Happy reading
Rayn San masih menggunakan kemeja biru dengan lengan bajunya digulung, memperlihatkan lengannya yang ramping dan indah. Aura dinginnya tidak terlihat. Dia menyandarkan kepalanya di salah satu lengan yang bersandar di sofa dan di sampingnya ada gelas anggur yang masih tersisa di dalamnya.
Berlian membeku beberapa detik, lalu tertawa canggung. "Haha…. Ka-kapan kamu masuk?"
Rayn San menatapnya dengan tenang. "Baru saja."
"Di mana Bibi Lena?"
"Dia sudah keluar."
"Oh."
Suasananya menjadi agak kaku dan hening. Tatapan pria itu tertuju pada tubuh Berlian. Keindahan tubuhnya yang tidak bisa diragukan lagi. Dia terlihat sangat seksi.
Rayn San tetap diam dan Berlian juga tidak tahu harus berkata apa lagi. Tubuhnya meringkuk karena merasa tidak nyaman, terutama karena tatapan Rayn padanya.
Dia menahan keinginannya untuk melarikan diri dan menarik ujung piyama itu ke bawah. Berlian mendesah tanpa daya, pada akhirnya dia memaksakan dirinya untuk tenang dan berkata, "Tunggu sebentar. Aku mau ganti baju yang lain."
Kemudian, Berlian membuka lemari pakaian dan mulai mengobrak-abrik. Setelah dia menemukan pakaian yang sesuai dia inginkan, dia merasa lebih nyaman.
"Kamu sudah selesai?"
Berlian mengangguk.
"Kalau begitu tidurlah!"
Rayn San berdiri dan berjalan dengan kaki panjangnya ke tempat tidur. Tiba-tiba dia mulai membuka pakaian.
Mata Berlian berkedut. "Apa yang sedang kamu lakukan?"
Rayn San memandangnya dengan mengerutkan kening, "Bukannya kamu mau tidur?"
Berlian kembali ke akal sehatnya dan menyadari bahwa reaksinya terlalu berlebihan. Dia memaksakan senyumannya
"Hum… Apa kamu mau mandi dulu?"
Rayn menatapnya sejenak dan terdiam. "Iya." Dia berbalik dan berjalan ke kamar mandi.
Berlian akhirnya menghela nafas lega dan memejamkan matanya. seluruh tubuhnya rileks dan dia menjatuhnyakan dirinya ke tempat tidur, seolah menjadi santai dengan kepergian pria itu.
Namun, pada saat ini, tiba-tiba suara Rayn terdengar dari kamar mandi.
"Sayang, tolong ambilkan piyama untukku?"
Berlian tercegang. 'Mengapa dia tidak membawa piyama ke dalam kamar mandi?'
Berlian tidak punya pilihan selain bangun perlahan dan membawakannya piyama. Pakaian pria itu disimpan di lemari samping pakaiannya. Dia mengambilkan satu set dan pergi ke kamar dan mengetuk pintunya.
Pintunya terbuka dengan lebar. Dia berdiri di sana, air menetes dari tubuhnya, tangannya masih tertutupi busa sabun. Tetesan air yang menetes tak terhitung jumlahnya meluncur ke bawah otot perut yang terbentuk kotak-kotak.
Mata Berlian membelalak kaget. "Ah-!"
Jeritan pendek keluar dari bibirnya sebelum dia bisa menutupi mulutnya. Detik berikutnya, dia melemparkan pakaian itu dan membanting pintu dengan keras.
"Rayn San! Apa yang sedang kamu lakukan?"
Rayn terdiam. Suara sedih pria itu terdengar dari dalam kamar mandi, "Sayang, kan aku sedang mandi?"
Berlian terdiam sambil mencoba menenangkan dirinya. Sementara Rayn di kamar mandi, mengaitkan bibirnya diam-diam. Dia meletakkan piyamanya di rak sebelum melanjutkan mandi.
Berlian kembali ke kamar tidur dan duduk di tempat tidur. Dia masih bisa merasakan suhu panas di dadanya. Adegan yang dilihatnya tadi terus tergiang di benaknya. Dia mendapati dirinya mengagumi tubuh Rayn dan merasakan gairah yang memalukan. "Iish, pria itu…"
Semakin dia coba untuk menghilangkan bayangan pria itu. Berlian semakin tidak bisa melupakannya. Dia menggertakan giginya dan mencoba untuk tetap tenang.
Tak lama kemudian, Rayn keluar dari kamar mandi. Penampilan Rayn yang sederhana itu tidak mengurangi ketampanannya. Itu membuat Berlian bertanya-tanya 'Mengapa mentalnya seburuk ini?'
Dia mengalihkan pandangannya dengan tidak nyaman dan berbalik untuk menarik selimut. Dia berpura-pura untuk tidur dan mencoba menyembunyikan rona merahnya karena malu.
Lampu di kamar hanya menyisakan lampu dinding di sudut. Lampu itu redup tetapi dari kejauhan, sinarnya tidak menyilaukan dan memberikan perasaan hangat dan menenangkan.
Saat Rayn San berbaring, kasur dibelakangnya agak merosot. Tubuh Berlian menjadi tegang tetapi untungnya, Rayn tidak melakukan apa-apa dan menghormati permintaannya seperti tadi malam. Meskipun mereka berdua tidur bersama, Rayn selalu menepati janjinya.
Berlian perlahan menenangkan pikirannya, kelopak matanya semakin berat dan detik berikutnya dia terlelap.
Keesokan harinya, Sandra Zein meneleponnya pagi-pagi. Pengacara yang sebelumnya mengesahkan surat warisan ibunya telah ditemukan dan Sandra menyuruh Berlian pergi ke bank pada pukul 9 pagi.
Rayn cemas Berlian pergi sendirian, jadi dia menyuruh Kevin untuk menemaninya. Berlian tidak menolak niat baiknya dan menyetujuinya.
Ketika mereka tiba di Bank, keluarga zein belum datang, tetapi pengacaranya sudah hadir. Nama belakang pengacara itu Sbastian. Dia adalah teman sekelas Febiola di perguruan tinggi dan sangat dipercaya oleh Febiola, jadi peninggalannya itu diserahkan kepadanya untuk disimpan.
Berlian menemuinya dan berbasa-basi sejenak. Dia penasaran dan bertanya, "Tuan Sbastian, apa yang sebenarnya ditinggalkan ibuku? Kenapa harus menunggu aku untuk menikah dulu?"
Tuan Sbastian tersenyum, "Sejujurnya, saya juga tidak tahu, tapi saya yakin dia punya alasan sendiri! Adapun di dalamnya… Anda akan segera tahu."
Setelah sepuluh menit, keluarga Zein tiba. Usai acara pesta ulang tahun yang lalu, kebencian keluarga Zein terhadap Berlian bisa di bilang menusuk sampai ke tulang mereka.
Itu sebabnya Berlian terkejut saat mereka bersedia unuk bekerjasama dan mengembalikan peninggalan ibunya kepadanya. Namun, Berlian tidak mengatakan apa pun. Mereka mengambil berangkas sesuai janji.
Di bawah notaris pengacara Sbastian, Sandra membuka brangkas itu. Di dalam brangkas itu, hanya ada sebuah kalung antik biasa. Semua orang tercegang.
Dia mengulurkan tangannya untuk mengambil kalung itu. Tuan Sbastian tersenyum dan berkata, "Nona Berlian, inilah peninggalan Ibumu. Setelah kamu menerimanya dengan utuh, saya harap Anda akan menjaganya dengan baik."
Berlian mengangguk. Dia tidak ingat detail kalung itu tetapi bayangan yang terlintas di masa kecil, ibunya sangat menyukai kalung itu. Meskipun dia tidak tahu mengapa ibunya meninggalkan kalung yang tampaknya biasa ini. Mungkin dia punya alasan sendiri. Tentu saja Berlian akan menjaga kalung itu dengan baik.
Kevin memasukan kalung itu ke brangkas yang dibawanya, dan sekelompok orang berjalan keluar dari bank. Ketika mereka berpisah, Sandra menatapnya dalam-dalam. Dia berkata dengan dingin, "Berlian, sekarang kamu pastu senang karena kamu adalah Nyonya San."
Berlian memandangnya dengan acuh tak acuh. "Kalau kamu sudah tahu aku senang, mengapa kamu masih bertanya?"
Sandra Zein mencibir. "Cepat atau lambat, kamu akan menyesal. Kamu akan memohon padaku sambil berlutut saat waktunya tiba."
Kemudian, Sandra bersama anggota keluarga Zein yang lain masuk ke mobil lalu pergi. Berlian mengerutkan keningnya.
Kevin membukakan pintu mobil untuknya dan bertanya dengan hormat, "Nyonya, kita akan pergi kemana sekarang?"
Berlian terdiam sejenak sebelum dia berkata, "Kita akan pulang dulu."
"Baik, Nyonya." Kevin mengangguk dengan patuh. Kemudian mobil itu segera meluncur ke San House
Bersambung