Chereads / Ritual Tiga Purnama / Chapter 3 - Dia Bernama Alan

Chapter 3 - Dia Bernama Alan

"Tuan... ini keponakan saya,Alecia Hana. Dia akan mengabdi di kediaman Tuan sebagai pelayan,Saya berharap Tuan bersedia menerimanya."Paman Heri menjelaskan perihal kedatanganku.

Aku menatap sosok gagah di depan sana,seorang pria berdiri dalam balutan tuxedo hitam,pria itu menatap tajam ke arahku,sebuah tatapan asing yang membuatku tidak nyaman.

Berdiri di tengah ruangan ini,membuatku seperti tengah menunggu eksekusi hukuman mati. Ku coba berkali kali tersenyum ramah dan menundukkan kepala sebagai tanda hormat,dan bodohnya lututku malah bergetar.sial !

Di sisi kiri dan kanannya,berdiri seorang wanita dalam balutan dress panjang hingga menyentuh lantai,tampak sempurna.Ketiganya masih menatapku tajam,sebuah tatapan yang menyiratkan sesuatu,namun sayangnya aku tak mengerti apa itu.hanya saja,rasa tidak nyaman di dasar hati ini semakin menjadi jadi,ruangan megah yang di penuhi ornamen ornamen indah ini sama sekali tak menyilaukan mataku,lampu lampu kristal yang menggantung di atas sana seakan bergerak gerak saling bergesekan,menimbulkan rasa nyeri di hati.Ah,lagi lagi aku merinding.

"Sttt... beri salam pada Tuan mu !" Paman Heri beberapa kali mengerjab ke arahku.

"Se...lamat Pagi,Tuan,"ujarku sedikit terbata bata.

Anehnya,ketiganya tetap terpaku di depan sana,mereka sama seperti pahatan batu yang di ukir dengan sempurna,tanpa senyum,tanpa reaksi.

"Come on ! kita kedatangan teman baru."

Sebuah seruan mengagetkan ku. Seorang pria muda,melangkah santai dan merangkul bahu ku,membenamkan kepala ku tepat pada dada bidangnya,wangi parfum tercium lembut,manis sekali. Sesaat tatapan kami beradu,dia tampan,sangat sempurna sebagai seorang manusia,bisa jadi ia keturunan dewa, pikirku sambil tersenyum.

Melihat kedatangan pria tadi,ketiga balokan es di depan sana menghambur ke arah kami,satu persatu mereka mengulurkan tangan sembari mengucapkan selamat datang,Ah akhirnya suasana menjadi sedikit cair.Terima kasih,Sebuah pelukan kedua,setelah pelukan Ayah.

Tidak berselang lama,salah satu balokan es mendekat kearah ku,dia begitu cantik dengan make up flawless nya,mungkin usianya jauh lebih muda dari yang lain.

Dia memandangku sejenak,kemudian berbisik.

"Namanya Antonio Golden,Dia Ayahku,"bisiknya seraya menunjuk ke arah pria memakai tuxedo hitam itu.

Aku menganguk pelan.

"Elizabeth Golden,dia ibuku,"lanjutnya seraya menggeser ke arah wanita dalam balutan dress panjang yang berdiri tak jauh dari kami.

"Alan Antonio Golden,kakakku.Sang Pewaris." Bisiknya seraya melempar pandang ke arah pria yang baru saja memelukku tadi.

Namanya Alan. Aku tersenyum seraya memandang pria itu tanpa berkedip.

"Dia sempurna,bukan?"Bisik wanita itu, sontak membuyarkan lamunanku.

Aku tertawa renyah,entah mengapa balokan es di depanku terasa seperti secangkir teh di musim hujan.manis dan hangat.

Sebuah uluran tangan, ku sambut dengan ramah dan tanpa ragu.

"Namaku,Joana Antonio Golden,aku si bungsu yang dimanja," ujarnya seraya mengerling nakal dan meneguk minuman di tangannya.

"Alecia Hana,"jawabku pelan,binar suka cita terpancar jelas dari kedua bola mataku.

Alan antonio golden...

untuk kedua kalinya,ia kembali menatap ku dari depan sana,pandangan kami kembali beradu,beberapa detik tanpa kedip,tapi berhasil meninggalkan rona merah di pipiku.

_________________________

"Ini ruangan yang harus kamu bersihkan menjelang tiga purnama.

kapan?aku akan memberitahumu. untuk apa?itu bukan urusanmu. sebaiknya jangan tanyakan itu,ok?"

Terang wanita di depanku sedikit ketus,aku sungguh tak berani menatap matanya,dia nyonya rumah ini,Elizabeth Golden.

Kulayangkan pandangan menyapu seluruh ruangan,ada beberapa lukisan wanita cantik bertengger indah di dinding,namun ada satu yang menarik perhatianku, piano merah itu, berada tepat di tengah tengah ruangan, disekelilingnya terdapat kelopak bunga yang telah mengering dan beberapa lilin kecil yang berdebu. tapi aku takkan bertanya,aku hanya pelayan disini,bukan seorang detektif. Mengenai piano itu,bila ada waktu aku akan memainkannya,beruntung aku pernah ikut les piano bisik ku dalam hati.

Langkahku terhenti tepat di sudut ruangan, di depan sebuah pintu.

"Ini kamar tidurmu..."ucap wanita itu seraya mengetuk pintu bekali kali, tak lama pintu terbuka, seorang wanita berpakaian palayan keluar,berdiri di sebelahku dengan wajah tertunduk.

"kalian berdua akan tidur di kamar ini,aku tak ingin ada keributan dan... "wanita itu menghentikan ucapannya.

Pelayan di sampingku tampak semakin menunduk,entah apa yang membuat nya begitu takut, padahal di rumah besar ini ada lima orang pelayan, meskipun dengan tempat tidur yang terpisah,tapi mereka harusnya bisa bertegur sapa setiap hari.

"Beri tahu Hana... apa saja yang tidak boleh dilakukan di rumah ini!" ucap nyonya elizabeth sembari berlalu meninggalkan kami yang mematung di depan pintu.

Baru setelah langkah nyonya elizabeth menghilang, pelayan itu berani mengangkat kepala,memandangku sejenak,tersenyum dan membawa barang barangku masuk kedalam, setelah berkemas ia duduk di sampingku, menuangkan segelas minuman untukku.

"Tempat tidurnya ada dua,aku tidur disini,kamu disana...," ucapnya mengawali obrolan kami.

"Iya,terima kasih,"balasku sembari berpindah ke ranjang di sebelah nya,aku menatap jendela kaca di samping kanan ku,sedikit berdebu,ku usap berkali kali hingga mata ku mampu menyapu pemandangan di luar sana,terlihat seperti bukit nan hijau,beberpa pohon buegenvill dan cemara berjajar rapi. lama aku melempar pandang di kejauhan,hingga mataku terpaku pada sesuatu.

Sebuah pilar tinggi terlihat di sebelah sana,tidak begitu jauh,hanya saja sebagian sisinya tertutup jalanan yang bebukit.Warna keemasan terpancar terang dari puncaknya yang menjulang.

"seperti Kastel tua yang kulihat kemarin,"gumamku heran.

"Apa mungkin ini jalan pintas,menuju kastil itu,"ujar ku menerka nerka.

"Apa yang kamu lihat?" Tanya teman sekamar ku itu sembari ikut mengintip di belakangku.

Aku menoleh dan kembali melempar pandang.

"Apa itu kastel ?" Tanya ku memulai pembicaraan.

Gadis itu mengangguk pelan dan duduk di ranjangku,aku segera mengikuti nya.

"kamu sudah lama kerja disini?" tanyaku pelan.

"Baru dua bulan."jawabnya singkat.

"Aku Hana..."ucapku mengulurkan tangan.

Sedikit ragu akhirnya ia menyambut uluran tanganku.

"Sevia,"balasnya kemudian.

"Um... jadi itu benar kastel tua?" Aku mengulang pertanyaan yang sama.

"Iya...orang orang menyebutnya Golden kastel." Terangnya.

Deg !

Seketika ingatanku tertuju pada cerita si sopir kemarin, entah bercanda atau tidak,tapi ia mewanti wanti agar menghindari keluarga darah biru yang bermarga Golden.Aku menelan ludah,"Tumbal darah perawan..." sontak pikiranku di penuhi cerita mistis si sopir.

"Sebelumnya,Apa kamu punya teman sekamar?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"iya,"sahut sevia pelan.

"Apa dia berhenti kerja?" Tanya ku lagi.

Kini gadis itu hanya terdiam.hati ku kembali berkecamuk.

"Kenapa ?"Tanyaku memberanikan diri.

"Entah...

dia gadis yang baik,Lily namanya, dia bekerja lebih lama di banding aku, tapi sebulan lalu,setelah menghabiskan sabtu malam di luar,ia tak kunjung kembali... sampai hari inipun,tak ada pesan perpisahan darinya," gadis itu tampak menerawang.

Ku rangkul tubuh rampingnya,ku pejamkan mata perlahan.

Sevia...

Tahukah kamu bahwa setiap orang mempunyai masalahnya sendiri,pertemuan dan perpisahan adalah hal yang sering terjadi,orang orang baru akan datang dan pergi silih beganti dalam hidup kita.

Hari ini seseorang meninggalkan luka maka esok lusa akan ada orang yang menghapusnya, pelajaran untuk kita agar menerima setiap takdir dengan lapang dada, membuka hati selebar lebarnya untuk siap terluka, siap menerima setiap perih,agar kita dewasa.

Dalam hidup ini,

Setiap jemari akan menorehkan kisahnya sendiri, kisah mu dan kisahku tentu berbeda,kita semua adalah pemilik skenario yang telah disiapkan Tuhan.

Entah apa yang akan terjadi esok lusa, boleh jadi kamu yang akan meninggalkanku atau mungkin aku yang akan pergi lebih dulu.

Berpegang teguhlah pada kebenaran,sekalipun harta menyilaukan matamu,sekalipun cinta meremukkan hatimu,tetap saja tempat terbaik untuk kembali ialah pada Tuhan.

Sevia,tahukan kamu? Ini adalah kisahku...

Namun,Aku telah melibatkanmu di dalamnya,maaf.