Bryan menatap pintu ruang rawat Sasya dengan cemas. Pasalnya, sejak satu jam yang lalu mereka belum mendapat kabar dari dokter.
Lian yang ikut menangani pun belum keluar dari ruangan.
Ceklek!
Bryan segera bangun setelah Lian juga partner nya keluar.
"Bagaimana keadaannya?" Tanyanya penasaran.
Lian menarik Bryan masuk kedalam ruang rawat Sasya. Ia melirik sahabatnya cemas.
"Gua harap lo gak marah." Ucap Lian tiba-tiba.
Kening Bryan berkerut, sedikit bingung dengan ucapan Lian. "Maksudmu?"
"Sasya.. keguguran." Jawab Lian lirih. Ia menatap Sasya prihatin.
Bryan terbungkam, lidahnya terasa kelu. Apa tadi? Ia tak salah dengar kan? Masih dengan raut bingung, Bryan menarik kerah baju Lian. "Coba jelaskan!"
Lian tahu, sangat. Sahabatnya pasti sangat terpukul. Apalagi Sasya, adik angkatnya itu pasti sangat merasa kehilangan.
"Ada yang aneh sama kehamilannya, dan tubuh Sasya tidak bisa menerima itu." Mengambil nafas sejenak. Lian kembali melanjutkan. "Hamil anggur, atau dalam dunia medis lebih dikenal dengan sebutan mola hidatidosa. Dimana terdapat tumor yang berkembang dalam rahim. Setelah sel telur di buahi seharusnya ia tumbuh menjadi plasenta dan janin. Namun sel telur justru tumbuh menjadi sel abnormal yang berkembang menjadi gelembung putih terisi cairan yang menyerupai Anggur. Dan sang janin berada diluar rahim." Lian melirik lagi kearah Bryan.
" Hamil anggur diperkirakan terjadi karena adanya kesalahan pada materi genetik yang terkandung dalam sel sperma atau sel telur sebelum terjadi pembuahan. Dan jika itu tidak segera diangkat maka nyawa Sasya yang menjadi taruhannya."
"Kalau pun di biarkan hidup, janin itu tidak akan menjadi manusia sempurna." Sambungnya.
Bryan perlahan melepaskan kerah baju Lian. Otaknya sibuk mencerna apa yang dijelaskan Lian tadi.
"Kenapa kamu gak bilang dari awal? Dan kenapa kalian tidak memakai ruang operasi?" Tanya Bryan heran.
"Karena ini mendadak juga tergesa, kami tidak sempat berpikir kearah sana. Karena saat ini, nyawa pasien lah yang terutama." Jawab dokter Azuna. Partner Lian tadi, juga dokter spesialis kandungan.
Bryan termenung, semua yang dikatakan Lian maupun Azuna ada benarnya. Yang jelas, sekarang Sasya selamat.. atau..
"Apa setelah janin itu diangkat Sasya akan baik-baik saja?" Tanya Bryan penuh harap.
Lian menepuk pundak sahabatnya sambil tersenyum tipis. "Tentu saja, kami bisa menjaminnya." Jawab Lian penuh percaya diri.
Bryan menatap Sasya lagi, "Semoga kamu baik-baik saja sayang." Bisiknya pelan.
"Oh ya, Sasya harus dirawat. Karena memang dibutuhkan untuk masa pemulihan, kau.."
"Tidak masalah, apapun yang terbaik untuknya. Lakukan saja." Potong Bryan tanpa tagu.
Ya. Bryan hanya ingin Sasya baik-baik saja.
Lian mengangguk pelan, sebelum kedua dokter muda itu keluar dari ruangan mereka mendengar ucapan.
"Terimakasih.."
Bryan duduk sisi ranjang, hari ini adalah hari pernikahannya. Tapi Sasya masuk rumah sakit, hari bahagianya sungguh kurang sempurna. Bryan meringis, apapun akan ia lakukan demi membuat Sasya bahagia. Ia tidak mau istrinya menderita.
"Padahal kamu sangat senang saat tau kamu hamil. Tapi sepertinya Tuhan berkehendak lain." Ujar Bryan lirih.
Farrel tiba-tiba saja masuk kedalam ruangan, "Boss.." panggilnya, berharap mendapat perhatian dari Bryan.
Bryan hanya menggumam, ia melirik Farrel lewat ekor mata.
Farrel meringis, sebenarnya ia tak enak hati. Tapi ini memang kewajibannya dalam pekerjaan.
"Sebentar lagi rapat a-"
"Kamu saja yang pimpin, saya mau nemenin Sasya disini." Potong Bryan cepat.
"Tapi tuan.." Farrel tampak keberatan dengan keputusan Bryan.
Bryan medesis saat memanggil nama Farrel.
"Farrel Xiang.."
Terkejut, Farrel tak berani membantah lagi.
"Baik, saya mengerti." Kepala Farrel tertunduk. "Kalau begitu saya permisi." Pamitnya.
"Hm.. pergilah."
Bryan menggenggam tangan yang pucat, mengecupnya berkali-kali.
"Aku harap kamu baik-baik saja."
Bisiknya lirih.
.
.
Lian menyesap kopinya yang mulai mendingin. Operasi tadi membuatnya sedikit tegang. Meski Lian pernah menangani operasi sebelumnya. Hanya saja, ini lebih berat menurutnya.
Ia sudah mengoprasi Sasya dua kali. Bagaimana jika nanti ia gagal, ia tak sanggup jika harus kehilangan adik angkatnya.
Azuna memegang tangan Lian pelan, pria itu hampir menjatuhkan cup kopi nya jika saja ia tak cepat menangkap cup tersebut. "Kau melamun?" Tanyanya.
"Maaf.. apa kau tadi mengatakan sesuatu?" Tanya Lian balik.
Azuna tersenyum menenangkan. "Kau masih khawatir dengan adikmu?"
Lian termenung lagi.. sebelum menghela nafas. "Ya, aku masih memikirkan dia."
"Dia pasti baik-baik saja, sekarang kita harus bertemu dengan profesor." Ujar Azuna sebelum berbalik.
Lian menatap punggung kecil Azuna, benar. Sasya pasti baik-baik saja, mereka sudah berusaha keras tadi.
Lian melangkahkan kaki menyusul Azuna yang sudah berjalan jauh didepannya.
"Tuhan, izinkan aku meminta sesuatu dari mu. Aku yang tak pernah meminta apapun, kini aku memohon. Biarkan dia hidup dan bahagia. Biarkan dia sehat dan senang. Hanya itu yang aku minta Tuhan." Mohon Lian dalam hati.
Kini langkahnya sejajar dengan Azuna, menuju ruang laboratorium menemui sang Profesor.
.
.
Malam pun tiba, Sasya membuka matanya yang terasa berat. Sakit diperutnya belum juga hilang, hingga tanpa sadar Sasya meremas tangan Bryan yang menggenggam tangannya sedari tadi.
Bryan yang merasakan pergerakan dari istrinya segera duduk tegap. Meski rasa kantuk menyerangnya dengan hebat tadi. "Kamu udah sadar sayang?" Tanya Bryan dengan nada serak. Khas bangun tidur.
"Ngh.. sa-ssakit.." gumam Sasya lirih.
Bryan menatap Sasya sendu, ia sudah menghubungi Lian serta Azuna untuk mengecek kesehatan Sasya.
"Sabar sayang, Lian akan datang.." bisik Bryan menenangkan.
Sasya malah mencubit pipi suaminya keras. "Kamu gak tau rasanya Bry.." ucap Sasya lirih. Matanya berkaca-kaca.
"Sst... tenanglah. Aku emang gak tau. Tapi seenggaknya. Aku berusaha untuk mengerti. Kamu jangan nangis ya? Kamu pasti baik-baik aja." Ucap Bryan seraya menghapus jejak air mata Sasya.
"Ya.. kamu pasti baik-baik saja sayang."
Batin Bryan.