"Telepon aku bila sudah selesai."
Setelah berujar demikian,paman Heri menstarter kembali mobilnya dan melaju dengan kecang, meninggalkanku diantara pepohonan yang menjulang tinggi.
Netraku menatap bangunan besar di depan sana, tampak dua pilar kastel berdiri kokoh, warna keemasan dari puncak nya yang berbentuk kerucut terlihat mewah dan elegan.
Hembusan angin menerpa wajahku,menerbangkan rambut panjangku dengan kasar serta mempertontonkan leher jenjangku yang indah.
Hembusan kedua berhasil menyibak dress pelayan yang kupakai,memperlihatkan dengan jelas kedua pahaku yang putih dan mulus.
Meskipun cuaca terasa begitu dingin, namun tugas memetik kembang ini tetap harus kulaksanakan. Setengah berjongkok aku memetik kembang kembang itu. Bagaimana tidak, sebagian tumbuh hanya selutut orang dewasa dan sebagian lagi justru tumbuh merambat di pepohonan. Ku hirup aroma kembang itu berkali kali, sebagiannya mirip bunga melati, kecil dan bewarna putih namun wanginya sungguh menusuk hidung. Sebagian lagi justru aku tak mengenalinya. Sepertinya bunga bunga ini sengaja ditanam untuk tujuan tertentu.
Tak lama berselang, rintik hujan mulai membasahi dress pelayanku, mencetak jelas lekuk tubuhku yang indah. 'Sudah pasti indah aku merawatnya dengan susah payah,'pikirku dengan rasa percaya diri hingga ke ubun ubun.
Ku percepat langkahku,tak ada pilihan lain kecuali berteduh di bawah pilar kastel itu,gumamku dalam hati.
Kusandarkan tubuhku yang mulai basah terkena hujan, kupandangi bulir bulir kristal yang telah jatuh ke tanah,membentuk lubang kecil dan seketika digenangi air.
Itulah air, ia begitu cepat menyesuaikan diri dengan keadaan.
Entah mengapa setiap tetes hujan begitu istimewa bagiku.
"Please Hana..., Jangan terlalu melankolis deh," ucapku sembari menepuk pipi berulang kali.
KREEEKKK
Beberapa menit kemudian, telingaku menangkap suara aneh, seperti suara pintu yang terbuka,kuputar tubuh menghadap pintu, benar saja pintu kastel itu tengah terbuka,tidak begitu lebar, hanya saja terasa seperti tengah memanggil manggil namaku.
"Mungkinkah deru angin mampu mendorong pintu berukuran raksasa itu, atau bisa jadi pintu itu memang tidak dikunci? Aahh... Aku butuh secangkir teh hangat, semoga saja kastel ini ada penjaganya...," gumamku seraya melangkah ke arah pintu kastel itu.
"Permisi...!" ucapku lantang seketika suaraku menggema di seluruh ruangan.
Namun sepi, kuulangi hingga beberapa kali tapi tetap saja tak ada seorangpun disini.
Melihat salamku tak berbalas, aku menutup kembali pintu itu dan memutar langkah ke bawah pilar kastel.
Kulirik jam beberapa kali, sudah setengah jam lebih namun hujan tak kunjung reda, sedang dress pelayan yang kupakai seolah telah menempel pada kulitku. Aku basah kuyup.
Tidak berselang lama,
KREEEKKK
Lagi lagi pintu itu terbuka,ku putar netra mengikuti asal suara itu, benar saja pintu itu kembali terbuka.
Dengan langkah terburu buru, aku kembali menuju pintu itu dan menutupnya dengan rapat, kali ini aku bisa memastikan bahwa angin tidak akan mampu mendorongnya.
Ku usap lenganku berkali kali, rasa dingin semakin menjadi jadi,kilatan petir di sana sini seakan menjadi pertanda bahwa hujan belum akan reda.
Ah, di saat orang orang tengah menikmati teh hangat, aku justru harus meringkuk dalam guyuran hujan,pikirku lagi.
Tidak berselang lama, beberapa burung gagak yang entah dari mana datangnya ikut bertengger di antara tiang tiang kastel, suaranya yang sumbang seakan sedang menertawaiku dengan kejam.
Ku putar netra menatap burung burung itu, " Iiis... dasar si hitam jelek." Gerutuku sembari mendengus kesal.
Setengah jam berlalu,Pintu kastel itu kembali terbuka, justru kini suara nya lebih mengerikan dibanding yang tadi. Wangi kembang menyeruak entah dari mana datangnya.ku hirup aroma kembang di keranjang kecil itu, anehnya tak ada satupun kembang dengan wangi seperti itu.
Ku tarik nafas dalam dalam,
"Pasti pintu itulah sumbernya," ucapku lagi.
Kulangkahkan kaki perlahan menuju pintu itu, kali ini akan kuhajar orang yang diam diam mengerjaiku.
Cuaca yang dingin di bawah guyuran hujan seakan membekukan lututku, sendi sendiku seakan lepas dan berserakan di lantai, beberapa burung gagak di atas sana ikut mematuki kepalaku hingga berdenyut denyut.
"Ah, Halusinasi macam apa ini," ucapku seraya memukul mukul kepala.
Baru beberapa langkah, pandanganku tertuju kearah pintu itu, samar samar netraku menangkap sosok pria dalam balutan jubah hitam di depan sana. Pria itu menatapku, sesaat pandangan kami beradu tanpa kedip.
Ah, mengapa kisah hidupku selalu dipenuhi oleh tatapan aneh,padahal aku butuh lebih dari sekedar tatapan, seperti ciuman, pelukan dan secangkir teh hangat di musim hujan maksudku.
Maaf, dalam kisah ini aku tidak akan menuliskan kisah cinta dengan adegan ranjang.
Aku Alecia Hana,masih perawan.titik!
Dari sorot matanya yang dingin, pria itu seolah telah menahan rindu begitu lama, bisa jadi ia telah menunggu ribuan tahun lamanya.
Hari ini aku datang. Penantianmu yang panjang akan segera berakhir.
Takdir telah mempertemukan kita.
Belum sempat ku gampai pintu itu.
BRUUKKK
Tubuhku lunglai menghantam lantai, setengah sadar aku bisa merasakan saat tubuhku di papah seseorang.
Entah mengapa cuaca yang tadi nya sedingin es kini menjadi hangat.
Ku tenggelamkan tubuhku dalam balutan selimut hangat, rasa nyeri di lututku masih jelas terasa.
"Teh hangat," ucap pria disisi kiri ranjang,tatapannya masih seperti biasa, dingin dan mengerikan.
Tanpa rasa malu, kuteguk secangkir teh hangat yang tengah di sodorkan pria itu, sambil netraku menatap dengan awas. Setelah tenggorokan ku sedikit hangat,ku sibak selimut tebal yang telah membungkus tubuh rampingku, seketika mataku menangkap beberapa bercak darah di seprai putih itu.
"Dasar keparat ! Beraninya kau menodaiku !!" ucapku sembari memukul mukul sosok di hadapanku.
Namun sosok itu hanya terdiam, entah ia merasa iba atau bahkan merasa puas setelah menikmati tubuhku dalam dinginnya guyuran hujan.
Menikmati tubuhku dalam guyuran hujan?Ah, lagi lagi aku menuduh yang tidak tidak.
"Kau harus bertanggung jawab !!"
Isak tangisku mulai pecah di antara derasnya hujan,berharap ada sedikit iba dari sosok misterius di depanku.
Melihat kondisi ku yang telah melewati batas batas kewarasan, pria itu membungkukkan badan,mendekatkan wajahnya ke wajahku. Degub jantungku seakan meletup letup, bagaimana tidak wajah kami hanya berjarak beberapa senti saja.
"Lutut mu yang berdarah !" bisiknya halus.
Ucapannya bagaikan sengatan listrik, sontak membuat wajah ku merah padam.
TIDAKKKKK !!!
Betapa bodohnya!
Tangisku semakin menjadi jadi, tatkala melihat ternyata lututku yang berdarah, bagaimana mungkin aku berfikir yang tidak tidak.
Ku tatap sosok yang kini berlalu meninggalkanku, pasti pria itu menyesal telah menolongku, gumamku perlahan.
Dan sialnya beberapa burung gagak ikut menyaksikan kejadian bodoh itu,tawanya yang sumbang seakan menggema di rongga telinga ku,bahkan kini kotorannya tepat mengenai wajahku.
Dasar sial !
"Semoga aku tak pernah bertemu dengan nya lagi!"gerutuku sembari menjejaki satu demi satu anak tangga.
Tanpa permisi atau sekedar mengucap terima kasih, aku melarikan diri dari ruangan itu, kondisiku persis seperti maling yang baru saja di pukuli masa,basah dan terpincang pincang.
Setelah menjejaki beberapa putaran anak tangga, aku tak jua menemui pintu keluar dari kastel ini. Justru rasa nyeri di lututku semakin menjadi jadi.
Aku menghentikan langkahku sejenak, menarik nafas dalam dalam berusaha menguasai hatiku yang tak menentu.
"Dimana sih pintunya?" Tanyaku perlahan sembari menggaruk garuk kepala.
Tak berselang lama,wangi kembang itu kembali menyeruak.
Hembusan hawa dingin beberapa kali menerpa wajahku, rasanya seperti tengah berada di depan pendingin ruangan.
Beberapa menit kemudian, netraku menangkap sosok hitam berkelebat di antara lampu lampu kristal yang menggantung,suara lampu yang merderik derik menimbulkan rasa ngilu di hatiku.
"Ya Tuhan," ucapku tatkala di hadapkan dengan sosok hitam yang tengah menggantung di antara lampu lampu kristal itu. Mataku bisa menangkap dengan jelas rupanya, sosok itu memiliki dua telinga runcing, bermata merah serta berkuku panjang.
Sosok itu tertawa terbahak bahak menatapku yang tengah mematung di atas anak tangga.
Tanpa peduli arah dan tujuan, Aku berlari menerobos pintu demi pintu, bahkan lutut ku yang tadinya terasa perih seketika menjadi sembuh, aku tersadar tatkala beberapa rumput liar berhasil mengait kakiku dan membuatku terjerembab di antara dedaunan yang basah. Ya. Aku telah berada di tengah hutan. Ranting ranting pohon berhasil menggores betisku nemimbulkan rasa perih yang teramat sangat.
Belum sampai disitu, kejadian di luar nalar kembali terjadi.Dua pilar kastel tampak bediri dengan kokoh tepat di depan mataku, sedangkan aku telah menghabiskan semua tenaga untuk berlari meninggalkan tempat ini.
Jadi,setengah jam yang lalu aku hanya berputar putar ditempat yang sama?pikirku kemudian sembari tertunduk lemas.
"Mari kubantu?"
Aku terperangah menatap sosok yang tengah mengulurkan tangan padaku, pria berjubah itu. Lagi lagi ia datang di waktu yang tepat.
Aku hanya mengangguk perlahan.
Segera pria itu memapah tubuhku yang basah dan berlumpur melewati pepohonan yang lebat. Dedaunan yang jatuh tertiup angin laksana taburan bunga di pesta pernikahanku dan tentu aku adalah pengantinnya. Ku tatap pria itu dalam diam, namun rasa nyaman seketika menyelinap di relung hatiku.
Di kejauhan netraku tertuju pada mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan, ku rasa paman Heri telah menunggu cukup lama.
Pria itu menghentikan langkahnya dan membiarkan ku pergi.
"Terima kasih." ucapku seraya tersenyum manis ke arah pria itu. Namun sosok itu tatap diam, hanya saja pandangannya tak pernah lepas dariku.
Ku langkahkan kaki setapak demi setapak, melewati rumput rumput liar yang menjalar. Sesaat aku bisa merasakan saat tubuhku menembus sebuah kabut tipis.Anehnya,saat berada di dalam kabut itu,hujan berhenti dengan tiba tiba,dress yang semula basah dan berlumpur,kini kering dan bersih tak bernoda,sedang luka luka gores yang ada di betisku mendadak hilang dan tak berbekas, seolah tak pernah terjadi apapun pada ku.
"Aku pasti sudah gila !" gerutuku sembari memukul mukul kepala.