Sasya turun dari ranjangnya, ia berniat untuk jalan-jalan hari ini. Meski hanya di taman depan rumah, ia bosan jika harus berada dikamar terus-menerus.
Hela nafas keluar dari celah bibirnya. Banyak hal yang sudah terjadi dalam kehidupan Sasya, sampai Sasya lupa bagaimana caranya ia bersikap normal seperti orang lain. Kecuali didepan Bryan.
Iris dark ruby Sasya melirik Mia saat kakinya terhenti di baris tangga terakhir, wanita paruh baya tersebut masih saja tak suka padanya.
Sasya heran, padahal ia tak mempunyai salah apapun pada Mia. Tapi ketua pelayan itu sangat membenci dirinya.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan." Batin Sasya.
Dari kejauhan, Sasya melihat Gladys tengah membawa pot bunga. Seketika Sasya berjalan cepat kearah sana. Matanya berbinar senang, sepertinya hari ini ia memilih untuk berkebun saja. Pikir Sasya.
"Gladys!" Serunya senang.
Yang dipanggil tentu saja terkejut, Gladys hampir saja menjatuhkan pot bunga di tangannya. Gadis kecil itu menatap Sasya kesal, "Kenapa nona memanggilku tiba-tiba!" Serunya.
Sasya hanya tertawa kecil, tak merasa bersalah sama sekali. "Kau ingin berkebun?" Tanya Sasya penasaran.
Gadis kecil itu mengangguk bingung, sedangkan senyum Sasya semakin merekah. "Aku ikut!" Ujar tegas tak mau di bantah.
Gladys mendengus, ia segara berbalik dan kembali berjalan diikuti Sasya yang mengekor dibelakangnya.
"Apa aku boleh bertanya?" Ujar Sasya memecah keheningan.
Gladys melirik nonanya lewat ekor mata, kemudian mengangguk mengiyakan.
"Kenapa kau bekerja disini? Bukankah seusia mu itu masih sibuk belajar?" Tanya Sasya penasaran.
Gladys terdiam sebentar.
"Ah.. karena aku tak punya tempat tinggal. Dan aku tentu saja masih sekolah! Tuan Bryan menyekolahkan ku, meski home schooling. Agar aku juga bisa fokus pada pekerjaanku."
Jawab Gladys polos.
Dahi Sasya mengernyit, tampak tak setuju dengan jawaban gadis kecil tersebut.
"Tetap saja kau itu masih dibawah umur." Gumam Sasya lirih. Ia mengambil sekop dan mulai menggali tanah.
Keduanya tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Gladys menatap datar nonanya. "Hufh.. kalau soal itu, tanyakan saja pada tuan. Aku sendiri tidak mengerti kenapa tuan mengizinkanku bekerja disini." Gladys merapihkan letak pot bunga, setelahnya ia menyirami bunga-bunga tersebut.
Sasya menoleh saat mendengar penuturan gadis itu, ia tersenyum masam.
"Ya, setidaknya kau aman jika home schooling." Gumam Sasya lirih. Ia tak mau Gladys bernasib sama denganya.
Tatapan Sasya teralih saat mencium aroma lavender yang di sukainya.
Tanpa sadar mulutnya membuka lebar melihat bunga lavender yang tak jauh dari tempatnya berkebun.
"Gladys! Aku mau kesana ya!" Seru Sasya lantang, kemudian ia berlari menuju seberangnya.
Sasya menjatuhkan diri dirumput saat sudah sampai didekat bunga lavender. Ia menghirup dalam-dalam aroma ini.
Gladys hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kekanakan nona nya.
"Lihat, siapa sebenarnya yang anak kecil disini." Gladys membatin.
Kepala kecilnya menoleh saat mendengar suara deru mesin mobil.
"Tuan.." gumam Gladys saat melihat Bryan turun dari mobilnya.
Pria itu menatap Gladys heran, kenapa Gladys menatapnya begitu lama?
Pandangan Bryan teralih ketika mendengar suara tawa dari arah taman. Sebelum ia benar-benar beranjak Bryan menyuruh Gladys membersihkan diri karena melihat gadis kecil itu begitu kotor.
Ia sangat menyukai kebersihan ingat?
Sasya terdiam, ia mendengar langkah kaki menuju kearahnya. Posisinya belum berubah, masih tiduran diatas rumput.
"Ck.. kamu kenapa tiduran tanpa alas sih? Kan disitu kotor sayang." Ujar Bryan setelah melihat Sasya berguling diatas rumput.
Sasya merotasi matanya malas, "Aku bosan tidur dikamar! Lagian kenapa kamu gak bilang kalau disini ada lavender?"
Bryan ikut bergabung dengan duduk didekat Sasya, setelahnya pria itu meletakan kepala istrinya dipangkuan. "Awalnya aku ingin memberimu kejutan, tapi kamu sudah tahu duluan." Tersenyum tipis, Bryan mendekatkan wajahnya.
"Kamu suka tidak?" Tanya Bryan sambil menatap lekat wajah istrinya.
"Suka, sangat suka. Terimakasih suamiku." Jawab Sasya pelan.
Jujur saja, Sasya gugup saat melihat wajah suaminya yang semakin mendekat. Jantungnya berdebar kencang dan pipinya mendadak memanas.
Bryan tersenyum miring menyadari bahwa Sasya semakin gugup. Ia semakin mendekatkan wajahnya menuju bibir sang istri.
Sasya memejamkan matanya, detik berikutnya Sasya merasakan benda lembab menyapu bibir dan melumatnya pelan.
"Engh.."
Sasya melenguh saat lidah suaminya masuk, mengabsen setiap inci mulutnya.
Keduanya larut dalam ciuman yang memabukan,
Meong!
Bryan melepas ciumannya karena terkejut.
Sasya mengusap bibirnya yang basah, ia tertawa dalam hati. Sungguh.. suaminya ini sangat lucu. Bisa-bisanya ia terkejut hanya karena suara kucing?
Bryan mengalihkan pandangan, sebelum ia memetiķ beberapa bunga lavender. Diam-diam ia melirik Sasya lewat ekor mata. Sasya sangat penasaran dan memperhatikannya terus.
"Aku takkan lari, kenapa kau melihatku terus seperti itu?" Tanya Bryan tiba-tiba.
Sasya mendecakkan lidah, "Bryan.. kenapa kau percaya diri sekali. Aku tak sedang melihatmu. Tapi lavender yang kau pegang."
Senyum Bryan luntur, dengan cekatan Bryan membentuk tangkai-tangkai bunga itu.
Tak berapa lama, sebuah mahkota bunga berada dalam genggamannya.

"Lihat, cantik bukan?" Ucap Bryan dengan bangga. Sasya langsung mengangguk setuju, ia mengambil mahkota bunga tersebut lalu memakainya.
"Tapi aku lebih cantik." Ujarnya dengan senyum manis.
Bryan tertawa pelan, "Yah.. mau bagaimana lagi? Istriku memang cantik sih."
Tiba-tiba saja hujan turun, Bryan mengajak Sasya untuk masuk kedalam. Ia tidak mau kesehatan Sasya menurun lagi.
Setelah sampai dikamar, Bryan mengambil handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Sedang Sasya menaruh jas Bryan ke ranjang cucian. Yah.. Sasya cukup menikmati pemandangan didepannya.
Bryan yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Entah sadar atau tidak, Sasya berjalan kearah Bryan lalu menarik handuk yang dipegang nya dan membantu Bryan mengeringkan rambutnya.
Bryan tertegun sebelum ia menyunggingkan senyum tipis. Ah.. rasanya Bryan sangat senang sekali hari ini.
Sasya begitu perhatian terhadapnya.
Dering ponsel Bryan membuat Sasya menghentikan gerakan mengusap rambut Bryan.
Farrel..
Bryan segera mengangkat telponnya,
"Halo Boss?" Ujar Farrel diseberang sana.
Bryan tersenyum, "Ya, bagaimana?"
"Saya sudah mendapatkan tanahnya." Kali ini suara Farrel terdengar lebih lega.
"Bagus kalo gitu, kamu segera kesana liat tempatnya. Nanti saya kirim desain lewat e-mail kamu."
"Ah ya? Oke.. saya akan segera kesana mengurusnya."
Bryan pun mengirim desain rumah, dan kebun yang sangat indah.
Sasya sejak tadi memperhatikan Bryan, ia mengernyit saat matanya tak sengaja melihat desain rumah.
"Apa Bryan mau bikin rumah?" Tanyanya dalam hati.
"Sayang besok kita pergi keluar kota, kamu mending istirahat lebih awal. Supaya gak kelelahan pas nyampe disana." Gumam Bryan tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop tercinta.
"Hah...baiklah." sahut Sasya pasrah. Setelah membersihkan diri, Sasya langsung naik keatas ranjangnya. Tak berapa lama, Sasya menyelami alam mimpinya.