Jazz mengemudi Ranger dengan lincah. Trian menunjukkan kepiawaian sebagai penembak ulung. Tembakannya jarang meleset dan tepat sasaran. Begitu memasuki wilayah mampang prapatan, Jazz melambatkan laju Ranger.
"Om … lihat," tunjuk Jazz ke depan. Trian yang tadinya duduk di belakang berbalik dan terhenyak. Segerombolan zombie yang begitu agresif berlari dari atas jalan layang menuju mereka dengan wajah mengerikan.
"Mobil akan dengan mudah mereka robohkan," ucap Jazz dengan kecut.
"Aku akan naik ke atap dan menembak dari atas," ucap Trian dengan cekatan mulai membuka pintu.
"Jangan Om!" tahan Jazz. Trian mengernyitkan dahinya. Inikah saat yang tepat untuk mengatakan tentang rahasianya?
"Saya kebal terhadap gigitan mereka! Saya sudah buktikan itu, mama yang memberikan kapsul antibodi sebelum hari invasi pertama," ucap Jazz. Dia tidak peduli jika Trian percaya atau tidak.
"Benarkah?" tanya Trian namun tidak tampak begitu terkejut.
"Om, Percayalah," pinta jazz. Trian tidak memiliki waktu untuk berdebat. Dia tahu dengan baik siapa Rina dan Raka, orang tua Jazz.
"Baiklah, hati-hati," ucap Trian segera bergeser ke belakang setir, sementara Jazz naik ke atap dan memasang sabuk pengaman agar posisinya kokoh. Jazz memasang senapan dalam posisi siaga. Begitu Trian mulai melaju, Jazz menembakkan peluru ke segerombolan zombie yang tampak lebih buas dan ganas. Senapan milik Trian memang sangat canggih. Dengan model memiliki kaki, Jazz mudah menembakkan ke segala arah. Zombie itu lebih cepat dan mampu mengejar laju mobil. Salah satu zombie melompat dan menerjang Jazz dengan gesit. Jazz berusaha menendang sekuat tenaga, namun zombie pria itu sudah terlanjut menggigit tangannya!
Jazz berteriak dan dengan emosi dia meraih pisau serba guna serta menusukkan pada wajah zombie yang tepat mengenai mata. Zombie itu limbung dan Jazz serta merta menendang dengan kekuatan penuh. Pisau itu masih tertancap sementara tubuh zombie terjatuh. Jazz mengumpat dengan sumpah serapah. Pisau hadiah ayahnya lenyap.
Mereka berhasil melewati serangan tersebut. Jazz memandang lengan yang meninggalkan luka bekas gigitan. Bibirnya meringis karena rasa sakit seperti terbakar. Dia mengetuk kaca mobil dan meminta stok peluru. Trian mengulurkan sabuk peluru padanya, dan Jazz bersiaga di atap hingga mereka mencapai senayan.
"Astaga dia tergigit!" pekik salah satu petugas yang menjaga markas di senayan.
"Tenang, dia kebal!" tukas Trian dan segera menghadap atasannya. Mereka memandang Jazz dengan mimik takut sementara senjata tertuju padanya.
"Hei! Tinggalkan dia! Sudah kubilang dia kebal!" bentak Trian dari jauh. Salah satu dokter wanita yang masih sangat muda mendekati Jazz dan memeriksa pupil matanya tanpa gentar.
"Tidak ada perubahan … Letkol Trian betul," desis dokter itu dengan terkesima.
"Bisakah kau ikut denganku sebentar?" pinta dokter wanita itu pada Jazz. Pemuda tersebut sempat ragu, namun Trian mengangguk.
"Dokter Eve, dia akan memastikan kesehatanmu," seru Trian. Jazz mengikuti langkah Eve menuju ruangan pemeriksaan. Kamar itu mirip dengan ruang operasi. Eve meminta Jazz duduk di kursi yang serupa dengan kursi dokter gigi. Eve meminta Jazz membuka mulut dan tangannya mengambil cairan air liur dengan cutton bud. Mata, telinga, tangan serta kaki tidak luput dari pemeriksaan. Ketika Eve melihat luka di lengan Jazz mulai pulih ia tersentak.
"Tadinya tidak secepat ini. Terakhir butuh sepuluh jam untuk sembuh total," ucap Jazz. Eve menatap Jazz dengan raut tidak percaya. Pemuda itu menutup kembali lengannya dengan memanjangkan kemeja.
"Lihat ini," cetus Eve. Jazz menoleh dan melihat Eve mengambil pisau serta menggores telapaknya.
"Hei!" seru jazz terkejut. Eve meringis sekejap, namun ketika luka Eve juga berangsur membaik, Jazz baru menyadari jika Eve adalah manusia yang serupa dengannya!
"Ba-bagaimana …," Jazz menggantung kalimat karena tidak tahu harus berkata apa. Eve membersihkan darah di telapaknya dengan air di wastafel.
"Ini terjadi setahun lalu, ketika mentorku memberi sebuah kapsul. Anehnya, itu tidak kuketahui hingga aku tergigit oleh zombie di rumah sakit pada hari invasi pertama. Aku hampir putus asa tapi akhirnya sembuh dalam semalam," terang Eve dengan suara pelan.
"Kapsul yang sama …," desis Jazz.
"Maksudmu?" tanya Eve.
"Rina Sumantri adalah Ibuku," sahut Jazz dengan wajah muram.
"Kau anak ilmuwan Raka dan dokter Rina?!" tanya Eve terkejut. Jazz mengangguk.
"Sekarang semua menjadi masuk akal," tanggap Eve.
"Ada lagi sesuatu," ucap Jazz. Eve meminta Jazz mengurungkan niatnya.
"Sebentar," cetus Eve sembari menuju layar monitor dan mematikan cctv. "Silahkan," seru Eve kemudian.
"Segawat itu?" tanya Jazz lirih.
"Kita nggak tahu siapa yang berada dipihak kita saat ini. Aku nggak mau jadi bahan percobaan," sahut Eve. Jazz baru paham. Ia mengambil sesuatu dari ransel yang selalu tergantung di pundaknya. Jurnal milik ibunya beralih ke tangan Eve.
Dokter muda yang sangat jenius tersebut membuka dan wajahnya pucat pasi.
"Ini rumus virus yang menginfeksi para zombie!" pekik Eve.
"Baca hingga selesai," tanggap Jazz. Eve tampak nanar saat menelusuri halaman demi halaman.
"Siapa yang mengetahui tentang hal?" tanyanya cemas dan kalut.
"Aku, Milen dan Wisnu. Semua sahabatku," jawab Jazz.
"Simpan dan pastikan kau mengetahui dengan baik, siapa tahu bisa membantumu," sambung Jazz.
"Aku?" tanya Eve bingung sekaligus senang.
"Ya, aku sudah mengambil foto tiap halaman. Kamu bisa meneruskan penelitian," balas Jazz bersiap pergi.
"Jazz, apakah kamu akan membeberkan ini pada pemerintah?" tanya Eve dengan wajah penasaran. Jazz menghela napas.
"Mungkin, tapi tidak saat ini. Sebelum mama menemukan vaksin untuk penangkal, mungkin dia berguna," jawab Jazz dingin, tanpa emosi dan perasaan.
"Aku berpikir lain," timpal Eve.
"Jangan bilang kalau …,"
"Dokter Rina adalah mentorku, aku tau sifat dan ambisinya! Bagi dia menemukan vaksin dan menjadi terkenal serta mendapat penghargaan nobel adalah obsesi abadinya. Ayahmu, adalah penghalang dari semua ini."
Tubuh Jazz membeku.
"Kapsul yang ibumu berikan pada kita berdua adalah kapsul yang ayahmu temukan. Dia mencurinya dan membakar semua catatan formula. Hanya dua produk dan itu sudah dalam sistem tubuh kita berdua."
"Kenapa bukan mama yang meminum kapsul itu?"
"Tadinya aku tidak menduga apapun. Tapi sekarang aku barus sadar, kita adalah bahan uji coba seorang Rina Sumantri."
"Kenapa kau begitu yakin, Eve?" tuntut Jazz. "Kau mengetahui sesuatu!" desak Jazz kini mendekati Eve dan mereka hanya berjarak setengah meter saja.
"Katakan!! Aku bosan dengan teka teki ini!" bentak Jazz.
Eve mengerjakan mata dan membasahi bibirnya dengan kalut. Rasa bersalah terpancar di matanya.
"Karena dokter Rina tidak ada di Australia bersama Profesor Raka. Dia ada di Ciracas, Jazz," ucap Eve dengan suara bergetar.
"Apa?!!" pekik Jazz. Matanya terbeliak dan memerah dengan emosi kembali mengelegak. Eve menelan ludah dengan gusar.
"Kau bungkam selama ini? Apakah kau adalah kaki tangan mama? Wanita iblis itu?!" tuduh Jazz mulai mencabut senapan dari punggungnya.
"Aku mengiyakan karena permintaan ayahmu!" tangkis Eve dengan cepat.
"Papa? Tahu semua ini?"
"Aku tidak sadar akan semua ini hingga beberapa menit yang lalu waktu KAU memberikan jurnal itu Jazz!" bentak Eve membela diri.
"Aku tanya, apakah papa tahu?!!" ulang Jazz tidak peduli atas pembelaan Eve. Dokter cantik berambut panjang hitam legam itu mengangguk.
"Maksudku, mungkin dan pasti dia tahu. Karena saat dokter Rina kabur malam itu, professor Raka memintaku untuk tidak menceritakan pada siapapun," ucap Eve. Jazz terkulai. Ada apa dibalik semua teka teki ini? Kenapa papanya tidak mengambil tindakan? Apakah ayahnya juga berperan?
"Kini kecurigaanku pada keduanya …," desis Jazz lemas.
"Tidak! Profesor mengirimiku email," bantah Eve dan mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat jari lentiknya membuka sureal dan memberikan pada Jazz.
'Dokter Everine, jika ada pemuda yang datang mencariku, Rajata Trian Sumantri atau Jazz, pastikan dia aman dan kapsul yang dokter Rina curi diriku bekerja dengan baik. Kalian kejar dan cari dokter Rina di Ciracas. Beritahu Trian semuanya. Aku akan kembali dari Aussie secepatnya'
Tangan Jazz tampak gemetar memegang ponsel tersebut. Eve menerima kembali dan menatap Jazz.
"Om Trian …," gumam Jazz. Eve mengangguk.
"Dia sudah tahu tentangku. Dia sempat mencarimu di rumah tapi tidak ia temukan," cetus Eve. Jazz mengusap wajahnya dengan perasaan tak menentu. Pintu terbuka dan Trian muncul.
"Dokter Eve sudah siap?" tanya Trian. Eve mengangguk. "Jazz, sudah tau semuanya?" tanya Trian kembali.
"Sudah," sahut Eve singkat dan mulai membenahi tas kerjanya. Trian masuk dan menutup pintu serta mengunci.
"Kenapa tidak dari awal Om katakan semua," tanya Jazz. Trian mengambil kursi dan duduk.
"Aku tidak pandai bercerita. Lebih baik juga Eve yang menyampaikan. Aku tidak tega memberitahu semua padamu. Kau menghilang entah kemana Jazz. Raka mengirimku dua kali untuk melacakmu, tapi sia-sia. Siapa yang akan tahu tentang bunker rahasiamu itu?" terang Trian dengan kebapakan.
"Apakah kita akan memburu mama?" tanya Jazz. Trian menoleh pada Eve.
"Maaf, tapi ya. Pangdam Jaya sudah memberi perintah padaku," sahut Trian lemah.
"Jadi pemerintah tahu?" tanya Jazz kembali. Trian mengiyakan. "Kenapa mereka bungkam selama ini? Apakah pemerintah meredam kasus mama?" desak Jazz mulai hilang kesabaran.
"Ya. Jika tidak, mamamu akan diburu oleh semua negara dan tidak menutup kemungkinan, mereka akan mengirimkan nuklir. Indonesia akan luluh lantak," jawab Trian. Jazz mendesah dengan berat.
"Apakah datang ke Senayan juga hanya alasan saja?" tanya Jazz. Trian menunduk.
"Ya dan tidak. Kami memang harus membawa dokter dan suplai obat-obatan," sahut Trian masih tampak sungkan menjawab.
"Sebentar lagi malam, kita harus tiba di kalibata sebelum gelap," seru Eve memotong pembicaraan mereka. Jazz bangkit dan menggantungkan ransel.
"Aku ikut rencana kalian," pungkas Jazz. Eve dan Trian menarik napas lega. Ketiganya keluar beriringan dan segera mempersiapkan pengangkutan untuk dokter dan juga suplai pengobatan.