Milen tampak senang dengan semua yang Jazz dapatkan dari supermarket. Rupanya Jazz juga membelikan pembalut untuknya. Suatu hal yang Milen tidak duga sama sekali.
"Kau jenius, Jazz!" seru Milen mengacungkan sebungkus pembalut darinya.
"Aku sering membantu mama belanja, jadi aku sedikit tahu tentang kebutuhan kalian," sahut Jazz tak acuh.
"Wah ada baju bayi juga!" pekik Milen gembira.
"Aku membawa beberapa lusin baju untuk Zee juga untukmu. Semoga cukup dan pas ukurannya," balas Jazz.
"Bra ini pas, tapi celana dalamnya sangat kuno dan mirip model ibu-ibu," keluh Milen. "Tapi nggak apa-apa. Maaf aku cerewet," ralatnya kemudian. Jazz membuka kaleng bir dan duduk dengan tubuh lelah.
"Gue akui, loe memang luar biasa. Cepat mikir dan berani!" komentar Wisnu saat melihat beberapa keperluan dia juga Jazz bawakan.
"Salep itu akan mengurangi peradangan di lututmu," ucap Jazz. Wisnu mengangguk dan tersenyum gembira.
"Gimana hasil drone hari ini, Nu?" tanya Jazz. Wajahnya yang tampan tampak lelah.
"Semua wilayah sudah merata terkontaminasi," sahut Wisnu sambil beranjak mengambil laptop dari ruang kontrol.
"Lihat rekaman ini," ujar Wisnu memperbesar tampilan video. Jazz menajamkan pandangannya. Wisnu benar, seluruh wilayah yang drone mereka bisa capai sudah dipenuhi zombie.
"Tapi ada juga pergerakan dari penduduk yang berusaha bertahan dan bersatu untuk melawan," terang Wisnu. Jazz melihat ada beberapa warga yang berdiri di atas atap sementara membidikkan berbagai macam senjata untuk mengusir zombie dari rumah mereka. Ada beberapa hotel yang menjadi tempat pengungsian. Semua terlihat dari rekaman. Beberapa orang mondar mandir memantau dari balik jendela dan melambaikan tangan pada drone mereka.
"Yang paling mengerikan adalah ini." Wisnu menutup video rekaman dan menayangkan berita streaming dari media tv online. Reporter tersebut menyatakan jika dunia jatuh dalam invasi zombie selama seminggu terakhir ini.
"Indonesia baru dua hari dan semua langsung hancur," ucap Milen dari belakang Jazz dengan prihatin.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Wisnu dan menatap Jazz yang termangu.
"Gue dateng ke rumah sakit tadi. Mama nggak ada di sana. Gue nemu catatan ini." Tangannya mengeluarkan kertas yang kusut. Milen menerima dan membaca.
"Sabar Jazz," hibur Milen sambil meremas pundak Jazz.
"Kecewa karena mereka memilih untuk mendahulukan pekerjaan dan bukan aku, anak mereka," gumam Jazz pelan.
"Kita akan bertahan bersama. Apapun yang terjadi, tidak ada yang meninggalkan satu sama lain, ok?" sambar Wisnu.
"Ya, kita akan bertahan bersama!" sahut Jazz dengan suara tercekat.
"Aku akan masak untuk kalian. Jazz bisakah kamu jagain Zee?" pinta Milen mencoba mengalihkan suasana haru. Jazz mengangguk dengan semangat dan Wisnu kembali melanjutkan pantauannya.
***
Tidak terasa, sudah dua bulan lebih keempatnya bertahan dalam bunker dan hanya keluar untuk mencari suplai makanan. Sesekali Jazz mengajak mereka keluar sebentar di area rumahnya untuk kesehatan Zee yang membutuhkan sinar matahari. Beruntung aliran listrik hanya sesekali mati. Namun Jazz memiliki cadangan generator yang bisa mendukung bunker untuk tetap memiliki aliran listrik.
Beberapa kali, Wisnu melaporkan tentang para aparat pemerintah yang mulai menyelamatkan para penyintas yang bisa mereka temukan. Helikopter mengelilingi wilayah Bogor sesekali. Namun menginjak bulan ketiga, mereka tidak lagi muncul.
"Invansi sudah mendekati hampir keseluruhan pulau jawa," seru Wisnu. Jazz membiarkan Zee berlari-lari. Ya, bayi yang ia temukan masih berusia delapan bulan kini sudah bisa berjalan dan bicara.
"Aku bersyukur, bapak sama ibu dan semua keluarga ngungsi ke arah Ambarawa. Rumah eyang adalah yang paling aman karena bangunan itu peninggalan Belanda yang cukup kokoh dengan pagar tinggi," timpal Milen dengan raut tenang.
"Persediaan solar mulai menipis. Aku harus mengaktifkan solar system. Resikonya, kita nggak bisa pake pendingin ruangan terlalu sering," ucap Jazz mulai prihatin.
"Tapi di bunker sirkulasi udara minim banget, Jazz," tukas Milen yang mulai paham semua system bunker tersebut.
"Ya, itu benar. Terpaksa, kita harus naik ke atas siang hari dan kembali ke bunker buat istirahat malam aja," terang Jazz tentang pilihan mereka.
"Aku bisa menyambungkan system keamanan rumah dengan sistem bunker dan kita bisa monitor dengan laptop. Seandainya ada zombie yang mendekat, kita akan tahu," seru Wisnu dari ruang monitor.
"Ya, itu lebih baik. Aku akan memeriksa system solar dan menyambung ke jalur bunker," ucap Jazz sembari bangkit.
"Jangan lupa, sambungkan kabel keamanan rumah juga ke system di bunker," balas Wisnu.
"Ok Boss!" sambut Jazz.
***
Sudah sejak pagi Jazz berjibaku dengan system solar dan kabel. Saat berada di atas atap, Jazz melihat jalanan sesekali dilewati mobil tentara menuju arah pemukiman. Apa yang akan mereka lakukan mendatangi tempat ini? Batin Jazz heran. Rumah Jazz berada di daerah yang sebenarnya masih lumayan jarang penduduknya. Rata-rata adalah perkebunan dan hotel. Namun tepat di lembah sebelum rumahnya, terdapat pemukiman penduduk yang sangat padat. Sambil menyimpan semua keheranan, Jazz meneruskan pekerjaannya hingga sore.
Teriakan Milen dari bawah menyadarkan Jazz untuk menyudahi. Untunglah semua sudah selesai dan kini tinggal giliran Wisnu yang bekerja untuk bagian sistem. Jazz memang mahir dalam bidang elektrik. Sedangkan penguasaan Jazz tentang sistem masih kalah jika dibandingkan dengan Wisnu. Sahabatnya tersebut sangat mahir dalam mengoperasikan dan bahkan membuat sistem sendiri.
"Wisnu menemukan sesuatu!" seru Milen dengan wajah cemas. Jazz mengerutkan keningnya dengan heran. Perasaannya mulai tidak enak.
Begitu masuk dan menemui Wisnu, Jazz menerima kabar yang kini ia sadari ada hubungannya dengan kendaraan tentara yang lewat tadi.
"Pemerintah memutuskan untuk meledakkan beberapa area yang mereka percaya sebagai komunitas zombie terbanyak," seru Wisnu.
"Sial!" umpat Jazz.
"Ya, brengsek memang. Tidak akan ada lagi aliran listrik juga layanan internet. Kita harus mengakses melalui jaringan sendiri," sahut Wisnu dengan lunglai.
"Semua sistem keamanan tidak akan ada gunanya lagi. Mustahil kita mengandalkan generator. Solar tinggal empat drum, kurang lebih delapan ratus liter saja. Mungkin cukup untuk sebulan tanpa pendingin ruangan," ucap Jazz. Milen tampak cemas. Lambat laun, segala kenyamanan bunker tidak lagi menjadi tempat terbaik untuk bersembunyi.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Milen. Hanya kalimat itu saja yang terlontar dari mulutnya. Wisnu menjauh dari meja dan meremas rambutnya gelisah.
"Gimana kalo kita traveling dan mencari daerah yang paling memungkinkan untuk tempat tinggal? Di rumahku jelas bukan tempat yang aman lagi karena semua dikelilingi oleh makhluk tersebut," tantang Jazz pada mereka.
"Jazz, kita harus bertahan di sini. Tentara itu akan meledakkan pemukiman yang banyak komunitas zombie, bukan tempat tinggalmu kan?" tolak Milen sekaligus mengajukan keberatannya.
"Jazz, bisa kita lihat dulu perkembangannya?" pinta Wisnu juga. Tubuh Jazz yang tinggi dan kekar tampak lunglai.
"Kalian ingin bertahan dengan semua keterbatasan? Ini tidak masuk akal. Tapi, ok. Kita tunggu perkembangannya," ucap Jazz. Milen dan Wisnu bersamaan mengangguk. Jazz meraih ponselnya dan membuka email. Deg!
Ayahnya mengirim surat tadi siang.
'Jazz, kondisi kami masih belum memungkinkan untuk menjemput dan menengokmu di rumah. Kami sudah menerima pesan darimu tiga bulan lalu dan berharap kamu dan temanmu masih bisa bertahan hingga detik ini. Mama juga dalam kondisi baik dan tidak kurang suatu apapun. Terus siaga dan waspada. Semoga kita bisa bertemu segera.'
Jazz merasakan kecewa kembali mengisi hatinya. Orang tuanya tidak lagi memikirkan keselamatan putra tunggal mereka. Jazz mengeraskan hati dan memilih melupakan semua yang baru saja ia baca. Mungkin bertahan hidup dengan kekuatannya sendiri adalah satu-satunya pilihan.