Chereads / HANYA AKU UNTUK DIA / Chapter 9 - 9 Tragedi

Chapter 9 - 9 Tragedi

Ooh ... Tidak, apa yang terjadi dengan

Arman?! Tangisku mulai bercucuran. Apakah dia perlukan perawatan yang lebih dari luka ringan biasa?! Bodohnya aku tak merasakan atau menyadari terjadinya tragedi bus tergelincir tadi?

Terhuyung-huyung sambil berlari-lari kecil menyusuri jalanan asing kucoba mencari sosok yang kucintai, dimana lokasi Puskesmas yang katanya terdekat itu? Sesekali aku menyeka butiran-butiran kecil yang keluar dari kedua sudut mataku ini, mengharap segera menemukannya dalam keadaan baik-baik saja.

Biarlah pandangan orang-orang mengira apa, melihat seorang gadis yang berjalan sendirian menggenggam gundah dan berderai air mata berjalan seakan tak tentu arah, ada yang menatap iba. Ada yang biasa dan ada yang tidak perdulikannya, biarlah biar saja aku tak kenal mereka.

"Mbak, menangis kenapa? Mau kemana? Ayo saya antar mbak." Seorang pria menghentikan motornya sambil menyapaku.

"Terima kasih mas, ndak usah, saya sudah dekat kok, memang saya bolak balik menyusuri jalan sekian jarak saja karena mencari dompet yang jatuh. Saya menangis karena isinya yang berharga," sahutku.

Mana mungkin aku terima ajakannya, orang itu asing tak kukenal, sedikit berbohong tak jadi masalah bukan? Lagipula untuk apa aku ceritakan yang sebenarnya? Toh dia siapa? Aku menghindari hal-hal yang tak kuinginkan saja agar tidak terjadi.

"Ooh ya udah mbak, mudah-mudahan ketemu ya? Tapi kalau dijalanan gini biasanya sih cepet raibnya mbak, permisi ya mbak," lanjut dia sambil mulai memacu motornya, berlalu pergi.

Aku memberikan anggukan saja lalu kulanjutkan pencarianku. Aku harus lebih cepat lagi karena aku khawatir saat perjalananku kesana, yang aku takutkan Arman sudah diantar ke lokasi bus oleh warga, kan enggak lucu kalau sampai bersimpangan tanpa aku tahu, tapi sudah aku pastikan setiap orang yang lewat aku perhatikan sudah agar jangan sampai terlewatkan sosok dia.

Dari kejauhan jarak pandang mata aku temui suatu tempat yang sejak tadi memang aku cari, tempat yang bertuliskan Puskesmas. Betapa girang hati ini menemukan apa yang aku cari, bergegas aku masuk. Aku tanyakan pada petugas medis yang duduk-duduk di ruang depan.

"Bu, apa tadi ada korban Bus yang dibawah kesini bernama Arman bu?" tanyaku kepada petugas itu.

"Arman Wijaya Putra?" ucap petugas itu, lalu

aku mengangguk bersemangat.

"Mbaknya ini siapanya Arman?" Petugas itu melanjutkan melayangkan pertanyaan lagi, "Saya ... pacarnya, Bu. Kami mau ke Surabaya. Kami kerja disana," jawabku lugas dan tegas.

"Langsung masuk UGD ya mbk." Setelah mengucapkan terima kasih, segeralah aku setengah berlari mencari UGD yang dimaksud. Kenapa UGD? Apakah Arman terluka parah? Bagaimana bisa aku tak menyadari? Oacar macam apa aku ini? Setelah langkah kejar mengejar telah terhenti, aku tolehkan kepala mencari sosok pasien yang wajahnya aku cari. Aku mengucap salam dan masuk ke UGD sambil menyampaikan ingin bertemu pasien bernama Arman.

Tepatlah Arman sedang berbaring memejamkan mata. Kepala yang dibalut dengan perban seakan membuktikan kepalanya tidak sedang baik-baik saja.

Aku bergegas mendekati dirinya. Aku spontan menutup mulutku dengan satu tangan, menggeleng kepala dan masih menangis air melihatnya seperti ini,

"Arman ...." panggilku mengelus tangannya sampai bahunya.

"Arman ... tolong dengar aku. Apakah kamu baik-baik saja?" Sekarang ganti tanganku mengelus pipinya.

"Arman, kau bisa mendengarku." Sekarang lebih kudekatkan bibirku pada telinganya.

Kulihat tampak sudah ada respon dari dirinya, berketap-ketip mencoba membuka mata, dengan pandangan mata yang masih menyipit, mungkin karena luka di kepalanya. Mata itu berhasil menemukan sosokku yang tengah berdiri disampingnya.

Spontanitas aku menekuk lututku, kudekatkan lebih rendah wajahku agar tidak ada jarak dengan wajahnya.

"Apa yang terjadi? Maafkan aku ya, aku tak merasakan apa-apa? Tahu-tahu semua sudah terjadi seperti ini?" ucapku dipenuhi kecemasan. Dia berusaha menggerakkan tangannya, lalu didaratkanlah pada pipiku. Aku memejamkan mata karena pipiku disentuhnya, lalu kusambut lembut tangannya yang di pipiku itu dengan tanganku juga.

Dia mengkode aku seakan hendak mengatakan sesuatu, aku tundukkan kepalaku mendekatkan wajah kepadanya.

"Ya, tadi tiba-tiba saja dengan cepat aku terlempar, aku sendiri tidak tahu ada apa? Kepalaku terbentur besi pegangan tangan tempat duduk sebelah kita. Semua berteriak dan berhamburan Nez. Aku ingin meraihmu. Khawatir akan keadaanmu. Apakah kamu baik saja? Tapi kepala ini pusing sekali dan pandangan tampak gelap berkunang-kunang, tahu-tahu sudah digandeng orang-orang sambil bercucuran darah, jadi aku tak bisa berbuat apa-apa Nez. Lukaku akhirnya dijahit dan diobati di Puskesmas ini.

"Kisahnya kepadaku ketika kejadian tadi. Aku yang masih menangis berusaha mengelus dadanya dan benar-benar sedih atas kejadian ini. Kenapa menimpa dia? Orang yang aku kasihi. Aku pegangi dengan lembut luka yang diperban itu. Aku tahu disini ramai petugas keluar masuk, tapi rasa sayangku kepada Arman, membuat aku tak kuasa ingin mengecup bibirnya. Aku lakukan dengan cepat namun lembut agar tidak ada yang melihat. Kemudian dia tersenyum kepadaku, "Tunggulah sebentar lagi, Aku akan bangun. Inez bisa tanyakan kepada pak Dokter itu tentang resep obatku? dan kita ambil ke Apotek berdua," ucapnya.

Aku tersenyum lega. Dia masih selamat dan

kondisinya sudah membaik. Aku mengangguk dan bergegas untuk segera melakukan apa yang diminta Arman, segera aku ambil resep obat, lalu aku perlahan membantu membangunkan Arman dan kami pergi ke ruang Apotek untuk menebus obat yang telah diberikan.

"Inez? Siapa yang mengantarmu?" tanyanya heran.

"Aku sendiri saja jalan. Aku panik tahu-tahu kamu sudah tidak ada disampingku tadi, saat aku dibangunkan mas Kenek Bus. Aku sangat bodoh, bisa-bisanya tertidur disituasi genting begini dan tak tahu kalau kamu terluka seperti ini." Aku langsung memeluknya dan kuhela nafas lega karena kondisinya yang masih tidak apa-apa. Kekhawatiranku sirna sudah karena melihat senyuman telah terukir di wajahnya.

"Jangan khawatir. Alhamdulillah aku baik-baik saja. Nez, bisa kita ambil hikmahnya, kejadian ini adalah teguran kecil untuk kita." tambahnya menebak-nebak.

"Teguran apa?!" sahutku yang memang tak mengerti.

"Perjalanan kita ... Kejadian ini ... Karena kamu pergi tanpa izin dan tanpa keridhoan orang tuamu kan? Ayo coba renungkan jika tanpa ridho orang tua, apalagi ibu yang mencemaskanmu," nasehatnya padaku.

"Terus, tahu enggak? Meskipun ada kejadian begini, kita harus tetap bersyukur" lanjutnya sambil menatapku serius, sedangkan aku menatap bingung sambil mengernyitkan kening. Bersyukur bagaimana?! Kejadian mendebarkan jantung begini?"

"Iya, Nez meskipun bus tergelincir, tapi kita masih bisa bertemu, kamu tidak apa-apa, aku juga hanya luka begini. Sekarang coba bayangkan, siapa yg bisa jamin kalau bus tadi mengalami lebih dari itu? Mungkin saja kita tidak bisa bertemu lagi, ya kan? Bisa jadi salah satu dari kita pergi?.

Meskipun kita harus dipisahkan oleh keadaan untuk saat ini wajib kita tetap bersyukur karena kita berpisah dalam ikatan saja. Ikatan antara aku dan kamu saja, masih bisa melihat dan bertemu orang yang kita cintai, itu menjadi sebuah kebahagiaan meskipun tak bisa memiliki, daripada dipisahkan oleh kematian kita takkan bisa lagi bertemu. Begitu juga buatmu, jangan pernah salahkan takdir. Apalagi ikatan kita ini kecil dibanding dengan ikatan anak dan orang tua. Orang tua kita adalah ikatan dari Tuhan Yang Maha Esa untuk kita," betapa dewasanya Arman menceramahi aku.