Chereads / 3MJ / Chapter 21 - Ketahuan

Chapter 21 - Ketahuan

Sayangnya, dan sialnya… Ciciyo Suzuki ketahuan pula telah makan KFC di dalam kamar mandi lantai dua padahal tugasnya belum selesai. Seorang pembantu yang memergokinya diam-diam melaporkan kejadian tersebut kepada ibunya. Kenalah dia… Satu tamparan mendarat di wajahnya. Sekujur badan Ciciyo berputar dan kemudian menempel pada dinding kamar mandi.

"Berani sekali kau mulai membangkang ya, Ciciyo! Sudah Ibu katakan kan kau tidak boleh makan apa pun kecuali kalau pekerjaanmu membersihkan seluruh toilet di rumah besar ini sudah selesai! Memangnya kau sudah selesai!" bentak ibunya dengan mata yang melotot lebar, seolah-olah akan keluar dari kedua rongganya.

"Belum, Bu…" jawab Ciciyo Suzuki lirih.

"Belum kenapa kau berani sekali makan! Belum kenapa kau berani membeli KFC dan makan di tengah-tengah pekerjaanmu! Belum kenapa kau berani sekali membantah perkataan Ibu!" Masih terdengar teriakan yang sama dari Bu Faustina Tokwin.

"Aku lapar, Bu…" jawab Ciciyo Suzuki lagi dengan lirih.

"Makanlah ini! Makan ini! Makan!"

Mendadak saja Bu Faustina Tokwin memasukkan potongan ayam KFC yang sudah hampir tinggal tulang ke dalam mulut anaknya dengan paksa. Dia menekan potongan daging ayam yang tinggal sedikit itu ke dalam mulut anaknya dengan paksa. Ciciyo Suzuki memalingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan guna menghindari makanan itu masuk ke dalam mulutnya. Mulutnya sudah penuh dan dia sudah kesusahan bernapas. Namun, dia tidak bisa melawan tenaga orang dewasa. Dia hanya bisa pasrah ketika mulutnya terus dimasukkan nasi dan potongan-potongan daging ayam. Tampak nasi dan potongan-potongan daging ayam jatuh berserakan di lantai kamar mandi.

"Sudah, Ibu Angkat! Cukup!" teriak Shunsuke Suzuki berlari masuk ke dalam kamar mandi dan meraih Ciciyo Suzuki yang kini menangis meraung-raung ke dalam dekapannya.

"Kau berani ikut campur ketika Ibu Angkat sedang mengajari mereka bagaimana cara menjadi anak yang baik dan penurut ya, Shunsuke!" Teriakan Bu Faustina Tokwin kembali berkumandang sampai ke seisi rumah.

"Mereka sudah tahu kesalahan mereka, Ibu Angkat. Mereka sudah berjanji lain kali akan belajar lebih keras lagi sehingga takkan mendapatkan nilai enam puluhan lagi. Kenapa Ibu Angkat terus dan terus menghukum mereka! Ibu Angkat jahat!" teriak Shunsuke Suzuki sungguh tidak bisa membendung emosi dan kekesalannya lagi.

"Sini kau, anak kurang ajar! Percuma kami memungutmu waktu itu ya! Tidak tahu berterima kasih! Baru berusia dua belas tahun saja sudah berani melawan orang tua kau ya!"

Bu Faustina Tokwin ingin maju mendekati Shunsuke Suzuki yang masih mendekap adik keduanya tatkala Shunsuke Suzuki mengelak sedikit. Karena merupakan seorang perenang yang handal, ia bisa mengelak dan menghindar tatkala Bu Faustina Tokwin ingin mendekatinya dan memukulnya.

"Sini kau! Biar aku ajari kau bagaimana menjadi seorang anak yang baik dan penurut!" teriak Bu Faustina Tokwin lagi.

Shunsuke Suzuki membawa adiknya berlari keluar dari dalam kamar mandi. Bu Faustina Tokwin mengejar mereka berdua sampai ke dalam dapur di lantai dua. Merasa sudah terpojok dan tidak ada pilihan lain lagi, terpaksa Shunsuke Suzuki membuka lemari kabinet di dapur. Dia mulai mengeluarkan segala isi lemari kabinet itu dan menghancurkannya di lantai dengan berang nan membabi buta. Tampak gelas, piring, mangkuk dan segala barang pecah belah lainnya pecah berkeping-keping di lantai. Sungguh Bu Faustina Tokwin terhenyak kaget bukan main. Dia hanya bisa berdiri menyaksikan apa yang tengah diperbuat oleh anak angkatnya itu dengan matanya yang membelalak lebar dan sepasang bibirnya yang juga terbabang lebar.

"Ada apa ini!" teriak Kendo Suzuki yang pulang ke rumah menjelang jam enam sore dan terkejut bukan main dengan semua kehancuran yang ia lihat di dalam dapur di lantai dua rumahnya.

"Lihatlah anak angkatmu ini, Kendo! Lihatlah anak yang kaupungut dari saudaramu ini! Aku sudah bilang jangan pernah mau membesarkan anak orang lain! Kau bersikeras ingin membesarkannya! Lihatlah hasilnya sekarang! Lihatlah hasilnya sekarang! Dia berani membantah dan membangkang terhadapku!" teriak Bu Faustina Tokwin mengadu kepada sang suami.

Pandangan mata Kendo Suzuki kini beralih ke anak angkatnya.

"Hanya karena Natsumi dan Ciciyo mendapatkan nilai enam puluhan di ujian hari ini, mereka disuruh membersihkan seluruh kamar mandi di rumah besar ini dan mencabuti rumput-rumput liar yang ada di kebun samping. Jika belum selesai, mereka tidak boleh makan siang dan makan malam. Aku membelikan makanan buat mereka. Ibu Angkat mengetahuinya dan Ibu Angkat malah ingin memasukkan makanan itu secara paksa ke dalam mulut Ciciyo di kamar mandi tadi. Aku sudah tidak tahan, Ayah Angkat! Aku sudah tidak tahan terhadap segala macam hukuman Ibu Angkat yang tidak masuk akal dan tidak manusiawi selama ini!"

Pandangan mata Kendo Suzuki kini beralih lagi ke istrinya.

"Aku memberikan mereka berdua hukuman karena mereka malas belajar sehingga bisa memperoleh nilai pas-pasan. Mereka harus dididik untuk bekerja keras sejak dini. Kalau tidak…"

"Diam…!" Teriakan sang suami kontan menghentikan omelan sang istri. Kini sang istri hanya bisa memandangi suaminya dengan sepasang mata yang membeliak lebar dan sepasang bibir yang terbabang lebar.

"Kau membentakku, Kendo!"

"Aku tidak membentakmu! Aku sedang menghentikan kegilaanmu! Kalau aku tidak menghentikanmu sekarang, suatu hari nanti kau akan membunuh mereka semua dengan segala jenis hukumanmu yang tidak logis itu! Menjauhlah dari mereka! Aku tidak ingin melihatmu berada di dekat-dekat mereka untuk sementara waktu!"

Telunjuk sang suami menunjuk ke pintu ruangan dapur. Dengan menghentakkan kakinya sekali, sang istri keluar dari ruangan dapur lantai dua dengan kesal. Sang suami menatap wajah kedua anaknya sebentar dan kemudian menyusul sang istri yang sudah lebih dulu keluar dari ruangan dapur tersebut.

"Aku sedang mempersiapkan mereka sejak dini, Kendo. Tak ada pilihan lain lagi. Mereka harus menjadi anak-anak yang sempurna, Kendo. Mereka harus menjadi anak-anak yang sempurna, baik dalam kepintaran, kecantikan dan kepribadian – terutama Natsumi dan Ciciyo." Terdengar Bu Faustina Tokwin masih bersikukuh dengan prinsip, posisi dan pandangannya.

"Bukan begitu juga caranya! Aku tahu kau sedang mempersiapkan mereka sejak dini. Namun, segala jenis hukuman yang kauberikan selama ini justru akan semakin menjerumuskan mereka, bukan membuat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang sempurna." Sang suami juga bertekak dengan istrinya tentang cara-cara mendidik anak yang benar dan tepat.

"Kau menghalangiku, Kendo! Kau menghalangiku dalam menjadikan mereka anak-anak yang tanpa cela dan tanpa cacat! Apa kau sudah lupa? Apa kau sudah lupa dengan perjanjian kita terhadap keluarga Hanamura?"

"Aku tidak lupa… Aku hanya ingin kau lebih mempertimbangkan lagi ketika memberikan mereka hukuman, Faustina. Berikanlah hukuman yang mendidik, yang bisa mengajarkan dan memberitahu mereka sesuatu, bukannya hukuman fisik yang bisa menjatuhkan mental dan kondisi psikis mereka, Faustina…"

Sayup-sayup masih terdengar pertengkaran kedua suami istri itu di ruang tengah lantai dua. Shunsuke Suzuki sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya yang tengah mereka perdebatkan. Dia mulai membelai-belai kepala adik keduanya dan menenangkannya.

"Jangan menangis lagi, Ciciyo. Ada Bang Shunsuke di sini. Aku takkan pernah membiarkan Ibu Angkat atau siapa pun membuatmu menangis di kemudian hari. Kau mengerti kan? Jangan menangis lagi…"

Ciciyo Suzuki berangsur-angsur tenang kembali. Tangisannya semakin reda dan semakin reda. Berada dalam pelukan abang angkatnya, dia merasa semakin dan semakin tenang. Seiring dengan berjalannya waktu, tidak bisa dielakkan lagi, perasaan cintanya terhadap sang abang angkat juga semakin menumpuk dan semakin menumpuk.

Ciciyo Suzuki kini kembali terhempas ke jurang kenyataan. Dia semakin dan semakin menyadari bahwa Shunsuke Suzuki murni hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak ada perasaan yang lain yang lebih dari itu. Ciciyo Suzuki hanya bisa menangis hampir setiap malam, menelan kepahitan dari perasaan cintanya sendiri, dan hanya bisa menerima kenyataan bahwa selama ini perasaannya tidak pernah berbalas.

Kau tidak akan membiarkan orang lain membuatku menangis, Bang Shunsuke. Namun, kali ini kau sendirilah yang telah membuatku menangis.