Minggu pagi yang cerah tatkala kubuka netra indahku tepat di depan jendela tak bertirai itu, sinar keemasan terpancar dari kedua pilar kastel diujung sana.Aku menatapnya lagi dan lagi, namun seketika bayangan pria berjubah itu datang menghiasi netraku, entah mengapa sepagi ini aku justru membayangkan pria aneh di kastel itu. Malah aku sendiri belum tau siapa namanya.
Menatap kilauan emas di puncak kastel itu seketika mengingatkanku pada cerita May semalam.
"Ah, 100% Mas murni... mungkin bisa kupakai untuk menebus denda agar aku bisa keluar dari rumah ini dalam keadaan hidup hidup!"Gumamku lagi sembari menyeringai.
Ini adalah minggu pagi,dimana semua pelayan dibebaskan dari semua aturan pekerjaan rumah.
Kulirik ranjang sebelah,kosong. Si lugu yang tengah dimabuk cinta telah meninggalkan rumah pagi pagi sekali. Kemana? Tentu saja meneruskan kencan buta semalam.
Ah, aku menggaruk kepala berkali kali. Jika disuruh memilih antara menasehati remaja yang tengah jatuh cinta atau menguras sumur? Maka aku justru memilih menguras lautan.
Setiap lelahnya akan terbayar saat tidur. Namun, saat menasehati remaja yang tengah dimabuk cinta, justru aku tak akan bisa tidur meski sedetikpun.
Kejadian semalam seketika melintas di benakku, entah apa yang tengah dilakukan May sekarang, kuraih gawai putih milikku dan kucoba menghubungi May.
Tutt...tutttt....
"Hallo.... "Sebuah seruan terdengar sayup sayup.
Aku mengernyitkan dahi, jelas jelas ini bukan suara May melainkan suara Lita.
"May mana?" Tanyaku lirih.
Gadis itu justru tak menyahut,hingga aku harus mengulang pertanyaan yang sama hingga berkali kali.
"Hana... coba ketaman belakang!"sahut Lita setelah terdiam cukup lama.
Seketika rasa khawatir merasuk dalam hatiku, tanpa mencuci muka atau sekedar mengikat rambut, ku dorong pintu dengan keras, kuayunkan langkah secepat mungkin, hingga beberapa kali angin menyibak baju tidurku dengan lembut.
Langkahku terhenti tepat di taman belakang, netraku menangkap sosok gadis yang tengah membawa beberapa buah ember ditangan kanannya.
'May...! apa yang dilakukannya sepagi ini?' Pikirku seraya melangkah mendekatinya.
Perlahan kusentuh bahunya, namun ia menolak untuk membalikkan badan. Kucoba lagi dan lagi, Akhirnya pertahanan tubuhnya kalah mungkin kerena terlalu lelah. Kini aku bisa menatap wajahnya dengan jelas.
Beberapa memar tercetak jelas pada kedua pipinya, ada juga guratan guratan merah pada dahi serta bercak bercak darah masih menghiasi bibirnya yang membiru.
"May.... !" Seketika ku rangkul tubuh kecilnya.
"Kamu kenapa?" Aku mulai panik dan melempar ember ember yang tengah ia bawa.
May tidak menyahut,justru air matanya mulai tergenang dan tumpah membasahi pipinya yang membiru.
Tak berselang lama sebuah langkah terdengar beriringan mendekati posisi ku dan May. Aku segara menoleh, ternyata Lita Dan Mawar.
Melihat kondisi May yang kini tertunduk lemah, keduanya mendekatiku dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Pagi pagi sekali, kami dikumpulkan di taman ini. Aku, Mawar dan May.
Tanpa basa basi, nyonya Elizabeth langsung memukul wajah May berkali kali hingga bibirnya pecah dan berdarah. Setelah itu ia juga membenturkan kepala May kedinding sumur hingga tergores...
Nyonya Elizabeth mengancam akan menghabisi siapa saja yang mengganggu hubungan putranya dengan..." Lita menghentikan ucapannya dan memandang kearah mawar sekilas.
"Dengan Sevia...?"Terkaku seketika mengagetkan kedua gadis itu.
"Kamu sudah tau... kalau mereka sekarang sepasang kekasih?"Tanya mawar.
Aku mengangguk pelan dan memapah tubuh May yang lemah.
"Lalu untuk apa ember ember ini...?" Tanyaku pada Lita saat menuju kamar May.
"Nyonya menghukum May agar menguras sumur," sahut Lita pendek.
Dasar keparat ! aku mengumpat tak henti henti, pasti Sevia yang telah mengadukan kejadian semalam kepada Alan.
"Dasar gadis bego, apa yang ada dalam pikirannya hingga tega menyakiti teman nya sendiri!"
Kubaringkan Tubuh May yang lemah di atas ranjang miliknya, dengan sigap mawar mengompres setiap lukanya dengan air hangat.
"Dimana Sevia sekarang?" Tanyaku pada Lita.
"Setelah kejadian tadi pagi,Sevia dan keluarga Golden pergi berlibur... entah berapa lama, aku pun gak tau pasti!" terang lita sembari mengusap kepala May yang tergores.
Kupandangi May yang tengah terbaring lemah.Pagi tadi,jelas aku baru saja berencana menguras sumur, namun justru kini temanku sendiri yang melakukannya.
Benar kata pribahasa bahwa mulutmu adalah Harimau mu. Sebuah pelajaran agar kita memulai hari dengan niat yang baik,ucapan yang indah serta hati yang tulus.
Aku berjalan mondar mandir di depan ranjang tempat dimana May terbaring,sedang Lita dan Mawar tampak sibuk mengganti perban yang menutupi kening May.
"Gimana keadaannya?"Tanyaku pada kedua gadis itu seraya duduk di tepi ranjang.
"May demam... Tangannya sampai gemetar..." Lita menyahut dengan wajah khawatir.
"Kita bawa ke rumah sakit aja ya ?" Saranku kemudian.
Kedua gadis itu tampak menunduk.
"Kenapa?"Tanyaku kemudian.
Lita menatapku sejenak dan mengeluarkan beberapa lembar uang tepat di depan mataku.
"Aku Cuma punya segini... dan ini gak akan cukup buat bayar rumah sakit."Lita terlihat begitu putus asa.
Ah, Aku menggaruk kepala berkali kali, kepada siapa aku harus meminta tolong karena aku sendiri tidak punya uang sedikitpun, sedang rumah sakit memakan biaya yang cukup mahal terlebih bila May ternyata harus di rawat.
Beberapa kali aku menatap gadis itu.bahkan kini bibirnya mulai berceloteh yang tidak tidak, sesekali matanya terbelalak. Aku benar benar kehabisan akal.
"Kalian berdua bawalah May ke rumah sakit terdekat, Aku akan mencari bantuan sebentar..."Usai berujar demikian aku melangkah meninggalkan ruangan.
Kulangkahkan kaki ku dengan cepat sembari otakku tak henti henti berfikir.
Disaat pikiranku mulai kalut,mataku justru menangkap sosok pria di balik pepohonan di ujung sana,kupercepat langkahku mengejar sosok itu,tapi sayang lagi lagi aku kalah cepat.
Kutelusuri pohon demi pohon, semakin lama langkahku semakin jauh meninggalkan rumah, Anehnya Keluarga Golden justru tinggal terpisah dari lingkungan masyarakat, sepertinya mereka keluarga yang enggan besosialisasi. Kulayangkan pandangan kekanan dan kekiri, hanya ada semak dimana mana dan di depan sana, Pria yang kukejar berdiri tepat diantara pilar kastel.Ya, kini aku memasuki kawasan Kastel emas.
Dengan senyum penuh harap, kulangkahkan kakiku perlahan mendekati pria itu.
Pria itu menatapku, mungkin kurang sopan baginya melihatku bertamu dengan pakaian tidur serta rambut yang masih tergerai, dan sialnya netraku justru tertuju keatas tiang kastel itu,lagi lagi beberapa burung gagak menatapku dengan tatapan aneh.
"Selamat pagi...," sapaku pada sosok dihadapanku.
Pria itu melepas jubah hitamnya, kini aku bisa melihat dengan jelas parasnya yang rupawan,meskipun tatapannya sedingin es tapi aku percaya dia pria yang baik.
Kuraih tangannya dengan terburu buru.
"Temanku sedang sakit... bantulah aku...," Ucapku memelas.
Pria itu menatapku lagi.
"Apa yang bisa kubantu?"Dia bertanya lirih.
"Aku butuh sejumlah uang untuk biaya rumah sakit."Balasku terus terang.
"Aku tak punya uang... "balasnya lagi.
Ucapannya seketika membuatku patah semangat namun aku masih belum menyerah, aku tetap memohon lagi dan lagi.
"Aku tak punya uang... tapi aku punya ini..." pria itu berujar sembari mengeluarkan sebuah bungkusan hitam.
Dengan hati hati kuraih bungkusan itu dan membukanya.
Hah... seketika mataku terbelalak,aku melihat tiga potong emas batangan, ukurannya sebesar potongan tempe di pasar, Ah, aku menafsir beratnya kurang lebih 4 kg.
"Ambillah..."Ucapnya lagi.
Setelah berujar demikian, Pria itu memutar langkah dan meninggalkanku sendirian.
"Tunggu... !"Ucapku setengah berteriak.
Pria itu tampak menghentikan langkahnya.
"Namaku Alecia Hana, nama kamu siapa?"Tanya ku sembari mengulurkan tangan kearahnya.
Pria itu menyambut uluran tanganku, tangannya begitu dingin persis sebongkah es.
"Morgan." Balasnya singkat.
Aku tersenyum lega, akhirnya aku tahu namanya. Bisikku dalam hati.
"Satu saja cukup,"ujarku seraya mengembalikan dua batang emas yang ia berikan.
"Setiap gajian aku akan mencicilnya..." Lanjutku tersenyum ramah.
Pria itu hanya terdiam menatap kepergianku. Kulambaikan tangan berkali kali kearah sosok itu sembari mengucap salam perpisahan.
Dengan terburu buru kulangkahkan kaki secepat mungkin, semak demi semak kulewati, pohon demi pohon kulalui sembari mengingat ingat jalan pulang.
Dan anehnya aku malah terjebak dalam masalah yang sama untuk kedua kali, berputar putar di tempat yang sama. Di depan sana, pria rupawan nan baik hati itu masih berdiri mematung, menatapku yang terlihat kebingungan.
"Aku lupa jalan pulang... mungkin aku sudah pikun !"Ucapku sembari menggaruk garuk kepala.
"Mari kuantar," balasnya pendek.
Kuikuti langkah demi langkah pria itu, benar saja arah yang kulalui sama persis seperti yang tengah kami lalui sekarang, lalu apa yang membuatku tidak bisa keluar dari hutan ini? Ah, sungguh kejadian diluar nalar.
"Lurus saja,"Pintanya padaku.
Kuikuti arahan pria itu dan benar saja, Aku kembali memasuki sebuah kabut tipis dengan cuaca yang berbeda, diluar sana jelas jelas matahari bersinar sangat terik tapi di kastel itu cuaca gelap dan dingin.
Mungkin benar, inilah yang dinamakan kabut pembatas antara duniaku dan dunianya.
Mungkin? Ah, masa bodoh ! yang penting bagiku kondisi May harus segera pulih.