Perasaan ragu meliputi Erick, ia masih teringat dengan gadis di halaman belakang rumah sakit tadi. Walaupun Erick tidak dekat dengan gadis itu dalam waktu yang dekat ini. Tapi Erick yakin bahwa gadis itu benar Sasya.
Sasya Arletta, kekasih Bagas. Erick mendengus, bagaimana bisa gadis itu bermesraan dengan pria lain sementara Bagas sudah menikah.
Apa Sasya sudah tak menyukai Bagas lagi? Entahlah. Memikirkannya saja membuat Erick pusing.
Erick membuka pintu ruang VIP didepannya. Menghela nafas lega saat melihat keadaan Gio baik-baik saja.
"Apa kau membutuhkan sesuatu?" Tanyanya lembut pada sang adik, yang juga berstatus sebagai kekasihnya.
Kepala abu itu menggeleng lemah, saat ini ia tidak menginginkan apapun. Perutnya juga masih menolak makanan apapun yang ia makan. Iris abunya mengikuti gerakan Erick. Bibirnya mengulas senyum saat sang kakak duduk di samping ranjangnya.
"Tebak, aku menemukan apa pagi ini." Ucap Erick sambil memasang wajah serius.
Gio mengerutkan alis, ia tampak berpikir sebelum menggelengkan kepala.
"Aku bertemu dengannya." Ujar Erick akhirnya. Namun kerutan di dahi Gio semakin bertambah.
"Siapa?"
"Sasya."
"Kok bisa? Lo ketemu dimana kak?"
"Di taman belakang rumah sakit."
Tatapan Erick dan Gio saling memaku, sebelum Erick mengalihkan pandangan kearah lain. Tepatnya ke pintu yang kini terbuka menampilkan Nara dan Bagas yang menatapnya terkejut.
"Apa yang gua denger gak salah kan?" Tanya Bagas dengan raut penasarannya. Ia cukup terkejut mendengar Erick bertemu Sasya di rumah sakit ini.
"Gak, gua emang gak deket sama dia. Tapi gua yakin dia itu Sasya." Jawab Erick cuek. Ia mengernyit jijik saat mengingat adegan Sasya yang bermanja pada lelaki yang memeluknya posesif.
Bagas beranjak dari tempatnya berdiri, menuju taman belakang yang Erick maksud tadi. Tangannya terkepal, detakkan jantungnya semakin menggila. "Gua kangen sama lo Sya. Apa lo kangen sama gua juga?"
Batinnya.
Sedang ketiga orang tadi menatapnya miris, sebelum Nara menyusulnya di belakang.
Tiba-tiba Gio menyuarakan suaranya.
"Kak, apa Sasya bakal balik lagi sama Bagas?"
Erick kembali menatap sang adik, ia mengangkat bahu. "Jangan lupa sekarang si brengsek itu udah nikah." Sahut Erick.
Gio mengangguk, ia mengiyakan juga dalam hati.
.
"Kak tunggu!" Seru Nara sambil berlari kecil di belakang Bagas. Namun pria itu tak perduli, ia harus cepat sampai ke taman belakang. Dimana Sasya saat ini.
"Sa-" mata Bagas terbelalak, melihat Sasya sedang memeluk lelaki yang Bagas tak kenali. Ia berdiri di belakang lelaki yang memeluk Sasya posesif. Mereka hanya berjarak lima meter dari tempat masing-masing.
Sasya mendongak, seketika tubuhnya menegang saat matanya balas menatap Bagas. Tubuh Sasya kembali rileks merasakan elusan lembut dari Bryan.
"Kamu kenapa hm?" Tanya pria itu heran.
Sasya menggeleng, "Gak kenapa napa kok Bry.."
Bryan sempat heran, kenapa tubuh Sasya menegang tadi. Pria itu menoleh ke belakangnya, ah.. sekarang Bryan tau kenapa Sasya bersikap aneh tadi. Ternyata dia melihat Bagaskara di belakangnya.
Bryan melihat lewat ekor mata, saat Bagas mendekati mereka.
"Sya.." panggil Bagas pelan. Rahangnya mengeras saat melihat Sasya berada dipangkuan Bryan.
Sasya mendongak, menatap Bagas tak mengerti.
"Selama ini gua nyari lo, sampe kayak orang gila tau gak? Tapi... disini lo malah sama lelaki lain." Ujar Bagas dingin. Tatapannya menyorot tajam, seolah ia bisa melukai Sasya hanya dengan tatapan saja.
"Makdud kamu apa?" Tanya Sasya dengan nada pelan.
Alis Bagas menukik, tak senang saat mendengar pertanyaan Sasya. "Apa lo pura-pura gak ngerti? Kenapa lo ngehindar dari gua hah?" Ucapnya penuh emosi.
Sasya berjengit kaget, ia berlindung dipelukan Bryan. "Buat apa kamu nyari aku, kak?" Kepala Sasya tertunduk. "Kamu udah punya orang lain yang bisa muasin kamu kan?"
Bryan menatap Sasya terkejut, "Jadi dia yang bikin Sasya hamil?!"
Bagas menatap sendu, hatinya berdenyut sakit.
"Kamu ngomong apa sih? Sya.. denger. Gua cuma cinta sama lo. Ga-"
"Cukup Bagas! Aku gak mau denger lagi. Kata-kata itu gak bisa buat menghapus luka yang diberi kamu!" Potong Sasya cepat. Wajahnya memerah, kesal.
Hati Bagas semakin sakit mendengar penolakan Sasya. Kembali, Bagas membuka mulutnya.
"Sya denge-"
"Untuk apa kamu ngejar Sasya? Bukankah kamu sudah menikah?" Kali ini Bryan bersuara, ia tak tahan melihat Sasya begini.
Sasya menatap Bryan terkejut,
Tatapan Bagas beralih ke arah Bryan, ia menatap penuh benci pada lelaki yang dengan tenangnya memeluk Sasya.
"Ini bukan urusan lo! Lo jangan ikut campur!" Kini tatapan Bagas beralih ke arah Sasya lagi. "Dan lo Sya, sekarang lo ikut gua!" Ujarnya dingin.
Bryan memainkan rambut Sasya, wajahnya masih tenang. Seperti tak terusik.
"Sasya gak akan kemana-mana. Apalagi pergi sama kamu." Tatapan Bryan semakin dingin dan menusuk saat melihat tangan Bagas mencekal pergelangan tangan Sasya. "Lepasin tangan Sasya. Sekarang juga."
Bagas mendecak, memutar bola matanya jengah. Cukup, Bagas di buat jengkel oleh lelaki ini. Berani sekali dia melarang Bagas membawa Sasya?!
"Apa berhak lo ngelarang gua buat pergi dengan Sasya! Dia cewek gua!" Ucapnya dengan nada kesal. Tatapan Bagas melembut. "Sya, ayok kita pulang."
Sasya melepas tangan Bagas dari pergelangan tangannya.
"Aku cuma pulang, dimana ada Bryan disana."
"Lo..." Bagas terdiam, Sasya menolaknya berkali'kali demi pria lain. Penolakan Sasya cukup membuat hatinya sakit.
Bagas sudah menurunkan egonya untuk membujuk Sasya. Tapi gadis itu masih menolaknya.
"Sya.. gua masih-"
"Bryan.. aku mau pulang." Rengek Sasya. Mengabaikan keberadaan Bagas yang masih berdiri di samping mereka.
Bryan beranjak bangun, dengan Sasya yang berada dalam gendongannya. "Inget Bagaskara, kamu sudah punya istri. Jangan ganggu istri orang." Ujar Bryan dingin. Ia membawa Sasya menuju parkiran, "Biar Farrel aja yang urus administrasinya." Batin Bryan.
Bagas menatap kosong. Sebelum tubuhnya jatuh terduduk.
"Kenapa lo milih dia Sya.. gua cinta sama lo!" Gumamnya lirih.
"Aarrrrghh sialan!" Umpatnya entah pada siapa.
"Hah... hahahahaha..." tawa Bagas menggelegar. Nara menatap sang kakak khawatir.
Bagas tersenyum miring, tangannya terkepal hinga buku jarinya memutih.
"Gua sekarang emang gagal bawa lo pulang Sya, tapi gak untuk lain kali. Gua bakal lakuin apapun.. buat bawa lo pulang. Heh.." ujarnya dengan nada rendah. Tatapannya berkilat berbahaya.
.
.
Sepulangnya Sasya dari rumah sakit, gadis itu tak mau beranjak dari pelukan Bryan. Tubuhnya bergetar menahan tangis, selama ini Sasya sudah tak memikirkannya lagi. Kenapa Bagas malah datang menemuinya?
"Bry.."
"Hm?"
"Kenapa kamu bilang kalo Bagas udah nikah?" Tanya Sasya tak mengerti.
Bryan terdiam, ia mengusap pipi gembil Sasya. "Dia emang sudah menikah."
Jawaban Bryan membuat mata melebar, menggigit bibir. Sasya kembali bertanya. "Kamu tau dari mana?"
"Saya dapet undangan dari orang tuanya, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri." Bryan terdiam sejenak. Kemudian ia teringat sesuatu. "Kamu inget pas kamu tersesat di hutan? Waktu itu saya pergi ke pesta pernikahan Bagaskara."
Sasya terdiam, lidahnya terasa kelu.
Melihat itu, Bryan merasa sakit. "Apa kamu masih cinta sama dia?"
"Itu gak mungkin Bryan, aku cinta sama kamu." Sangkal Sasya. Ia menatap pria itu lembut. "Dulu emang iya, tapi tempat itu udah gak ada lagi buat Bagas. Hanya ada kamu disana."
Bryan tersenyum, ia menaikan satu alisnya.
"Benarkah?"
"Umn!"
"Berani cium saya?" Awalnya Bryan hanya ingin menggoda. Tapi siapa sangka Sasya malah mendekatkan wajah kearahnya.
"Eng.. siapa takut?"
Detik itu juga, Sasya mencium bibir pria itu. Tangannya meremas rambut Bryan, kala lidah pria itu masuk kedalam mulutnya.
Membelit lidahnya untuk diajak beradu.
"I love you Bryan.. " bisik Sasya setelah melepas ciumannya.
"Love you too babe."