Chereads / Menara Cinta / Chapter 17 - Lalu Siapa Yang Menjadi Wali Mu?

Chapter 17 - Lalu Siapa Yang Menjadi Wali Mu?

Sasya mengikuti langkah lebar Bryan didepannya. Sedikit susah memang, karena langkah kakinya lebih kecil.

"Bryan.." panggil Sasya dengan nada manja.

Pria itu menoleh, terkekeh samar saat melihat wajah cemberut calon istrinya. "Hm? Ada apa?"

Wajah Sasya semakin ditekuk. "Sebenarnya ruangan kamu dimana? Kenapa belum sampai juga?" Kakinya terasa pegal akibat berjalan. Sepertinya Sasya harus rajin berolahraga mulai dari sekarang.

"Dikit lagi sampai kok." Bryan menggandeng Sasya menuju ruangannya. Saat dipertigaan koridor mereka berbelok menuju ruangan paling ujung. Ruangan paling besar diantara ruangan yang lain.

"Nah.. sampai." Gumam Bryan lirih.

Salah satu tangannya yang bebas membuka pintu, kemudian mereka masuk kedalamnya.

"Ruanganmu luas sekali Bry.." ucap Sasya penuh kekaguman.

"Segini mah kecil, karena ini kantor cabang." Bryan langsung sibuk dengan berkas-berkas yang bertumpuk di meja kerjanya.

Sasya menoleh kearah pria tersebut, "Segini masih di bilang kurang besar?! Apa dia gila?" Teriak Sasya dalam hati.

"Kayaknya kamu bakal lembur ya Bryan." Celetuk Sasya, ia melihat pria itu sudah sibuk dengan istri tuanya.

Bryan menoleh. Sebelum tatapannya kembali ke meja. Ia menganggukkan kepala, "Sepertinya memang harus lembur, biasanya gak sebanyak ini. Gara-gara Farrel minta cuti kerjaan saya jadi lebih banyak." Gerutunya pelan.

Sasya terkikik geli. Ia baru tau, Bryan bisa menggerutu juga.

"Katanya mau ambil berkas doang.." gumam Sasya lirih.

Bryan tak dapat menahan senyumnya, "Kan di rapihin dulu sayang, masa saya bawanya begini?"

"Iya iya.."

Tiba-tiba perut Sasya membelit, "S-Sakit sekali.." desis Sasya lirih. Kakinya lemas, tak kuat menahan tubuhnya sendiri Sasya jatuh terduduk.

Bryan menoleh, segera ia menghampiri Sasya.

"Sayang kamu kenapa?" Tanya Bryan khawatir. Bryan menahan nafas saat melihat wajah Sasya yang tampak pucat pasi.

"Ssakit.. Bry.." ringisnya sambil memegang perut.

Bryan menggendong Sasya, membaringkannya di sofa. Ia mengusap perut Sasya lembut,

"Mau ke rumah sakit?" Bryan menghela nafas berat ketika melihat gadisnya menggeleng.

"Nngh.. nggak mau." Tolak Sasya halus. Wajah Sasya masih diliputi kesakitan. Melihatnya begini Bryan tak tega.

Bryan menunduk, mendekatkan wajahnya pada perut Sasya.

Sedangakan Sasya sendiri bingung dengan tingkah yang Bryan lakukan.

"Kamu jangan nakal ya, kasian mama kamu. Dia kesakitan. Kalo gerak jangan keras-keras." Bisiknya pada perut Sasya.. atau pada calon anaknya?

Sasya tersenyum geli, usapan lembut Bryan di perutnya membuat sakitnya sedikit menghilang.

"Dia masih kecil Bry... mungkin juga belum tumbuh." Ujar Sasya lirih.

Bryan mendongak, bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

"Seenggaknya, saya berhasil buat perut kamu gak sakit lagi kan?"

"Iya sih."

"Kalau ada apa-apa bilang sama saya, jangan dipendam sendiri. Kalau kamu mau apapun bilang, biasanya ibu hamil itu bakal ngerasin yang namanya ngidam." Jelas Bryan panjang lebar.

Sasya terkekeh, ia mengusap pipi Bryan.

"Kamu tau banyak ya Bry.. sepertinya kamu udah siap jadi ayah."

Bryan memegang tangan Sasya, mengecupnya lembut.

"Saya selalu siap, apalagi buat kamu. Inget sayang. Kamu gak lagi sendiri. Kamu harus belajar terbuka sama saya mulai dari sekarang."

"Baiklah S-u-a-m-i ku. Hihihi."

Bryan mencubit gemas pipi Sasya, ah.. rasanya semakin hari semakin besar saja cinta ini.

.

.

Pagi menjelang, kini Sasya tengah berdiri didepan teras rumah Bryan sambil menatap Bryan memelas.

Pria itu malah tertawa kecil melihat tingkah Sasya yang makin hari makin manja padanya. "Saya harus berangkat sayang." Ujar Bryan sambil tersenyum. Ia mengusap kepala Sasya.

Tiba-tiba saja ia tertarik kedepan, ternyata dasi Bryan ditarik. Hingga pria itu menunduk, menatap manik dark ruby yang memesona.

Cup

"Hati-hati dijalan suamiku sayang." Bisik Sasya ditelinga Bryan.

Bryan sendiri masih mematung, mencerna apa yang terjadi. Meski begitu singkat.

"A..." wajah Bryan memerah, pria itu bahkan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

"Kau juga baik-baik dirumah, istriku sayang." Bryan tersenyum puas saat berhasil menggoda balik Sasya.

Farrel menahan senyum melihat tingkah mereka. "Masih pagi sudah bikin iri saja." Batinnya.

Sasya melambaikan tangan saat mobil Bryan akan berangkat. Melihat mobilnya sudah hilang di pandangan, Sasya segera masuk kedalam rumah.

"Apa nona membutuhkan sesuatu?" Tanya Mia, saat Sasya menginjakkan kakinya didapur.

Ah.. Sasya ingat, wanita paruh baya didepannya ini adalah pelayan yang mengumpatinya saat baru sampai. Dengan cepat Sasya menggeleng, bibirnya tersenyum manis meski palsu.

"Nanti aku bilang ke kamu apa yang aku butuhin, entah itu kapan. Sementara ini, aku cuma mau bilang sama Bryan." Balas Sasya.

Mia merutuk dalam hati, "Gadis ini semakin berbahaya saja."

Sedangkan diluar sana, ada dua pasang mata yang memperhatikan gerak gerik dirumah Bryan.

"Lo yakin dia tinggal disini?" Tanya salah satu dari mereka.

Menghela nafas, Bagas. Orang tersebut melirik kesal sang sahabat. "Iya, gua yakin Sasya tinggal disana."

"Terus kalau emang Sasya tinggal disana, lo mau apa huh?" Dimas tak habis pikir, apa Bagas tak bisa mendengarkan nasihat darinya?

"Gua mau ketemu sama dia, gua mau peluk dia. Walau pun cuma sebentar doang." Ujar Bagas lirih.

Dimas melihat kesedihan didalam sana, tapi mau bagaimanapun sekarang sudah terlambat untuk memperbaiki. Sahabatnya juga sudah menikah.

Binar senang di mata Bagas kembali hadir saat dari kejauhan ia melihat Sasya di berdiri di bingkai jendela.

"Tunggu sayang.. lihat saja nanti. Gua bakal jemput lo." Batinnya.

Bagas menahan untuk tidak membunuh sahabatnya ketika Dimas kembali membawa mereka ke sekolah.

"Sialan!" Umpatnya dalam hati.

.

.

Siang pun tiba, Sasya sudah mengganti pakaiannya dengan gaun putih selutut dengan hiasan bunga lily sebagai coraknya.

Rambut indah Sasya tersanggul rapi, senyumannya semakin melebar saat Bryan datang menjemput.

Bryan berkali-kali dibuat terpesona oleh Sasya. Calon istrinya. Ia tersenyum lembut, menggenggam tangan yang lebih kecil darinya. Pas sekali untuk digenggam olehnya.

"Kau sudah siap sayang?" Bisik Bryan mesra.

"Aku.. y-yya. Aku sudah siap! Hehe.." Sasya menjawabnya dengan gugup. Hey! Siapa yang tak akan gugup di hari pernikahannya?

"Kau yakin kita tak perlu menemui ayahmu untuk meminta restu?" Tanya Bryan memastikan. Alisnya menukik tajam.

"Dia sudah mengusirku di hari itu.. kurasa tidak perlu. Aku ingin memulai semuanya denganmu, awal yang baru. Kalau boleh jujur, aku tak ingin mengingat masa lalu ku yang kelam." Mengingatnya saja, membuat hati Sasya berdenyut nyeri.

Bryan tau, penderitaan yang dirasakan Sasya begitu berat, dulu... dulu ia tak punya kuasa, tak punya kekuatan untuk melindungi  gadis kecilnya. Tapi kini.. Sasya ada disampingnya, ia harus menjaga Sasya walau dengan nyawanya sendiri.

"Kita berangkat sekarang sayang.. aku gak sabar ingin kamu jadi istri aku." Bryan mengecup dahi Sasya lembut.

Sasya terkejut dengan cara bicara Bryan. Biasanya Bryan akan selalu bertahan dengan tingkah formalnya.

"Kalau begitu.. tunggu apa lagi Tuan Handoko?" Sasya ingin tergelak menertawakan cara bicaranya sekarang.

Bryan menggandeng Sasya sebelum mereka naik ke mobil dan melesat menuju kantor KUA (kalian pasti tau lah ya, gak usah saya jelasin lagi. :v)

Keduanya tampak gugup, sebentar lagi... mereka akan mengganti status lajang mereka.

Memikirkannya saja, membuat hati Bryan berbunga. Bryan teringat sesuatu. Dengan cepat Bryan menoleh kearah Sasya.

"Lalu siapa yang jadi wali mu?" Tanyanya penasaran.

"Aku sudah meminta kak Lian untuk menjadi wali ku." Jawab Sasya enteng. Tak memperdulikan raut wajah Bryan yang terkekuk.

"Sejak kapan kamu manggil dia kakak?!" Wajah Bryan tampak kesal ketika mengatakannya.

"Sejak kami membicarakan tentang dokter kandungan." Cetus Sasya dengan tatapan berbinar.

Rasa kesal Bryan luruh, ia malah mendekap Sasya kedalam pelukan. "Baguslah, itu tandanya tak ada lagi yang menjadi penghalang kita. Karena semua syarat sudah terpenuhi." Gumam Bryan lirih.