kamu sebodoh itu, Febiana?!"

Febiana menelan saliva. "Itu cara satu-satunya, Ibu. Mr. Hector dan lahan tampaknya tak terlalu memberikan pengaruh pada Edward Sinclair."

Madam Trisia tertawa kecil. "Kamu memang anak bodoh. Ibu tak pernah mengajarimu untuk bersikap selicik ini, Nona. Ibu dan Ayah ingin kamu menjatuhkan Edward Sinclair beserta jabatannya dengan prestasi dan otak cerdas! Bukan seperti nenek sihir! Memalukan!"

"Ibu!" Wajah Febiana pias, marah, dan tidak terima. "Jangan ikut campur. Kumohon," lanjutnya sembari berupaya bersikap lebih tenang.

"Haaah, seharusnya Ibu melahirkan seorang putra bukan putri bodoh sepertimu. Kamu sama sekali tak berguna. Tadinya, Ibu tidak ingin ikut campur. Tapi, jika rumor itu semakin menguat, Edward Sinclair tidak akan tinggal diam. Dia bisa menuntut dirimu, serta Big Golden."

"I-itu tidak akan terjadi!"

"Tidak akan terjadi? Ya! Itu hanya berlaku bagi spekulasi bodohmu, Nona, nyatanya Edward Sinclair jauh lebih pintar daripada dirimu! Lihat saja jika Big Golden sampai terancam, gara-gara kamu. Selain jabatan, seluruh hartamu dari kami juga akan hilang. Bahkan, Ibu dan Ayah berencana mencoretmu dari kartu keluarga."

Febiana tertunduk pasrah. Matanya terpejam kuat, sementara hatinya terasa sakit. Demikianlah hubungannya dengan sang bunda, mengerikan! Big Golden jauh lebih penting dari dirinya yang sebagai seorang putri. Dan hal itu membentuk fakta baru jika Febiana terobsesi akan Edward Sinclair tak hanya sebuah ketertarikan, tetapi juga ambisi untuk membuktikan bahwa dirinya bisa. Febiana ingin menang dari pria itu agar kedua orang tuanya tak akan meremehkannya lagi. Namun, realitanya, apa pun yang ia lakukan selalu dianggap sampah dan tidak berguna.

Tanpa memedulikan hati sang putri, Madam Trisia lantas beranjak. Ia berjalan mendekati Febiana yang masih terdiam frustasi. Jemarinya yang halus dan dihiasi berlian indah mencengkeram kuat dan menyakitkan pada pundak putrinya itu.

"Hmm ... daripada membuat rumor konyol, bukankah lebih baik jika kamu dekati saja Edward Sinclair, Sayang?" usul Madam Trisia sembari mengulas senyuman licik.

Napas Febiana bak terhenti detik itu juga. Sampai kemudian, ia bisa mengendalikan perasaan sesaknya menjadi lebih tenang. "Apa maksud Ibu?" tanyanya.

"Rayu. Kamu cantik dan pintar, perihal merayu pasti bukan sesuatu yang sulit, bukan? Jika sudah sampai sejauh ini, maka kamu perlu lebih maju. Datangi Edward Sinclair, goda dia dengan dalih ingin membantu meredupkan rumor itu dengan cara menjalin hubungan denganmu."

Madam Trisia berlalu bersama senandung merdu yang keluar dari bibirnya. Ia meninggalkan Febiana yang tengah bermuram durja. Sembilu tajam bak mengoyak batin Febiana dan nyaris membuatnya kehilangan daya. Mendadak air mata juga membanjiri pipi putihnya, membuat tali asa tiba-tiba renggang dan nyaris putus detik itu juga. Bagaimana bisa? Kalimat tanya itu langsung muncul di benaknya. Hatinya terasa sakit setelah mendengar usulan sang bunda mengenai goda dan rayu. Dan sungguh! Sampai kapanpun, Febiana tidak akan pernah melakukannya.

Febiana tidak menyangka jika ia akan hidup tak lebih sebagai alat. Raga dan hatinya adalah milik ayah dan ibunya yang memiliki hasrat biadab. Ingin sekali berlari kencang untuk keluar dari zona menyebalkan itu, tetapi ambisinya demi membuktikan diri tetaplah masih besar.

"Nona Febi?" Suara Feline bernada formal tiba-tiba terdengar, membuat Febiana cepat-cepat menguasai kendali atas dirinya lagi.

"Ada apa?" tanya Febiana sesaat setelah menatap Feline yang masih berdiri di ambang pintu ruangan.

Feline tampak menelan ludah dan bersikap sangat hati-hati. "I-itu ...."

"Ada apa, Feline? Ada masa—"

Belum sempat menyudahi pertanyaannya, Febiana dikejutkan oleh kemunculan seorang pria yang memaksa masuk ke dalam ruangannya. Edward Sinclair. Tanpa izin dan pengajuan janji temu, pria itu datang ke kantornya tanpa sopan santun dan seolah membawa marabahaya yang menyakitkan.

"Selamat siang, Nona," sapa Edward dengan ekspresi datar.

Febiana menelan saliva. Belum sembuh luka hatinya atas sikap sang bunda, kini justru muncul masalah baru. Tak ia sangka, Edward akan datang secepat itu dan kemungkinan akan melabraknya lalu memakinya habis-habisan.

***