Bab 12. Milen Breakdown
Tujuan mereka untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik menuntun mereka tiba di Ambarawa. Kota kecil yang terkenal sebagai kota Palagan tersebut tampak seperti kota mati yang telah di tinggal puluhan tahun. Banyak sekali mayat bergelimpangan. Menurut Milen, Ambarawa adalah salah satu markas tentara terbesar di Indonesia. Mungkin itulah sebabnya, orangtua Milen berhasil menyintas tragedy tersebut dan selamat. Walaupun banyak yang menjadi korban, namun prosentase penduduk yang selamat adalah enam puluh persen dari total populasi daerah ini.
"Itu tempatnya!" seru Milen. Wisnu mengaktifkan drone dan melihat ke dalam markas yang tampak cukup rapi dan tampak pembangunan rumah masih berjalan. Mereka membangun tembok tebal yang sangat tinggi, sekitar tujuh meter. Gerbang tersebut juga tampak berat dan hanya bisa di buka dengan system otomatis.
"Aku akan keluar dan meminta ijin masuk," ucap Jazz. Pagar yang tertutup dan tampak tebal tersebut terdapat kotak kecil seperti jendela. Jazz mengetuk dengan lantang. Jendela kecil itu terbuka dan muncul sosok wajah pria.
"Ya, ada keperluan apa?" tanyanya tidak ramah.
"Ingin ketemu dengan Bapak Ruslan dan Ibu Sari," jawab Jazz.
"Ada urusan apa dengan mereka?" tanya pria itu lagi.
"Anak mereka ingin ketemu," sahut Jazz mencoba untuk bersabar. Tanpa membalas, pria itu menutup jendela kembali. Jazz menunggu cukup lama dan hampir berbalik ke mobil ketika pintu mulai bergeser dengan pelan.
Jazz bergegas masuk kembali ke mobil saat mereka memberi isyarat untuk masuk. Milen terlihat gusar dan gelisah. Ini adalah perjumpaannya dengan keluarga setelah sepuluh bulan berpisah setelah dunia kacau. Biasanya Milen akan kembali sebulan sekali walaupun hanya dua hari.
Salah satu tantara mengantar mereka ke salah satu rumah yang terletak di tengah, kemudian meninggalkan mereka. Milen mengetuk pintu dan tampak gugup. Tidak lama, pintu terkuak dan adiknya muncul. Milen sempat tertegun sejenak kemudian memeluknya dengan tangis meledek. Jazz dan Wisnu menyusul. Kalen, adik lelaki Milen mempersilahkan mereka masuk.
"Kemana Bapak sama Ibu, Kal?" tanya Milen heran. Kalen menelan ludah dan tampak sulit berbicara.
"Kal, mana Bapak sama Ibu?" tanya Milen kembali.
"Mereka tergigit saat mutasi ke markas ini, Mbak. Para zombie menggila dan pertahanan bobol," sahut Kalen tercekat. Milen membuka mulut dan membeku.
"Di mana mereka sekarang …," tanya Milen dengan air mata mulai mengalir satu persatu. Harapannya bertemu ayah dan ibu dalam kondisi sehat dan selamat telah pupus. Adiknya bertahan sendiri selama ini tanpa kedua orang tua mereka.
"Ada di karantina belakang," sahut Kalen dengan suara tercekat.
"Aku pengen ketemu mereka," pinta Milen. Kalen mengangguk dan mengajak kakaknya. Wisnu menuntun Milen yang tampak terguncang. Kalen melangkah ke daerah bagian paling belakang dan setelah melewati proses yang cukup ketat dengan berbagai laporan ke penjaga, mereka tiba di sebuah lapangan luas dengan pagar kawat yang sangat tinggi dan kokoh. Entah ada berapa jumlah mereka, tapi lumayan banyak zombie yang terkungkung.
"Mereka adalah zombie yang berubah setelah tiba di markas. Komandan tempat ini mengatakan bahwa Jakarta sedang mengusahakan vaksin untuk mereka yang terinfeksi kurang dari tiga bulan karena scar tisu tubuh mereka belum membusuk dan bisa mendapat kesempatan sembuh," papar Kalen. Milen mencari sosok ayah dan ibunya. Ada yang aneh dengan zombie di sini. Tingkah laku mereka tidak seagresif seperti makhluk yang berada di luar sana.
Akhirnya Milen melihat dua orang yang ia kenali dan rindukan. Ayah dan ibunya!
"Bapak, ibu!" panggil Milen dengan histeris. Ajaib dan cukup mengharukan, ayah dan ibunya mendekat dengan langkah pelan mendekati Milen.
"Jaga jarak!" seru petugas dari jauh. Ayahnya menatap Milen dengan bingung sementar ibunya langsung memegang kawat dan membuka mulut namun tidak ada suara yang keluar. Jazz melihat mata mereka berkaca-kaca.
"Mereka mengenalimu," bisik Wisnu.
"Kenapa masih ada memori mereka saat menjadi manusia?" gumam Jazz bingung.
"Bapak, Ibu, Milen janji akan menemukan vaksin itu untuk kalian," janji Milen dengan tangis tergugu. Kalen memeluk kakaknya. Remaja berusia lima belas tahun tersebut tampak lebih tegar.
"Aku sering mengunjungi mereka dan menunjukkan album foto kita. Mereka masih mengingat dan menangis setiap aku datang berkunjung tiap minggu," ucap Kalen. Jazz menelan ludah dengan pikiran tidak menentu. Wajah ayah dan ibu Milen tampak memucat dengan bibir menghitam. Kuku jari mereka juga menghitam dan beberapa copot. Tapi selebihnya mereka tampak utuh tanpa kurang apapun.
"Sebentar lagi tubuh mereka akan membusuk dan semakin banyak bagian tubuh yang terlepas," papar Kalen memberitahu proses kehancuran zombie nantinya.
"Bagaimana itu bisa terjadi, sementara yang di luar sana masih tampak sehat?" tanya Wisnu.
"Mereka yang di luar makan daging yang bisa membuat mereka bertahan. Zombie yang berada di sini tidak makan apapun," sahut Kalen.
"Tapi mereka tidak terlihat ganas dan lapar. Aneh sekali," gumam Wisnu.
"Saat pertama kali berubah, mereka melakukan hal yang sama. Tapi setelah tiga hari, semua reda dan mereka kembali tersadar. Namun tanpa kontrol penuh akan pikiran dan suara." Kalen sepertinya memahami dnegan baik proses perubahan tersebut dengan baik.
"Waktu berkunjung selesai!" seru petugas. Milen masih belum puas.
"Ayo Mbak," ajak Kalen. Milen meninggalkan tempat penangkaran zombie dengan berat. Begitu kembali ke rumah, Milen tampak termenung. Kini segala ketidak peduliannya pada urusan Raka, ayahnya, harus ia pinggirkan. Demi orang tua Milen, Jazz berniat akan mengejar ayahnya untuk memberikan vaksin tersebut.
"Kita akan ke Jakarta lagi," cetus Jazz. Wisnu yang duduk tidak jauh darinya menoleh.
"Kamu yakin?" teriak Wisnu. Ia tahu bahwa Jazz menghindari untuk bertemu dengan orang tuanya karena kemelut yang ia hadapi sekarang.
"Akan banyak keluarga dan orang-orang baik yang bisa kembali. Kita harus melakukan ini," sahut Jazz yakin.
"Jazz, ini akan sangat berarti buatku dan Kalen," sambut Milen dengan antusias dan semangat.
"Kita adalah keluarga yang tidak akan meninggalkan satu sama lain," balas Jazz sambil memangku Zee yang mulai mengantuk.
"Aku akan masak untuk makan malam!" seru Milen kini tidak lagi murung dan bergegas ke dapur.
"Aku boleh ikut kalian? Aku bisa menembak dengan senapan dan juga pistol," pinta Kalen penuh harap. Jazz tidak bisa memutuskan saat itu. Tapi rupanya Wisnu memiliki pemikiran yang lain.
"Aku akan mengatakan iya. Akan lebih baik untuk Kalen belajar menjadi seorang penyintas sejati daripada berdiam di sini dan menjalani hidup dalam rasa bersalah. Dia laki-laki, Jazz." Wisnu menyatakan pendapatnya. Jazz tersenyum dan membenarkan dalam hati.
Jazz mencium dahi Zee dengan gemas.
"Menurut Zee kita ajak Kalen nggak?" tanya Jazz pada balitanya yang kini berusia dua tahun.
"Ajak Jazz, anti dia angis …," jawab Zee malas dan menyusupkan kepala pada dada Jazz mencari kehangatan. Jazz dan Wisnu terkekeh geli sementara Kalen terbahak keras mendengar kelucuan Zee.