Ah Kenapa mulai lagi, berkaca-kaca deh bola mata ini, sampai segitunya dia tidak mau jauh dari aku meskipun andai aku telah jadi milik orang lain. Begitu besarkah cintanya kepadaku? Hal ini makin membuatku berat melepasnya, mungkin dia lelaki yang akan kuat menyaksikan pemandangan itu setiap saat, setiap waktu, tapi aku?! Apakah aku akan kuat melihat dia yang pada akhirnya akan menjadi bukan siapa-siapaku?
"Biarlah Inez, kita ikuti alurnya kisah ini, karena kita hanya perwayangan yang segala sesuatu tergantung Sang Dalang Semesta Alam, yang terpenting kita berusaha agar jangan sampai menggadaikan Iman, menanggalkan Iman kita hanya demi sesuatu yang bersifat fana, yang belum tentu seindah bayangan kita, yakinlah yang terbaik itulah yang akan terjadi," sahut Arman sesekali sambil menghela nafas panjang,
Aku tahu kamu berusaha menguatkan diri dan hatimu untukku, meskipun sebenarnya beban berat menggantung pada pundak dan lehermu seakan sesak nafasmu itu, alunan musik yang digaungkan di dalam bus oleh Mas Kenek itu tanpa aku sadari adalah selaras dengan suasana hati kami yang sendu, Muse "Unintended" adalah sebuah lagu yang benar-benar membuat trenyuh hati dan menggetarkan jantung siapa saja para penghuni bingkai kasih yang telah patah hati seperti kami.
Perlahan aku tarik lengan Arman. Aku sandingkan dengan pipiku lalu aku sandarkan kepalaku dibahunya sambil diiringi lagu itu sepanjang perjalanan ini. Semakin menambah gundahnya perasaanku dan dia. Arman, betapa banyak kisah kita yang kita ukir ini harus kita relakan seperti isi lagu ini, kisah yang lewat begitu saja. Akhirnya kupejamkan mataku sembari dia mengelus-elus rambutku.
Dia juga menyandarkan kepalanya pada kepalaku, seakan sinyal untuk sama-sama meresapi alunan musik itu.
Saat aku sudah memejamkan mataku, aku pun merasakan sentuhan pada bibirku, terasa hangat dan lembut, ah Arman menciumku dan aku memberikan senyuman, lalu kuraih leher belakangnya dengan tanganku. Aku balas memcium bibirnya dengan balasan yang lebih lama dan lebih dalam, sambil memainkan bibir dan menggigitnya. Tangan ini pun tak mau kalah dan tak kuasa meminta turut serta, meraba-raba dada bidangnya aku selipkan disela-sela kancing kemejanya, begitu juga dia membalas meraba-raba dan meremas dada ini.
"Semenjak kamu menggodaku tadi pagi, aku semakin susah menahan gejolakku kepadamu, Nez," bisiknya padaku, makin bergelora jiwa kami berdua. Kami tutupi aktivitas kami dengan jaket lebarnya agar tidak ada yang melihatnya. Kami tahu ini sebuah dosa, namun entah sejak kejadian tadi pagi, hasrat ini terasa lebih cepat menggebu dan tak mampu menahannya. Aku kira hanya diriku yang merasakan gejolak ini, ternyata Arman juga seperti aku.
Laju bus kota ini terasa sedang-sedang saja, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, sehingga aku merasa ingin lebih berlama-lama dengannya. Mungkin ini perjalanan terakhir kita yang bisa kita lalui berdua saat ini, karena esok dan kelak tak akan mungkin lagi suasana begini terulang.
Aku akan bersanding dengan lelaki lain, begitu juga mungkin kamu, akan ada wanita beruntung yang mendampingimu. Keeratan kami ini biarlah menjadi kenangan dimasa yang akan datang, meskipun ditempat umum ini aku tak pedulikan lagi tatapan mereka-mereka yang ada, biarkan kami merasakan kedekatan ini selagi masih bisa, selagi ikatan itu belum membelengguku, aku tak mau melewatkan kesempatan yang ada.
Ada seorang Ibu-ibu dengan seorang gadis baru menaiki bus, namun karena sudah penuh mereka berdua berdiri "Pak, saya bareng sampai pasar saja ya?" ucapnya sambil membawa belanjaan yang cukup banyak "Tenang saja Budhe, pasti Nita sering main kesini. Budhe ajakin aku keliling lagi lho ya, kita belanja-belanja lagi," obrolan yang sempat aku dengar, karena emang keras banget nadanya itu.
"Nez, kasian Ibu itu, aku kasih kursiku ya?" Arman bertanya kepadaku, namun dia tak menunggu jawaban dari aku, tiba-tiba dia berdiri saja, padahal aku sebenarnya tak menyetujui idenya,
"Bu, mari duduk disini, biar saya yang berdiri bu," ucap Arman kepada Ibu itu, kenapa harus dia? banyak penumpang yang lain tak sebaik
Arman, aku tak mau dia berdiri disana.
dengan senang hati Ibu tersebut langsung mendatangi kursi Arman dan bertukar posisi. Si Ibu dengan barang belanjaannya sudah duduk di sampingku. Penuh sesak kursiku dengan bawaanya, dan Arman berdiri sambil pegangan besi memanjang yang terpasang diatas, berjejer dengan gadis muda itu, mungkin keponakan si Ibu__huh! Gadis muda lagi yang hadir di dekat Arman. Gadis yang rambutnya di cat warna pirang, tinggi sampai dengan penampilan yang kekinian. Dia sesekali menatap Arman, tak lama ku dengar dia mengajak Arman berbicara, entah bicara apa karena nada suaranya sekarang melembut. Heemmm tadi saja bicara sama Budhenya keras banget, kalau bicara sama cowok dilembut-lembutin. Arman pun membalas mungkin karena menghargai lawan bicaranya, nih ada pacarnya Neng disini, lagi-lagi aku terbakar cemburu. Kuharap Arman menceritakan kalau dia perjalanan bersama pacarnya agar illfeel tuh gadis pirang.
****
Kenapa tubuh ini ada yang seperti menggoyang-goyangkan, terdengar pelan orang memanggil namaku berulang-ulang
"Bangun Mbak, Mbak masih sadar, kan? Tidak apa-apa, kan? Bus ini tergelincir mbak kita harus keluar semua, beruntung masih selamat tapi beberapa penumpang ada yang luka ada juga yang tidak apa-apa." Aku dengar dengan jelas suara itu.
Sontak aku terkaget-kaget mendengar itu, betapa tidak? Terakhir yang aku ingat, setelah Ibu dan gadis pirang tadi turun, Arman langsung duduk disampingku lagi dan kami sedang saling bersandar menikmati alunan musik yang ada, terus dimana Arman? Aku menolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri tak aku temui sosok yang aku cari. Aku tengok pada jendela bus, tampak orang-orang sudah ramai riuh diluar saling berkesah. Mereka para penumpang dan warga sekitar, Arman dimana? Tak mungkin dia meninggalkan aku tertidur sendiri di tempat dan suasana asing ini.
"Mas, tau pria yang tadi duduk disampingku? Simana dia ya mas?" tanyaku panik tak menentu,
"Ooh ... mungkin dirawat warga Mbak, atau dilarikan ke Puskesmas terdekat, karena ada yang luka-luka ringan dan ada juga yang perlu tindakan lain," ucap Mas-mas yang berhadapan dengan aku, rupanya dia adalah Mas Kenek.
Terluka?!
Bagaimana aku bisa enak-enakan ketiduran sedangkan Arman? Apa yang terjadi aku tak tahu, pasangan macam apa aku ini? Apa benar aku tidak pantas untuknya sehingga takdir harus memisahkan kita.
"Mas, dimana aku bisa mencari dia, aku ingin ke rumah warga itu atau ke Puskesmas yang Mas maksud," pintaku ketakutan.
"Mbak bisa menyusuri rumah-rumah yang ramai sekitar sini Mbak, kalau tidak ada ya ke Puskesmas, tapi agak jauh dari sini. Tadi dibantu warga untuk mengantar orang-orang yang luka kesana naik motor Mbak," terangnya kepadaku.
Langkah terhuyung lemas aku berjalan hendak menuruni tangga bus dan keluar menuju keramaian, aku mencoba menyisir rumah sekitar, satu persatu aku menanyakan tentang adakah sosok lelakiku disana?!
Aku menangis tanpa rasa malu sambil memanggil-manggil nama Arman, menanyakan kepada mereka semua.