Bryan masih berkutat dengan berkas-berkas yang ia bawa dari perusahaannya, lihat. Bagaimana pria itu menyulap ruang rawat Sasya menjadi ruang kerjanya.
Sesekali tatapan Bryan mengarah ke ranjang, dimana Sasya terbaring lemah disana. Sudah empat jam pasca operasi, namun Sasya masih belum juga sadar. Tapi Lian berkata, Sasya memang membutuhkan banyak istirahat. Juga ia butuh waktu untuk menyesuaikan mata barunya.
Bryan sama sekali tak keberatan dengan hal itu, tetapi dirinya tetap saja khawatir.
"Boss.." panggil Farrel sedikit keras, cukup untuk membuyarkan lamunan Bryan.
"Ada apa?" Tanya Bryan sambil menaikkan alis.
"Ini berkas baru, saya membutuhkan tanda tangan anda." Farrel menyodorkan sebuah berkas, dengan cermat Bryan membaca isinya kemudian menandatangani berkas tersebut.
Bryan mengembalikannya pada Farrel.
"Saya serahin urusan kantor sama kamu, kalau ada sesuatu mendesak. Hubungi saya secepatnya." Ucapnya dengan nada datar yang khas.
Farrel tampak keberatan.
"Tapi Boss, dua jam lagi bukannya ada rapat penting? Pertemuan antar lima perusahaan terbesar?" Ia menyeruakan yang ada di isi otaknya.
"Hm..." Bryan tampak menimbang, ia melihat kearah Sasya lagi. "Apakah tidak masalah ninggalin dia sendiri disini?" Tanya Bryan dalam hati.
Terakhir kali ia meninggalkan Sasya di rumah, gadis itu hampir kehilangan nyawanya.
Ah.. benar juga, disini kan ada Lian. Bryan bisa menitipkannya pada sahabatnya itu.
Farrel membuka suara lagi.
"Anda tidak bisa di wakilkan begitu saja, atau mereka akan.."
"Saya akan datang. Kamu jangan panik." Potong Bryan cepat.
Seulas senyum bertengger di bibir Farrel.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi."
Ucapnya kemudian berlalu.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Bryan kembali duduk di sisi ranjang Sasya. Menatap lekat, berkali-kali Bryan terpesona dengan wajah cantik gadis ini.
Kemudian ia mengeluarkan dompetnya, menatap foto dirinya bersama seorang gadis kecil.

Bryan ingat, saat itu hujan deras. Ia melihat Sasya menangis karena ibu kandungnya meninggal. Dan Bryan yang tak sengaja melewati jalan yang ternyata dekat dengan pemakaman, hati Bryan tergerak, ia berhenti sejenak untuk menenangakan gadis kecil itu.
Foto itu diambil secara diam-diam oleh Lian. Enam tahun lalu, saat mereka masih duduk di bangku kuliah.
"Kau masih menyimpannya?" Celetuk Lian tiba-tiba.
Bryan menoleh, menatap Lian yang berdiri diseberangnya.
"Tentu saja.."
"Bukan kah sekarang kau sudah punya yang asli? Kenapa masih menatap gadis kecil di foto itu."
Bryan terkekeh, ia mengecup foto itu berkali-kali.
"Kau tidak tahu saja Lian, saya sedang mengenang pertemuan pertama kami." Ucapnya dengan nada cuek.
"Ya ya ya.." Lian memutar bola matanya bosan.
.
.
Riuh suasana dikantin tak bisa membuat tatapan Nara teralih. Ia menatap serius layar laptopnya.
Menampilkan foto-fotonya bersama Sasya, yang diambil sebelum liburan semester tiba.
Mendesah pelan, andai saja rencana itu tidak terjadi. Pasti dkrinya sekarang masih bersama dengan gadis itu.
Sekolah telah dimulai, namun Nara tak mendapat kehadiran Sasya disana. Sebenarnya kemana perginya gadis itu? Saat mobil Sasya sudah tak terkena api, Nara tak menemukannya disana.
Hanya ada pak supir, juga seorang gadis yang lebih kecil. Tapi itu bukan Sasya.
"Sebenarnya lo kemana?" Gumamnya pelan. Ia menyandarkan punggungnya dikursi.
"Kenapa lo sembunyi?" Tanya Nara entah pada siapa.
.
.
30 menit berlalu, sejak Bryan meninggalkan ruang rawat Sasya. Ga-Wanita itu terbangun, Lian yang berada disampingnya segera mengecek keadaan Sasya.
"Dokter Lian?" Panggil Sasya ragu.
"Ya.. ada apa?"
"M-mana Bryan?"
Gerakan tangan Lian terhenti, ia menatap Sasya.
"Dia sedang rapat, dia bilang akan kesini jika rapatnya sudah selesai."
Sasya mengangguk, ia masih merasakan gelap. Ini membuatnya sedikit kesal.
"Kapan aku boleh membuka perbannya?" Tanya Sasya penasaran.
Lian mendengus, gadis didepannya ini memang tidak sabaran.
"Kalau kau sudah pulih benar, mungkin 4/5 hari lagi. Butuh penyesuaian untuk mata baru mu."
"Ck.. baiklah. Aku akan lebih sabar lagi." Guman Sasya.
Lian menghela nafas, "Kudengar kau tengah mengandung." Ujarnya pelan, ia ingin mengobrol sebentar saja.
Sasya tersentak, bagaimana Lian bisa menanyakan hal ini padanya?
Dengan gugup, Sasya mengangguk. "I-iya dokter."
"Saya punya kenalan, dia seorang dokter spesialis kandungan. Apa kau mau bertemu dan berkonsultasi dengannya?"
"B-benarkah? Emm.. aku... aku mau tanya pendapat Bryan dulu." Sasya merutuk dalam hati. Bagaimana ia bisa menjawab begitu? Padahal ia tau, anak dalam kandungannya bukan anak dari Bryan. Pria itu akan merasa tersinggung jika ia benar-benar menanyakannya pada Bryan.
"Kau yakin?"
Sumpah, Sasya mendengar nada mengejek didalam nada dokter Lian. Tanpa sadar, tangannya mengepal disisi tubuhnya.
"Ya, aku sangat yakin." Balas Sasya dingin. Berbeda sekali dengan nadanya yang tadi.
Hening...
Sasya tidak tau harus berkata apa, bicara dengan Lian ternyata cukup menguras emosinya.
Braaaak!
Kedua manusia berbeda gender tersebut menoleh keasal suara. Meski salah satunya tidak bisa melihat, namun masih bisa mendengar dengan jelas.
Dahi Sasya berkerut, siapakah yang mencari keributan di ruangannya?
"Urusanmu sudah selesai?" Tanya Lian dengan tatapan penuh selidik.
Bryan, sang tersangka hanya tersenyum sebelum mengangguk. "Udah semua, makanya saya langsung kesini. Saya dengar calon istri saya sudah bangun dari mimpinya."
Lian memutar bola mata, sedangkan Sasya? Dia tengah tersipu.
"Bagaimana perasaanmu? Apa kau merasa senang?" Tanya Bryan saat berada disamping Sasya.
Menggeleng lemah, Sasya mendongak meski tak bisa menatap Bryan. Setidaknya ia menghargai pria itu tengah berbicara padanya. "Aku akan merasa senang.. jika memang aku bisa melihat lagi." jawab Sasya lirih.
Ia meremas selimut yang ia pakai.
"Jadi kehadiran ku tidak membuatmu senangkah?" Bryan berbisik lirih. Nadanya seperti orang yang benar-benar terluka.
"Itu tidak benar! Aku bukannya tidak senang dengan kehadiranmu! Tapi aku bahagia." Sasya tidak tau, kenapa ia merasa sakit saat mendengar nada terluka dari Bryan.
"Memang apa perbedaannya?"
Sasya tersentak. Ia berpikir keras. Memikirkan apa perbedaan dari dua kata tersebut.
Sasya menggigit bagian dalam mulutnya.
"Bagiku, menurutku... kesenangan hanya sementara. Tapi kebahagiaan itu.. dalam jangka waktu yang cukup lama."
"Lalu... aku berada di posisi mana?"
Bingung, ia menggigit bagian itu hingga berdarah.
Dengan mantap, Sasya menjawab.
"Kedua... kamu adalah sumber kebahagiaan aku. Bahkan bukan hanya itu. Kenyamanan, kau juga mempunyainya. Semua yang kamu punya, yang ada dalam diri kamu. Aku suka."
Bryan tersenyum, tapi senyum itu hilang secepat kilat. Sasya menilainya bukan yang pertama. Tapi kedua, berarti... ia bukan orang yang terlalu penting hingga kehadirannya di utamakan. Mengetahui itu membuat hatinya berdenyut sakit.
Mungkinkah Sasya masih mengingat Bagaskara?
Lian memijit pelipisnya, melihat Bryan seperti itu membuat dirinya merasa kasihan. "Kau sahabat terbodohku." Umpat Lian dalam hati.
Kenapa sahabatnya ini bodoh sekali? Jatuh cinta pada gadis kecil yang belum tentu membalas cintanya?
Tanpa kata, Bryan kembali ke meja kerjanya. Ia membaca dokumen yang baru ia dapat. Menenggelamkan diri dengan membaca hasil pekerjaan karyawannya tidak buruk juga untuk menghilangkan rasa sakit hati.
Sasya terdiam, ia masih bertahan dengan posisi tadi. Duduk bersandar di kepala ranjang. Sejak ia memberi jawaban. Bryan, pria itu hanya diam saja. Membuat hatinya gelisah.
"Apa aku melakukan kesalahan lagi?" Tanyanya dalam hati.