Sasya terkekeh pelan, ia mengulurkan tangannya kembali mengusap hidung mancung Bryan sebelum mengusap bibir pria itu.
"Saya tau kalau saya tampan. Sudah puas menikmati hm? Nyonya Handoko?" Ujar Bryan dengan nada menggoda.
Sasya mencebikkan bibirnya, "Kau terlalu percaya diri sekali."
"Mau jalan-jalan?"
"Hun? Kemana?"
Bryan mengendikkan bahu, "Saya kurang tau, tempat apa yang pantas untuk kencan pertama."
Wajah Sasya memerah malu, ia memukul dada bidang pria itu pelan.
"Kenapa sih? Kok kamu malah mukul saya."
"Jangan bilang kamu gak pernah kencan sebelumnya." Cibir Sasya.
"Saya emang gak pernah kencan. Saya selalu sibuk sama pekerjaan." balas Bryan seadanya.
"Pantas saja sampai sekarang kamu masih sendiri Bry.." ucap Sasya dengan nada mengejek.
Bryan memutar bola mata, "Itu karena saya sengaja nunggu cinta pertama. Karena saya gak mau sama yang lain."
Sasya tertegun. "Maksud kamu apa Bry?"
"Selama ini saya sendiri karena saya sengaja, nunggu kamu." Bryan menatap lembut, "Karena... saya mau kamu yang jadi istri saya."
Blush..
"Apaan sih kamu.." Sasya menutup wajahnya karena malu. Sedangkan Bryan? Pria itu tengah menahan tawanya.
"Terserah kalau gak percaya juga nggak apa-apa."
Bryan melirik Sasya lewat ekor mata, gadis itu masih merona malu. Bahkan sampai telinganya pun memerah.
.
.
Dimas mencekal lengan Bagas saat pria itu kembali ingin meminum Vodka nya.
"Cukup, lo udah banyak minum dari tadi!" Gertak Dimas.
Bagas mendelik tajam, ia merebut kembali botol Vodka yang direbut Dimas. "Lo kemana aja brengsek! Hik.. dimana lo saat gua butuh hah? Hik.. lo.. sahabat macam apa?" Racau Bagas.
"Sorry, gua harus ke Bangkok buat jemput Mommy." Dimas menunduk, ia merasa bersalah pada sahabatnya. Tapi... saat itu juga Dimas di butuhkan disana.
"Emang Mom's kenapa?" Tanya Bagas heran.
Meskipun Bagas sudah banyak minum, tapi ia masih sadar, Bagas cukup kuat dengan alkohol, makanya seberapa banyak pun Bagas minum ia takkan mabuk.
"Kondisinya menurun, gua khawatir kalau Tuhan bakal cepet jemput Mom. Gua belum mau Mom pergi."
Bagas menepuk pundak sahabatnya, "Harusnya tadi gua gak marahin dia dulu."
Bagas menghela nafas berat, ia menyunggingkan senyum tipis.
"Hm.. semoga Mom's cepet sembuh ya."
"Thanks.." Dimas menuangkan Wine kedalam gelasnya.
"Gua udah ketemu sama Sasya." Ucap Bagas tiba-tiba. Membuat Dimas kembali mendongakkan kepala.
"Terus gimana?" Tanya Dimas penasaran.
Bagas mendengus,
"Sasya nolak gua." Iris dark brown nya mengilat benci. "Dan lebih parahnya lagi, dia milih cowok lain. Anjir kan?"
Terkekeh pelan, Bagas teringat kejadian tadi siang.
"Gua kesel, kenapa Sasya lebih milih dia dibanding gua. Padahal tuh cowok lebih dewasa dari kita."
Jari Bagas mengetuk pelan di meja, kepalanya mengangguk-angguk seolah sedang menikmati musik.
"Gua gak nyangka, selera Sasya menurun. Jatuh drastis. Mau aja sama yang lebih tua." Ucap Bagas dengan nada mencibir.
Diam-diam Dimas tersenyum, ia meneguk Wine nya dengan satu tegukan.
"Gak boleh gitu lah, mungkin dia punya alasan lain." Tangan Dimas kembali menuangkan Wine kedalam gelasnya yang sudah kosong. "Lo yakin kalau Sasya cinta sama lo?"
"Maksud lo?" Tanya Bagas tak mengerti.
Dahi Dimas mengerut, seringai hadir dibibirnya.
"Lo kira gua gak tau, rencana lo sama Nara pas kita ke Vila kemarin."
Mata Bagas terbelalak, bahkan sampai menoleh dengan cepat kearah Dimas. "R-Rencana apa?" Tanyanya pura-pura tak mengerti.
"Udahlah... lagian gua udah tau semuanya, lo gak perlu bersikap bodoh kayak gitu." Sindir Dimas tanpa sungkan.
Alisnya mengerut tajam,
"Padahal lo tau, dari dulu gua suka sama dia." Hela nafas keluar dari celah bibirnya. "Awalnya gua marah, benci sama lo. Kenapa harus lo yang ngebuat Sasya berdiri disamping lo."
Ia menatap tajam kearah Bagas.
"Seharusnya gua yang tanya. Lo sahabat macam apa?"
"Apa lo masih mau ngejar Sasya?" Tanya Bagas akhirnya.
Dimas menggeleng. "Dia masa lalu gua, sekarang gua harus fokus ke Nara."
"Jangan bilang lo.."
"Pfft.. ya, gua udah mulai hatuh cinta sama dia. Gua kagum, adik lo berjuang keras buat dapetin hati gua." Ucap Dimas disela tawanya.
"Intinya.." Bagas menatap Dimas tak sabar.
Dimas menyungging senyum tulus.
"Lupakan masa lalu, kau harus melihat ke depan untuk maju. Jangan merebut apa yang bukan hak kita, bersyukurlah dengan apa yang kita punya sekarang, ataupun nanti." Ujarnya mengingatkan.
"Lo gak tau seberapa dalam gua jatuh ke jurang ini, yang lo tau. Cinta Sasya dangkal, tak seluas laut atapun samudera." Batin Bagas sedih.
"Ya, gua tau. Lo gak perlu ingetin gua lagi." Balas Bagas tak suka.
"Baguslah.." Dimas beranjak dari duduknya. "Aku pulang duluan." Pamitnya.
Bagas menatapnya dengan tatapan yang selalu berhasil membuat seseoranh menjauh darinya.
"Mudah mengatakannya, tapi sulit untuk dilakukan. Dim, lo gak akan ngerti." Gumam Bagas lirih. "Sasya itu bagai paru-paru bagi gua. Hilangnya dia, sama aja gua kehilangan nafas."
"Pokoknya gua bakal dapetin Sasya lagi. Apapun caranya." Ujar Bagas penuh ambisi.
.
.
Deg..
Perasaan Sasya tiba-tiba saja tidak enak. Ia melirik Bryan yang fokus menyetir. Mereka akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantor Bryan.
"Aku harap bukan sesuatu yang buruk." Batin Sasya.
"Kamu kenapa sayang? Kamu gak suka yah kita pergi ke kantor?" Tanya Bryan khawatir.
Dengan cepat Sasya menggelengkan kepala. "Aku seneng Bry, kemana pun kamu bawa aku. Yang penting aku sama kamu."
"Saya hanya khawatir, kamu dari tadi diem terus. Aku janji, setelah ambil berkas. Kita makan malam di resto milik Lian." Gumam Bryan pelan. Namun masih terdengar jelas.
"Eh?" Sasya mengerjap kaget.
"Kenapa?" Tanya Bryan tanpa mengalihkan pandangannya.
Sasya meringis,
"Enggak! Kamu fokus nyetir aja Bry.."
"Baiklah."
Bryan mengambil salah satu lengan Sasya, mengecupnya pelan. "Saya gak sabar nikah sama kamu. Semuanya sudah saya urus, tinggal nunggu persetujuan saja."
"Tung-Tunggu! Semuanya?" Pekik Sasya nyaring. Jujur saja, ia masih belum siap menikah di usia nya yang masih muda.
"Kamu gak mau ni-"
"Bukannya gak mau, aku udah bilang kan? Aku mau nikah sama kamu." Potong Sasya cepat.
Bryan menghela nafas berat.
"Sayang.. kamu harus mikir baik-baik. Kamu sedang mengandung saat ini, saya hanya gak mau kamu menderita nantinya." Ujar Bryan lembut.
"Jadi single parents gak mudah loh.." sambungnya kemudian.
Sasya menatap Bryan, senyum manis hadir dibibirnya.
"Aku gak jadi single parents kok, kan ada kamu disamping aku Bryan."
Bryan membelokkan stirnya saat melewati tikungan.
"Itu sebabnya, kita harus menikah. Sebelum orang lain menganggap kita kumpul kebo sayang." Ucapnya penuh dengan nada sabar.
Kepala Sasya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Bryan tadi.
"Iya juga si.."
"Pikirkan baik-baik."