Selasa dini hari,
"Assalamu'alaikum."
"Tok tok tok ...."
Terdengar deru langkah kaki yang tergopoh-gopoh menuju pintu yang sebelumnya terdengar suara yang telah menjawab salamku, dibukalah pintu itu dengan perlahan,
"Krieeeek ...."
"Astaghfirulloh, Inez? Ka ... kamu ... kamu sampai sini jam segini? Sama siapa Nez? Naik apa? Ayah dan Ibu ...." Pertanyaan kebingungan ia lontarkan kepadaku.
Arman terheran-heran dengan seribu tanya tercerca dari bibirnya melihat sosokku tiba-tiba nyata berdiri di depan bola matanya, didepan pintu kayunya, dirumah tempat tinggalnya.
Aku hanya diam seribu bahasa, mematung tak bergeming, hanya derai air mata yang mengucur ditambah bibir ini hanya bergetar gemetar tak keluar sepatah kata.
Yogyakarta, ya kerlap kerlip lampu yang tampak dijalanan kota yang aku lalui dan kutatapi tadi berbanding terbalik dengan redup redanya hatiku.
"Ayo masuk, masuk dulu Nez, duduklah kamu pasti lelah." Dia menggandeng aku masuk rumah asrinya, sambil ia persilahkan aku masuk ke ruang depan dan duduk disofa motif kembang-kembang khas Jogja.
"Icha! Echa! Ada kak Inez, buatkan teh hangat dan hidangan kesini, bangunkan Ibu juga." Arman memanggil-manggil adik kembarnya yang masih duduk dibangku SMA kelas satu.
Keduanya segera datang memelukku sambil memanggil namaku lalu bergegas masuk menyiapkan apa yang diminta kakaknya tadi.
Aku menceritakan padanya bagaimana aku bisa sampai disini. Liza yang sejak sabtu sore tanpa tahu kabarku mempertanyakan segala yang ada dibenaknya. Nomor Handphoneku dan Arman yang tidak bisa dihubungi karena sengaja aku matikan itu, membuatnya juga Ardy khawatir tak menentu.
Karena itu senin pagi dia sudah menantiku, dan dengan kedatanganku secepat kilat dia menyambarku,
"Inez kenapa kamu dan Arman enggak bisa dihubungi dari kemarin? Ada apa sih setelah kalian cerita mau lamaran dan sekarang tiba-tiba Arman menaruh surat izin. Dia tidak bisa masuk kerja selama beberapa hari dengan alasan kepentingan keluarga? Dia mudik ke Jogja Nez, mendadak banget, kenapa?." Panjang lebar Liza berkata-kata, belum terselesaikan aku sudah potong dia,
"Semua telah berakhir Liz. Aku dan Arman terpaksa harus putus karena Ayahku menolak Arman," potongku lagi-lagi menitiklah air mata ini. Kejadian pahit kemarin aku ceritakan detail tak bersisa, berharap ada solusi dari mereka juga mengurangkan beban di dada. Liza mendekapku erat diiringi tangisnya yang turut meleleh, sedangkan Ardy mengelus kepalaku pertanda turut menguatkan hatiku.
Sejenak keheningan itu tercipta, hanya alunan isakan tangis yang terdengar masuk pada gendang telinga kami bertiga. Segera kuusap tangisku dan harus berhenti drama ini, sebelum rekan kerja yang lain berdatangan untuk ceklok. Aku tidak mau menjadikan hari ini sebuah kehebohan, biarlah sambil jalan akan tahu sendirinya akan kisahku.
Waktu kerja belumlah usai. Aku izin pulang awal dengan alasan tak enak badan, tapi aku segera memburu kejar-kejaran dengan waktu. Ya, aku tak perduli lagi, bergegas aku berangkat menyusul Armanku ke Yogyakarta, kota tempat dimana Arman tinggal, jangan sampai aku kemalaman. Aku khawatir juga di perjalanan karena pertama kalinya aku menuju kesana sendirian tanpa ada yang menemani. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, kalau tidak sekarang kapan lagi?, takkan ada kesempatan lagi bagiku ini.
"Kenapa kamu senekat ini? Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu? Inez, aku senang kamu kesini tapi aku mengkhawatirkanmu," nasehatnya seraya mengusap pipiku.
"Hei ada apa ini tengah malam Ibu mendengar suara tangis, siapa ini yang datang? Inez ... anakku?" Ibunda Arman datang mendekat kearahku
"Ibuuuuuu ...." Aku mengalihkan pelukanku kepada Ibunda Arman dan menangis sejadi-jadinya.
"Benar sayang, kita tidak bisa melawan restu. Akan menimbulkan malapetaka kedepannya. Yakinlah, kita bermunajat meminta petunjukNYA," terang Ibunda sambil mengecup keningku dan mengelus rambutku. Ya, dimana-mana Ibu penuh kehangatan sama seperti Ibuku. Aku sayang calon mertuaku ini. Sedang yang disana seperti apa mertua yang bakal jadi calonku itu?" Aku tak tahu.
"Inez, Ayahmu akan sangat marah bila tahu semua ini." Aku hanya menggeleng kepala, dan Ibu memberi saran kepadaku agar aku beristirahat dulu disini. Ada Icha dan Echa yang menemaniku, esok hari aku diminta untuk pulang ke rumah. Ya aku pergi tanpa pamit kepada orang tuaku, untuk apa? Mereka tak mau mengerti dan pasti tak akan pernah mengerti, toh juga gak akan mungkin diizinkan bila aku pamit ke rumah Arman.
[Ibu ... Inez disini, dirumah Arman, baru saja sampai tapi jangan khawatir dia baik-baik saja dengan kedua adik Arman bu]
Rupanya Arman mengirim pesan Whatsupp ke ibuku tanpa sepengetahuanku agar tidak khawatir, karena aku sedang bercerita dengan adik-adik Arman di kamar lainnya.
"Tiiiiitt ... Tilililittt ... Tiiit tiiii"
Bunyi telfon masuk di Handphone Arman setelah sekian detik pesan Arman terkirim di ponsel Ibuku.
"Assalamu'alaikum ... Nak Arman, tolong pulangkan Inez, Nak. Jangan sampai terjadi sesuatu dengannya. Ibu percaya pada kamu, Nak. Ibu sungguh bingung harus bilang apa kepada Ayah, teman-teman yang dihubungi juga tidak tahu Inez kemana, ternyata kerumah Nak Arman? Tolong pulangkan dia. Nak, jangan biarkan dia berlama-lama disana Ibu mohon." Dari microfon kecil selular pintar dalam genggaman Arman, terdengar suara wanita paruh baya yang berat dalam pengucapan, iaitu Ibuku,
"Percayalah pada Arman bu, maka dari itu Arman langsung memberi kabar Ibu agar tidak cemas, Ibu dan Ayah jangan khawatir esok habis shubuh akan saya antarkan Inez pulang bu," sambung Arman dari situ.
"Sungguh ya, Nak? Ibu percaya Nak Arman lelaki yang baik jadi ibu sekarang sudah tidak was-was lagi akan putri Ibu, maafkan banyak merepotkan Nak Arman," kata terakhir sebelum berpamitan menutup handphone masing-masing.
*****
Shubuh telah datang setelah semua insan beristirahat malam. Semakin dekat saja aku dengan waktu kepulanganku. Sebenarnya aku tak mau. Ku terbangun dan membuka mataku. Kami semua bergegas menunaikan sholat shubuh berjamaah dengan Arman yang menjadi Imamnya, karena semua penghuni rumah adalah perempuan. Ayah Arman masih bekerja diluar kota. Ayahnya selalu tugas luar kota dan jarang menghabiskan waktu bersama keluarga, namun sebulan sekali beliau akan pulang.
Seusai sholat shubuh, semua anggota keluarga menjalankan alur tugasnya masing-masing. Ibu dan Icha menuju ke pasar untuk berbelanja, sedangkan Echa beberes di dapur, cuci piring dan cuci baju. Arman di kamarnya, sedangkan aku di kamar adik Arman karena semalam memang aku tidur disitu.
Aku lucuti semua pakaianku tanpa tersisa sekarang. Kuraih selimut lalu kupakai untuk membungkus tubuhku, tak menunggu waktu lama aku segera mengendap-endap menyelinap ke kamar Arman. Dia tak menyadari kedatanganku. Dia berdiri membelakangiku sedang melipat dan merapikan kamar tidurnya. Kudapati punggungnya yang lebar dihadapanku, membuat aku ingin memeluknya di suasana yang dingin ini, dengan sangat pelan aku angkat jemariku menutup mata Arman dengan kedua tanganku dari belakangnya. Aku dempetkan tubuhku yang masih terbalut selimut ke tubuhnya, Arman merasakan kehadiranku. Karena itu dia segera meraih tanganku, membukanya dan menoleh ke arahku.
Sekarang kita saling berhadapan, saling bertatap mata. Aku jatuhkan kain pembungkus tubuhku itu, sehingga tampaklah oleh matanya, tubuhku polos yang tanpa selembar kainpun yang menempel. Kumajukan kaki satu langkah mendekatinya. Aku berbisik mendesis ditelinganya,
"Hamili aku Arman, maka restu pasti kita dapatkan."