Bryan menatap Sasya sendu, sudah satu minggu sejak insiden penculikan itu istrinya belum terbangun juga.
Tangannya mengusap pipi Sasya lembut, semakin hari Sasya semakin kurus saja. Membuatnya semakin khawatir dengan keadaan Sasya.
"Kapan kau bangun sayang." Bisik Bryan lirih. Ia menggenggam tangan Sasya, menciumnya lembut.
"Maaf tuan, asistan Farrel meminta untuk bertemu." Ujar Mia memberi tahu.
Bryan menoleh, kemudian melirik Sasya lagi. "Katakan padanya, saya akan menemuinya sebentar lagi."
Mia tersenyum masam saat Bryan belum beranjak juga dari tempatnya.
"Baik, saya permisi." Pamitnya undur diri.
Bryan mencium dahi Sasya, ia menatap wajah Sasya sekali lagi sebelum memutuskan untuk menemui Farrel.
Bryan menuruni tangga dan menuju ruang tamu.
Melihat Boss nya datang, Farrel segera berdiri dan mengangguk hormat.
"Bagaimana?" Tanya Bryan setelah duduk di hadapan Farrel.
"Seperti yang anda mau Boss, perusahaan Eryudha mengalami krisis. Saham mereka mendadak turun drastis dalam tiga hari belakangan. Dan.. para perusahaan yang memiliki saham di Eryudha menarik diri. Karena tak mau ikut rugi." Jelas Farrel panjang lebar.
Bryan tersenyum miring, ia mengambil berkas yang Farrel bawa tadi. Membacanya dengan cepat, "Yah, semuanya berjalan sesuai rencana. Tapi.." Bryan menggantungkan kalimatnya. Matanya menatap Farrel, "Saya menginginkan tanah keluarga Eryudha, yang berada di Wonosobo."
Farrel mengeryitkan dahi, "Tapi Boss, tempat itu tidak strategis untuk pembangunan bisnis perusahaan anda."
"Kata siapa saya mau membangun bisnis disana?" Bryan mengendikan bahu. "Saya mau membangun rumah, sebagai hadiah pernikahan untuk Sasya."
Farrel mengangguk saja, toh disini yang berkuasa adalah Bossnya.
"Dapatkan tanah itu dengan harga murah." Gumam Bryan.
"Maaf?" Farrel berharap tak salah dengar mengenai perintah dari Boss nya tadi.
"Saya tidak akan mengulangnya dua kali." Ada jeda sebentar. Rahang Bryan mengeras, bibirnya melukis senyum dingin.
"Karena tanah itu seharusnya milik saya. Bisa saja saya mengambilnya tanpa membayar sepeserpun. Tapi saya kasihan, jika saya tidak membayar tanah itu. Mereka akan lebih jatuh miskin lebih dari ini."
Farrel bergidik ngeri saat mendengarnya, kata kasihan hanya kamuflase. Dibalik kata itu tersimpan hal yang lebih mengerikan.
Farrel menunduk, "Baik, saya akan mendapatkan tanahnya segera."
Bryan tersenyum puas mendengar jawaban Farrel. Bawahan yang selalu setia padanya. "Kau akan naik gaji, dan setelah mendapatkan tanah itu. Kau boleh ambil cuti beberapa hari, maaf sudah merepotkan."
Farrel mendongakkan kepala, setelahnya ia menggeleng. "Tidak perlu meminta maaf Boss, bagaimana pun ini resiko yang ditanggung saya sebagai asistan anda. Dan.. terimakasih atas kemurahan hati anda."
"Hm.. Saya hanya percaya sama kamu Farrel, tolong jangan berani mengkhianati saya." Ujar Bryan sebelum berlalu.
Farrel tertegun, sedikitpun ia tidak pernah memikirkan untuk mengkhianati Bryan. Tapi sejak ia menyelamatkan Sharon, Bryan menilainya berbeda. "Boss, maaf. Aku mencintainya, kau pun mendukungku waktu itu tapi.. kenapa kau berkata seperti itu?" Batin Farrel bertanya-tanya.
Mungkinkah Bryan masih marah atas tindakan Sharon waktu itu? Tapi.. bukankah Bryan.. ah. Mungkin saja Bryan masih marah. Farrel menjedukkan kepalanya di sofa. Bertahun-tahun bekerja untuk Bryan ia masih saja belum mengerti dengan jelas perasaan pria itu.
.
.
Lian membaca hasil laporan kesehatan Sasya, alis dokter muda itu naik. "Ini aneh.." gumamnya.
Berdasarkan laporan, kesehatan Sasya sudah membaik. Meski tubuh gadis itu kian mengurus, tapi.. kenapa Sasya belum sadar juga? Bukankah sebelum insiden penculikan seminggu yang lalu Sasya sudah sadar.
Atau.. Argghh! Lian mengerang.
Ia meringis saat Azuna menatapnya aneh.
"Ini kopi mu." Ucap Azuna pelan.
Lian menganggukkan kepala dan menggumamkan terimakasih sebelum menyesap kopinya pelan.
Azuna melirik Lian yang tengah menyesap kopinya. Di bawah, tangannya saling meremas. Cemas? Ya memang.
Lian sadar, Azuna jika bersikap begitu ada hal yang ingin dibicarakan dengannya.
"Kalau kau mau bicara katakan saja." Ujar Lian tiba-tiba.
Azuna tersenyum gugup, "Aku ingin membicarakan sesuatu."
Lian menganggukkan kepala, tanda menyetujuinya.
"Lian, sebenarnya Sasya sudah sadar." Ujar Azuna hati-hati.
Dahi Lian berkerut samar.
"Maksudmu? Bukan kah dia masih..."
Azuna menggeleng, ia menggaruk pipi. Bingung bagaimana menjelaskannya.
Lian masih setia menunggu. Dan sialnya ia tak sabar, terkutuk lah rasa penasarannya yang tinggi.
"Katakan padaku. Tak usah takut oke?"
Azuna menghela nafas pelan, "Sasya bilang dia belum siap untuk bertatap muka dengan Bryan."
"Alasannya?"
"Sasya melihat Bryan saat m-membunuh.. Bagas."
Lian terhenyak, jadi... saat malam itu. Pakaian Bryan yang berlumur darah, karena Bryan membunuh mantan Sasya?
Tanpa sadar ia menahan nafas, wajar bila Sasya takut. Ia melihat pertunjukan yang mengerikan dari suaminya sendiri.
Lian menatap Azuna serius, "Azuna, jangan sampai Bryan mengetahui ini oke?"
Lian menghela nafas lega saat melihat Azuna mengangguk patuh.
Tinggal tugasnya saja yang menanti.
.
.
Satu minggu terbaring ditempat tidur membuat tubuh Sasya terasa sakit juga kaku. Baru saja ia ingin membuka mata, namun suara pintu terbuka mengurungkan niatnya.
"Kau.. sedari kau datang aku tak menyukaimu. Keberadaanmu mengganggu semua rencanaku. Karena kau juga, keponakan ku hampir mati." Desis Mia tajam. Tangannya terulur, berusaha mencekik Sasya.
Ceklek!
Dengan cepat Mia menarik tangannya kembali.
Bryan menatapnya heran, kenapa Mia ada di kamarnya?
"Kenapa kau ada disini?" Tanya Bryan.
Mia tersenyum, "Saya mengantarkan baju nona." Jawabnya sambil menunjuk baju yang sudah bersih.
Bryan mengangguk, "Kau boleh pergi."
Mia pun keluar dari kamar dengan hati dongkol. Karena rencananya gagal.
Sasya membuka matanya lebar, kalau saja.. kalau saja Bryan tidak datang. Ia sudah terbunuh ditangan Mia.
Bryan menoleh kearah Sasya, ia terkejut saat melihat istrinya sudah sadar. "Sayang kamu.." dengan tergesa Bryan memeluk Sasya.
"Akhirnya kamu sadar sayang.. saya khawatir, takut kamu pergi." Bisik Bryan lirih.
Mendengar itu Sasya tak tega, ia menggigit bibir. Merasa bersalah sudah menghindari suaminya beberapa hari ini.
Tapi.. Jujur saja Sasya takut, saat itu ia seperti bukan melihat Bryan. Tapi dewa kematian yang sengaja datang untuk mencabut nyawa Bagas.
Sasya mengusap punggung Bryan pelan, ia menyandarkan dagu dipundak suaminya. "Kamu tau sendiri Bry, kemana pun aku pergi. Kamu pasti bisa nemuin aku." Ujar Sasya dengan nada lemah.
Bryan tersenyum, "Kamu benar, saya akan menemukan kamu dimana pun kamu berada."
Sasya melepaskan pelukan Bryan. Membuat pria itu menatapnya heran sekaligus bingung.
"Eng.."
"Kenapa?"
"Aku.. lapar."
Bryan segera menyuruh Gladys untuk menyiapkan makanan.
"Aku kangen sama kamu." Bryan mencium pipi Sasya singkat.
Sasya melihat tak ada kebohongan dimata Bryan. "Aku juga." Bisiknya lembut.
Entahlah, Sasya merasa bingung. Seolah sosok yang ada didepannya bukanlah sosok yang membunuh Bagas dengan kejamnya satu minggu yang lalu.
Bryan tak mengalihkan pandangannya dari Sasya, istrinya itu makan dengan lahap. "Wajar saja sih, dia gak makan selama satu minggu." Bryan membatin.