Chereads / EXIT HUMANITY / Chapter 8 - The Ranger

Chapter 8 - The Ranger

Mereka tiba di daerah pasar minggu. Tampak puing-puing bangunan di sepanjang jalan saat memasuki daerah tersebut. Para zombie berkurang, namun gerakan mereka sangat agresif dan lebih kuat. Beruntung mereka melapisi kendaraan dengan perisai terali besi di seluruh bodi mobil.

"Ada yang mendekat," ucap Jazz. Milen yang baru menidurkan Zee bangun. Wisnu menyiapkan senapan dengan segera dan mengambil posisi membidik.

"Nu, mereka manusia!" seru Milen.

"Kita tidak tahu siapa mereka. Jangan sampe manusia yang mencoba merampok dan merebut persenjataan kita," ucap Wisnu.

"Jangan ambil tindakan lebih dulu," saran Jazz. Ketika mobil itu mendekat, suara dari pengeras suara terdengar.

"Keadaan tidak aman! Kami adalah petugas patroli, jelaskan siapa kalian!"

"Apakah aman jika kita keluar?" tanya Milen pada kedua sahabatnya.

"Biar aku saja," sahut Jazz. Wisnu tidak mengubah posisinya. Jazz membuka pintu kemudi dan keluar dengan tangan di atas.

"Astaga dia hanya seorang remaja," seru salah satu petugas tersebut. Mobil kesatuan patroli mendekat.

"Apa yang kalian lakukan di luar nak?" tanya seorang pria berseragam dengan topi hitam heran.

"Kami mencari kantor pusat penelitian Kusuma Bangsa di lebak bulus, pak," sahut Jazz.

"Untuk?"

"Mencari ilmuwan Raka Sumantri," sahut Jazz. Pria itu melepas kacamata hitamnya dan terpana.

"Ya ampun, kamu Rajata? Putri tunggal Pak Raka?" tanya petugas yang gagah itu terkejut.

"Betul. Bapak kenal ayah saya?" Jazz balik bertanya. Pria itu tiba-tiba merengkuh Jazz dengan erat. Jazz terkejut.

"Kamu udah besar banget, Jazz. Dulu masih kecil sekali tiap ikut ayahmu kerja," ucap pria tersebut menguncang tubuh Jazz yang masih terperanjat.

"Kamu mungkin nggak ingat. Tapi aku Trian. Sahabat ayahmu, juga pengawal beliau saat masih bertugas di Belanda dulu. Namamu diambil dari namaku," terang Trian dengan mata berkaca-kaca. Jazz terhenyak dan entah kenapa mendadak ia merasa dekat. Ya, Rajata Trian Sumantri adalah nama yang orang tuanya berikan. Jazz tidak pernah tahu sejarah namanya, karena Trian sendiri bukan nama yang umum. Ternyata ada suatu kisah dibalik rangkaian nama Jazz.

"Ikut dengan kami, semua akan aku jelaskan," ajak Trian. Jazz mengangguk. Dengan beriringan, dua mobil bergerak menuju markas terdekat.

***

Pagar besi itu sangat tinggi dan terlihat berat. Saat bergeser tampak lambat dan membutuhkan waktu untuk sepenuhnya terbuka. Dua mobil masuk dan Jazz juga Wisnu terpana. Markas yang pemerintah dirikan di Kalibata tersebut ternyata juga tempat pengungsian penduduk. Menurut keterangan Trian, mereka membangunnya dengan perjuangan yang cukup berat. Tapi dulu para zombie belum segesit saat ini.

"Mereka berevolusi dengan sangat cepat," timpal Milen.

"Ya, betul sekali. Bagaimana kalian bertahan hidup? Dan bayi ini bukan anak kalian kan?" tanya Trian.

"Bu-bukan Pak," tukas Jazz gugup sambil menggendong Zee yang sedikit ketakutan karena melihat orang asing terlalu banyak.

"Jazz menyelamatkan pada hari invasi pertama," terang Wisnu. Trian tersenyum dan menepuk pundak Jazz.

"Mobil kalian menjadi inspirasi kami untuk membuat yang serupa," puji Trian sambil menunjuk ke arah SUV.

"Terima kasih Pak," sahut Wisnu bangga.

"Oh ya, kalian belum jawab pertanyaan tadi. Di mana kalian bertahan selama ini? Setahuku, pasukanku sudah menyelamatkan semua penduduk di Bogor dan tidak ada yang berkeliaran," ucap Trian sembari mempersilahkan mereka masuk ke dalam gedung utama.

"Di bunker pribadi Jazz," sahut Milen.

"Bunker?" kernyit Trian. Mereka duduk di dalam ruangan yang mirip dengan ruang rapat.

Jazz menjelaskan kemudian dan disambung oleh Wisnu juga Milen. Kegembiraan terpancar dari wajah mereka. Menemukan komunitas yang menyediakan tempat aman memberi mereka harapan baik. Ketiganya tidak lagi sendiri menghadapi perjuangan ini.

"Ayahmu sudah pindah ke Australia bersama ibumu. Baru seminggu yang lalu. Mereka bekerja sama dengan ilmuwan dunia, mencari cara untuk menemukan vaksin dan memutuskan mata rantai ini," terang Trian dengan pelan.

"Dengan mama?" pekik Jazz tanpa sadar.

"Ya, kenapa? Bukankah kau tahu jika kedua orang tuamu sedang mengupayakan semua ini?" tanya Trian heran. Jazz mengeraskan rahangnya. Ada gejolak batin yang saat ini menjadi pertentangan dalam diri Jazz. Ibunya adalah penyebab dari ini semua! Haruskah ia memberitahu Trian?

Milen menyentuh tangan Jazz lembut tanpa siapapun menyadari.

"Jazz hanya terkejut karena ternyata ibunya juga pergi, ia berharap setidaknya berjumpa dengan salah satu orang tuanya," ucap Milen pelan. Wisnu menyadari jika Milen mencoba menghindar untuk membocorkan yang mereka ketahui.

"Sabar nak. Kedua orang tuamu adalah pahlawan negeri ini dan mungkin juga dunia," hibur Trian. Jazz menunduk dan mengepalkan tangan diam-diam.

"Ada barak kecil kosong satu, kalian bisa menggunakan sebagai tempat tinggal. Memang kurang memadai, tapi cukup untuk beristirahat," ucap Trian kemudian.

Setelah itu Trian mendapat panggilan mendadak dan pamit meninggalkan mereka.

"Aku cek barak dulu," ucap Wisnu ikut keluar bersama Trian. Setelah semua pergi, Jazz bersiap melemparkan pertanyaan pada Milen.

"Kenapa kamu menghalangiku untuk mengatakan pada Trian, Mil," tanya Jazz geram.

"Karena itu tidak akan merubah apapun! Ibumu sekarang sedang berjuang untuk menemukan vaksin dan kita harus menghargai itu dibandingkan menyalahkan perbuatannya!" jawab Milen tegas.

"Tapi dia tetap pembunuh manusia seplanet! Bukan hanya satu ataupun sejuta, tapi hampir satu planet ini binasa karena dia!" teriak Jazz makin garang.

"Mereka akan membunuh ibumu dan kesempatan untuk mengetahui formula awal virus tersebut akan hilang begitu saja. Hanya ibumu yang tahu bagaimana penyakit ini diciptakan dan apa kelemahannya!" bantah Milen kesal. Jazz benar-benar buta dan sangat membenci ibunya lebih dari apapun.

"Jazz …," rengek Zee mulai resah melihat mereka berdebat. Pemuda itu mengatur napas dan memeluk Zee dengan penuh kasih.

"Apa Zee … mau bobok?" tanya Jazz berubah menjadi lembut.

"Susu …," pinta Zee dengan wajah lelah dan mengantuk. Milen mengambil botol susu dan memberikan pada Zee. Balita itu merebahkan kepalanya dan minum dengan tangan memainkan kemeja Jazz.

"Setidaknya lakukan demi Zee. Masa depannya harus lebih baik dari kita sekarang," ucap Milen. Jazz terdiam dan matanya menerawang jauh.

"Kita bawa Zee ke mobil aja. Barak itu terlalu panas," ucap Wisnu yang baru kembali mengecek kondisi barak. Jazz mengangguk dan ketiganya keluar ruangan dalam bungkam.

***

Jazz menoleh dan melihat Zee terlelap dengan memeluk boneka beruangnya. Milen dan Wisnu aktif bersosialisasi dengan para warga yang berhasil menyintas tragedi ini. Jazz memilih tinggal dalam mobil dan menjaga Zee. Dari jauh Trian berjalan dengan wajah serius dan kaku. Jazz melihat pria itu bicara dengan Wisnu dan Milen. Tidak lama mereka mendekat dan Wisnu memberi isyarat Jazz untuk keluar.

"Ya?" tanya Jazz.

"Mereka membutuhkan mobil kita untuk menjemput dokter yang akan memeriksa para warga yang sakit. Lokasinya sekitar satu jam dari sini, wilayah Senayan," terang Wisnu.

"Kenapa mobil kita?" tanya Jazz sedikit tidak suka.

"Di sana zombie sangat banyak dan para dokter mungkin membutuhkan tempat lebih untuk menampung lima orang dari mereka beserta obat-obatan. Membawa tank akan sangat boros dan mobil patroli tidak cukup memadai," sahut Wisnu.

"Boleh asalkan aku yang membawa mobil ini," jawab Jazz tidak rela jika mobil pergi tanpa dirinya.

"Aku tidak yakin mereka akan mengiyakan," keluh Wisnu.

"Tidak akan pernah akan pernah kupinjamkan," tandas Jazz tegas. Wisnu melambaikan tangan pada Trian yang mendekat dan menjelaskan keinginan Jazz.

"Yah, mobil ranger ini memang sangat berharga. Kamu boleh bergabung. Bersiaplah, lima menit lagi kita berangkat," timpal Trian tidak lagi berdebat. Jazz meminta Milen menggendong Zee keluar. Balita itu menangis saat melihat Jazz pergi tanpa dirinya.

"Jazz kembali nanti ya Zee …," seru Jazz dengan sedih. Zee tidak peduli dan terus menangis keras. Trian yang pergi bersama Jazz tersenyum hangat.

"Kau sudah mampu memikul tanggung jawab berat rupanya," puji Trian.

"Maksud Om?" tanya Jazz sambil menekan pedal gas menembus jalanan yang mulai gelap.

"Balita itu, sangat membutuhkan dirimu," sahut Trian. Jazz tertawa kecil dan mengingat bagaimana ia berjuang dengan gigih demi keselamatan mereka di bunker.

"Dia pusat hidupku, Om," balas Jazz akhirnya dengan suara tercekat.

"Ya, sama seperti Raka. Kaulah adalah pusat hidupnya," timpal Trian. Jazz menoleh sekilas dan terdiam. Tidak berani bertanya lagi. Ia merindukan ayahnya teramat sangat. Kekecewaan pada ibunya membuat Jazz menyadari bahwa sang ayah lebih menyayangi dirinya walau tak terlihat. Mobil yang secara resmi Wisnu beri nama Ranger terus melaju dengan gesit dan cepat.