Chereads / EXIT HUMANITY / Chapter 6 - Destruction Cause

Chapter 6 - Destruction Cause

Jazz melonjak dari sofa dan hampir menimpa Wisnu yang tidur di karpet bawah. Wisnu juga terjaga dengan mata mengernyit.

"Suara apa itu?" tanya Wisnu. Keduanya mendengar dentuman keras yang menggetarkan dinding juga lantai.

"Jazz, Wisnu, suara apa itu!" teriak Milen dengan mata mengantuk.

"Mereka mulai memulai penghancuran …," ucap Jazz. Matanya nanar dan sikapnya mulai gelisah.

"Bagaimana jika …,"

Belum sempat Milen menyelesaikan kalimatnya, lampu mati.

"Mati kita …," keluh Wisnu putus asa. Jazz melompat bangun dan masuk ruang monitor untuk mengaktifkan generator. Tidak memakan waktu lama, listrik kembali menyala.

Dentuman kembali terdengar dan kali ini tampak sangat dekat karena kaca mulai bergetar hebat.

"Kita mungkin akan sulit bertahan jika ini terus berlangsung," kata Jazz dengan cemas.

Plafon bergetar dan serpihan mulai berjatuhan. Milen berlari menuju kamar dan mengambil Zee. Wisnu masuk ke ruang monitor. Tiba-tiba muncul di kepalanya untuk meluncurkan drone dan mengaktifkan mode malam.

"Kita monitor apa yang terjadi di luar sana," seru Wisnu menjelaskan tujuannya. Jazz meraih senapan dan bersiap ke atas.

"Aku akan memeriksa atas. Jaga-jaga jika ada yang masuk atau membutuhkan pertolongan," pamit Jazz. Milen mengiringi langkah Jazz dengan pandangan penuh khawatir.

Jazz melangkah dengan cepat dan gesit. Senter di kepalanya mempermudah suasana gelap yang memang dia ciptakan supaya tidak menarik siapa pun untuk mendekati kediamannya. Malam itu sinar purnama bersinar dengan terang dan ia mampu melihat kepulan asap dari berbagai arah. Dentuman ledakan terdengar tanpa henti. Ini seperti berada di wilayah perang.

Jazz memejamkan mata dan memanjatkan doa dengan penuh kepasrahan. Jika ini akan membuat zombie bisa dimusnahkan, semoga menjadi awal yang baik setelah tiga bulan hidup dalam ketakutan. Milen sudah menguasai senjata api dengan baik, Wisnu juga mengajari Milen bagaimana menyetir. Jazz memberikan sedikit bekal untuk Milen bertempur dengan gerakan silat yang ia miliki. Jazz dulu mengikuti padepokan silat selama empat tahun. Namun selama ini ia tidak pernah menggunakan untuk berkelahi.

Setelah berkeliling dan semua tidak ada yang mencurigakan, Jazz naik ke atas, menuju lantai tiga rumahnya. Baru saja ia naik di lantai dua, Jazz tertarik untuk mampir ke kamar orang tuanya. Terakhir kali ia ke ruangan ini adalah ketika Milen membutuhkan baju. Itu adalah dua bulan lalu. Jazz menatap seluruh ruangan yang gelap. Tangan Jazz menyalakan saklar lampu dan seketika kamar terang.

Aroma parfum ibunya masih tercium sekilas.

"Di mana kamu, Ma," desis Jazz lirih. Kerinduan akan ibunya terkadang muncul dan ia tidak pernah siap menerima kenyataan saat peristiwa ini terjadi.

Jazz menuju sebuah pigura yang menampilkan foto mereka bertiga dalam baju adat jawa. Jazz baru berusia empat belas tahun jika ia tidak salah mengingat. Ayahnya tampak gagah dalam balutan beskap jawa hitam. Tanpa sadar, Jazz mengelus foto dengan jarinya.

Matanya mendadak merebak dan hatinya terasa sakit. Dengan tangan terkepal, Jazz meninju pigura dengan sekuatnya hingga kacanya pecah dan melesak ke belakang. Suara benda berat bergeser terdengar dari arah lemari. Jazz menyiagakan senapannya dengan refleks. Lemari ibunya bergeser dengan perlahan ke samping dan menutup arah masuk kamar mandi. Ada pintu besi di balik lemari tersebut. Jazz terperanjat dengan mulut terbuka.

"Ruang rahasia?" desisnya takjub. Dengan langkah pelan, ia mendekat. Jazz melihat ada bentuk seperti bulan sabit yang cekung ke dalam. Jazz merasakan tubuhnya dingin. Tangannya meraba kalung perak dengan liontin emas hadiah ibunya saat berusia tujuh belas tahun. Liontin itu sangat besar dengan ukuran sekitar tiga centi. Dengan gemetar, Jazz melepas kalung dan meletakkan ke dalam ukiran pintu bentuk bulan sabit tersebut. Saat liontin tersebut Jazz tekan, benda itu masuk dengan sempurna dan pintu besi terbuka dengan pelan.

Apa maksud ibunya memberi kalung tersebut dan menyembunyikan ruang rahasia ini? Jazz masuk dan lampu sensor menyala otomatis. Ruangan itu sangat kecil dan berukuran satu kali satu meter. Ruangan itu kosong dan hanya terdapat meja kecil tinggi di tengah. Ada kotak kayu berwarna hitam mengkilap dan setengah terbuka. Jazz membuka dan menemukan buku jurnal. Dengan cepat, ia membalik dan membacanya.

Rata-rata hanya berupa rumus seperti formula dan Jazz tidak memahami sedikit pun. Pada halaman tengah, Jazz baru menemukan tulisan ibunya.

22 Mei 2010.

Sudah selama sepuluh tahun penelitian ini tidak membuahkan hasil. Namun akhirnya hari ini semua mulai menampilkan titik cerah. Virus yang sedang timku kembangkan akan kami coba dan menemukan vaksin yang bisa menjadi penemuan juga membawa namaku sebagai ahli virus terkenal. Virus yang akan kami uji coba di Australia ini kemungkinan akan berbeda pada manusia. Tapi semoga tidak sampai menjangkiti manusia. Hewan akan menjadi buas dan lepas kendali. Selangkah lagi menuju keberhasilan!

16 Maret 2014

Mas Raka mulai mencurigai saat aku menanyakan beberapa hal. Dia sepertinya mulai menebak apa yang sedang aku kerjakan. Aku terpaksa memberikan kunci ke tempat rahasia ini pada Jazz. Dengan begitu, Mas Raka tidak akan bisa menemukan dan memaksaku membuka ruang tersebut.

09 Januari 2017

Sikap mas Raka mulai dingin. Terkadang ia tidak kembali berhari-hari. Aku harus mengeluarkan semua catatan dan dokumentasi dari ruang rahasia. Virus telah di tes dan sejauh ini berhasil dengan baik.

28 April 2018

Gagal! Vaksinku gagal menyembuhkan binatang yang menjadi uji coba kami. Aku membutuhkan Mas Raka dalam hal ini. Tapi ternyata aku pengecut untuk meminta tolong padanya. Sudah ada empat orang yang terinfeksi dan berubah seperti predator yang mirip dengan zombie. Oh Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?

Jazz jatuh bersimpuh dan tubuhnya lemas. Ibunya adalah pusat dari semua kekacauan ini! Bagaimana ini bisa terjadi? Wanita yang sangat ia hargai, hormati dan kagumi ternyata sebagai awal penghancur dari dunia!

Apakah ayahnya mengetahui hal ini? Jazz tiba-tiba ingin menelepon ayahnya.

"Sial!" umpat Jazz ketika menyadari ponselnya di dalam bunker. Tanpa berpikir hal lain, Jazz kembali menuruni tangga menuju bunker!

***

"Inilah sumber dari semua kekacauan dunia!" seru Jazz membanting buku jurnal di meja. Milen yang duduk sambil mengipasi Zee terkejut.

"Milik siapa ini?" tanya Milen.

"Mama," sahut Jazz kecut. Milen membaca semua dan wajahnya tertegun.

"A-aku tidak menyangka, Jazz," ucap Milen terperangah.

"Ada apa?" tanya Wisnu. Milen menyodorkan buku padanya. Wisnu melemparkan umpatan.

"Sorry, Jazz. Gue bukan mau nyalahin tapi ini …,"

"Dia layak mendapatkan itu," tukas Jazz memotong ucapan Wisnu.

"Hanya karena dia ingin mengejar popularitas dan ambisinya, Ibuku sanggup melakukan hal keji!" teriak Jazz dengan amarah menggelegak.

"Jazz … anan mayaah …," seru Zee mulai bersiap menangis karena takut. Jazz tersentak dan menoleh pada Zee yang menatap dirinya dengan raut sedih.

"Enggak. Sini Zee," panggil Jazz seketika mereda. Zee berlari dan memeluk Jazz kuat-kuat.

"Zee tayang Jazz, anan mayah ya …," ucap Zee dan memeluk leher Jazz yang bersimpuh di lantai. Jazz tersenyum lembut.

"Zee mau bobok sama Jazz?" tanyanya terharu. Balita itu mengangguk dan tertawa senang. Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Zee menguap berkali-kali. Jazz menggendong Zee masuk kamar dan meminta Wisnu menyalakan pendingin ruangan. Milen menatap keduanya dan hati gadis itu tersentuh. Zee sangat melekat pada Jazz dengan cara yang Milen tidak ketahui kenapa. Setiap menangis, Zee hanya bisa tenang kembali jika Jazz mendekat dan bicara padanya.

"Ternyata The Destruction Cause ada di rumah ini. Berasal dari tempat kita," ucap Wisnu dengan lesu. Milen menghela napas panjang dan tidak ingin menimpali lagi.