Sasya terbangun, ia merasakan sepasang lengan melingkari perutnya. Tersenyum tipis, ia mencoba melepaskan lengan tersebut.
Ini sudah pagi mereka harus bangun, terbukti dari banyak suara dari luar. Percakapan antar pelayan tak luput dari pendengaran Sasya, meski hanya sekedar gumaman yang tak jelas.
"Kau mau kemana hn?" Suara serak Bryan membuyarkan lamunannya. Pria itu baru bangun, Sasya sendiri heran. Biasanya Bryan terbiasa bangun pagi.
Apa mungkin karena hari ini libur? Mungkin juga kan?
"Mau mandi.." gumamnya.
Bryan mengucek mata, melihat jam yang berada di nakas.
"Hm... kau keberatan gak kalau saya ajak ke rumah sakit?"
"Lagi?"
"Hei, ini untuk kebaikanmu juga. Saya dan Lian udah bicara soal operasi mata kamu."
Ah.. Sasya ingat sekarang.. "Baiklah aku mau."
Sasya berbalik menghadap kearah pria tersebut. Tangannya terulur, ia ingin tahu bentuk wajah Bryan seperti apa.
Bryan menatap gerak-gerik Sasya, ia penasaran. Apa yang mau dilakukan gadis ini terhadapnya?
Tapi bukannya menemukan wajah, Sasya malah menyentuh dada pria itu.
Bryan menggenggam tangan Sasya, lalu mengarahkan ke wajahnya sendiri. Ia melihat senyum manis gadis itu. "Kenapa kamu mencari wajah saya?"
"Aku cuma mau tau, bentuk wajah calon suami ku seperti apa." Jawab Sasya polos.
"Yang jelas, bentuknya nggak kotak."
"Terus apa? Bentuk Gurita kah?"
"Bukan."
"Apa dong?"
"Kepiting."
Mereka terdiam, Bryan beranjak bangun. "Aku duluan yang mandi."
Setelahnya Sasya mendengar suara gemericik air.
Sasya duduk bersandar dikepala ranjang, termenung. Ia teringat, dirinya bukan lagi seorang gadis. Keperawanannya telah diambil Bagas, memang dia sendiri yang meminta. Saat itu karena rasa kecewa Sasya menyerahkannya begitu saja.
Lantas.. bagaimana dengan Bryan nanti? Bagaimana Sasya menjelaskannya?
Sasya melupakan hal ini karena terus larut dalam kasih sayang yang diberikan Bryan padanya. Bagaimana jika pria itu tau kalau Sasya tak lagi perawan?
"Bodoh... sungguh.. kau bodoh." Sasya mengatai dirinya sendiri, air matanya jatuh.
Bryan memang baik, selama ini pria itu selalu baik dengannya. Tapi bagaimana saat pria itu tau kenyataan ini..
Apakah ia akan membuang Sasya begitu saja?
Meremas selimut, air matanya tak lagi terbendung.
"Kau kenapa menangis..?" Ucap Bryan tiba-tiba. Ia menatap khawatir pada Sasya.
Sasya terlonjak karena mendengar suaranya.
Bryan menatapnya heran karena Sasya tak menjawab, "Saya tanya sama kamu. Apa yang bikin kamu nangis seperti ini?"
Sasya masih diam, tak berani menjawab.
Bryan menghela nafas, ia berbalik menuju lemari. Mengambil pakaian lalu memakainya.
Diam-diam Bryan melirik Sasya lewat ekor mata. "Sebenarnya apa yang bikin kamu begitu sedih? Kenapa kamu gak mau cerita ke saya?" Batin Bryan.
Bryan keluar dari kamarnya tanpa sepatah kata pun.
Tangisan Sasya kembali pecah, saat Bryan pergi begitu saja.
Rasa mual menyerangnya, membuat Sasya berhenti menangis. Ia melangkah tertatih menuju kamar mandi. Mengeluarkan semua makan malamnya di westafel.
"Hoeeek!"
Ugh...
"Hoeek!"
Menghela nafas lega saat rasa mual tak lagi menyerangnya, Sasya membasuh wajahnya.
Tunggu..
Jangan bilang kalau dirinya.. Hamil?!
Tidak... itu.. bagaimana mungkin. Sasya menggelengkan kepala, satu masalah belum selesai. Ia harus memikirkan masalah ini.
Bodohnya Sasya tidak memakai pengaman saat melakukannya dengan Bagas.
"Bagaimana ini..? Apa yang harus aku lakukan?" Tanya Sasya pada dirinya sendiri.
.
.
"Kenapa kamu lama banget mandinya?" Tanya Bryan, pria itu menatap tajam Sasya yang kini duduk disamping kanannya.
"Kamu tidak tau, perempuan itu selalu lama kalau mandi. Bukan hanya aku saja." Jawab Sasya cuek.
Mata Sasya yang merah dan bengkak membuat Bryan khawatir.
"Kamu mau sarapan dulu atau-"
"Kita langsung ke rumah sakit aja." Sambar Sasya cepat. Ia tak mau merasakan mual saat setelah menelan makanan tersebut.
Bryan bungkam, kalau boleh jujur. Ia merasa Sasya berubah, entah apa yang membuat dia begini. Bryan hanya akan menunggu sampai Sasya mau menceritakannya.
Bryan menggandeng tangan Sasya, mengernyitkan dahi saat merasa tangan itu terasa begitu dingin.
Mereka pun berangkat ke rumah sakit.
.
.
Bagas menatap murka pada Kiara, ia kesal karena merasa tertipu.
"Kenapa? Kenapa kau menipuku? Kau bilang kau sedang mengandung anakku? Tapi mana buktinya?"
"Aku hanya.."
"Hanya apa?"
"Bagas, kapan pun kita menikah. Sama saja. Soal bayi itu... aku memang berbohong." Kiara tak berani menatap Bagas. Wajah suaminya itu terlihat sangat menyeramkan saat ini.
"Itu bagimu.. bagiku berbeda, jika kau tak mengatakan bahwa dirimu hamil-"
"Kau akan melanjutkan pencarian pacarmu itu kan? Kenapa kamu gak mikirin perasaan aku? Padahal kamu udah janji... tapi-"
"Setidaknya aku mau minta maaf sama dia! Dengan hilangnya dia begini.. membuat aku merasa bersalah! Dan satu lagi.. aku masih cinta sama dia. Aku emang tanggung jawab, nepatin janji aku buat nikahin kamu. Tapi jangan harap kamu bisa dapetin cinta dariku." Ujar Bagas dingin.
Ia berlalu meninggalkan Kiara yang kini terisak.
"Kenapa gak ada tempat di hati kamu buat aku.? Kenapa?"
.
.
Lian menatap Bryan dan Sasya bergantian. Atmosfer disini cukup aneh. Baru juga kemarin mereka seperti sepasang suami'istri yang dimabuk cinta.
Tapi lihatlah, sekarang dingin bagai gumpalan es.
"Kalau kondisi kamu cukup baik buat dua hari kedepan. Kita akan segera melaksanakan operasinya. Kamu jangan mikir aneh-aneh dulu, bukannya kamu ingin cepet bisa liat lagi?" Ucap Lian panjang lebar.
Sasya tersentak saat merasa tepukan di pundaknya.
Lian mendengus, ia sudah berbicara panjang lebar seperti tadi. Tapi gadis ini malah tidak mendengarkannya?
Kalau saja dia bukan orang spesial bagi Bryan. Ia akan menyindir keras Sasya, meski dia pasiennya.
Bryan menghela nafas, sikap Sasya sebelumnya tak seperti ini.
"Nanti kami temui kau lagi."
Lian melirik ekspresi sahabatnya, ekspresi yang biasa ia lihat sebelum Bryan bertemu Sasya.
Dingin dan kejam.
"Hm.. kalau bisa secepatnya." Balas Lian lirih.
Ia menatap datar kepergian mereka berdua.
Sasya masih diam, lengannya terulur menggapai lengan Bryan yang berjalan disampingnya. Menyandarkan kepala nyaman disana, mengatur nafas sejenak. Bagaimana pun hubungan mereka tidak boleh terus begini.
Sasya akan mengatakannya, setidaknya sebelum Bryan mengetahui dari orang lain.
Bryan mengusap kepala Sasya, sedikit lega gadis itu ternyata bersikap seperti biasa.
"Loh.. kamu Sasya kan?" Ujar seseorang tiba-tiba.
Membuat Sasya terkejut, hampir saja dirinya terjatuh kalau saja sepasang lengan Bryan tak menangkapnya.
"Tante... Kiran?" Tebak Sasya ragu. Ia ingat suara itu, tapi ia tidak bisa melihat siapa pemiliknya.
"Iya ini tante! Aduh Sasya kamu nambah cantik banget. Terakhir kali ketemu kamu masih kecil, imut-imut gitu. Gak nyangka sekarang udah gede." Ucap Kiran kegirangan, pasalnya ia sangat menyukai Sasya. Gadis kecil yang penurut, pintar juga polos.
Sasya tersenyum, tantenya gak berubah sama sekali. Dari dulu selalu cerewet padanya.
Tatapan Kiran jatuh ke Bryan, ia menaikan alis. Seingatnya, ia tak mempunyai keponakan laki-laki.
Menyadari pandangan aneh dari tantenya Sasya, Bryan berdehem. Lantas ia memperkenalkan diri. "Nama saya Bryan Handoko, calon suami Sasya." Ujar Bryan tegas.
Sasya terkejut, kenapa Bryan memperkenalkan dirinya sebagai calon suami? Kenapa tidak kekasih saja?
"Wah... apa ini. Kok tante gak di kasih tau Sasya udah punya calon." Kiran mengerling pada Sasya, bermaksud menggoda keponakannya.
Sasya hanya tersenyum, "Maaf tante, lagian Bryan baru kemarin melamar. Iya kan sayang?" Ia meremas tangan lelaki itu. Bermaksud meminta bantuan. Gadis itu tampak gelisah.
Bryan yang mengerti, ia merangkul pundak Sasya. "Iya," ucap Bryan sambil mengangguk pelan.
"Maaf tante, kami harus pergi. Ada urusan lain." Sambungnya.
Kiran menatap kepergian mereka, ia curiga, seperti ada yang tidak beres. oh. Ia baru sadar, sedari tadi Sasya tak menatapnya saat bicara.
Tapi kenapa?
Atau karena Sasya malu? Sejak tadi ia perhatikan ada yang beda dengan tubuh keponakannya itu.
Mungkinkah...?
Menepuk pelan dahinya, Kiran menggelengkan kepala. Itu tidak mungkin, keponakannya pasti masih polos seperti dulu.
.
.
Sasya masih meremas tangan Bryan, ia masih gelisah sejak bertemu dengan tantenya.
Sasya takut, mungkin saja Kiran sudah sadar kalau dirinya tengah mengandung.
Sasya memang belum mengeceknya, tapi karena ia belum datang bulan sejak hari itu, kemungkinan besar ia memang hamil.
"Dia sudah tidak ada. Kenapa kamu masih takut begitu? Apa dia berbahaya?" Tanya Bryan saat mereka masuk kedalam mobil.
"Bukan, hanya saja. Aku takut mereka akan mencariku. Aku gak mau pulang." Jawab Sasya sendu.
"Kamu tenang aja sayang, saya pasti ngelindungin kamu. Gimana pun caranya." Ucap Bryan setelah merengkuh Sasya kedalam pelukan.
Gadis itu mengangguk, "Tapi gimana kalau kamu sendiri nanti kecewa sama aku? Apa kamu masih akan berkata seperti itu Bryan?" Sasya membatin.