Memang iya kalau direnungkan. Aku tahu semua terjadi karena kesalahanku yang senekat ini. Arman pun seperti itu karena godaanku. Selama ini dia tak pernah begitu.
"Iya, Yang, aku akan berusaha untuk tidak melakukan hal nekat lagi, tapi juga tidak semudah itu," sahutku dengan menutup wajahku memakai kedua tanganku.
Arman menangkupkan tangannya ke daguku,
"Tidak Nez, kita ... bukan cuma kamu. Kita akan lalui bersama-sama. Aku senang kamu mau mendengarkan aku. Semua demi kamu, demi kebaikanmu Nez juga aku," lanjutnya.
Aku mengangguk sebagai tanda bahwa aku mengerti dan mencerna baik-baik ucapannya, tangan ini diraihnya dengan lembut.
"Ayo kita kembali kesana, kita sudah selesai," ajak Arman setelah dia sudah mendapatkan obat untuk kesembuhan lukanya itu.
Rupanya bus juga sudah siap meluncur lagi ke tujuan awalnya. Perbaikan-perbaikan kecil sudah mereka lakukan. Meskipun jam menjelang sore baru akan melanjutkan perjalanan, jadi sampai rumah pastilah kemalaman. Penumpang sudah mulai menaiki dan memasuki bus itu lagi. Kami yang berjalan perlahan dari puskesmas pun telah sampai pada pemandangan ini, jadi tanpa menanti waktu lama kami berdua turut serta menaikinya lagi untuk melanjutkan perjalanan ini.
***
Sementara kabar yang aku dapat dari Liza, Liza hendak berkunjung ke rumahku dan ingin tahu apa yang terjadi di rumahku saat aku tidak di rumah. Akhirnya dengan memvideokan keadaan di teras rumah dan bersembunyi di sebelah dinding teras rumahku, Liza mencoba mengambil video orang tuaku agar aku tahu hal gonjang-ganjing apa yang terjadi? Tumben saja Liza memakai motornya yang sengaja ia parkir di jalan gang depan awal masuk itu, ya ada sih halaman rumah tetangga yang memang luas parkirnya. Lalu Liza berjalan juga sembunyi-sembunyi agar tidak dilihat orang tuaku.
"Kemana anak itu dari kemarin aku tidak nampak dia dirumah ini, Bu?" sarkas Ayah pada Ibuku dengan nada heran dan seakan siap marah membuncah. Seuntai alunan kicauan burung menemani setiap pagi di alam bebas lepas tak menjadikan suasana rumahku jadi asri. Kemilau embun kian berjatuhan karena semalam semesta diguyur hujan tak memendarkan amarah seorang Ayah pada putrinya yang dia kira menghilang tak tahu entah dimana, kemeja coklat dengan setelan celana kain berwarna hitam itu menambah keseraman nada geram pria yang bergelar Ayahku.
"Ibu sudah bilang, Yah. Dia inap dirumah Liza, jadi ya sekalian berangkat kerja. Aku sudah nelfon Liza semalam, Yah. Inez butuh waktu sendiri dan biasalah curhat-curhat anak muda." Cerita Ibu yang demi aku rela berbohong pada Ayah, betapa aku hampir tidak pernah memafhumi Ibu mengatakan hal yang bukan sebenarnya kepadaku apalagi kepada Ayah, namun kali ini, pagi ini. Ibu melakukannya, wanita penuh rona kelembutan ini sedikitpun tak pernah mempunyai rasa amarah dihadapanku atau Ayah. Benar-benar wanita penyabar dan penurut menjadikan aku sebagai wanita yang seperti sekarang ini. Pakaiannya yang biasa saja tak pernah menampilkan kemewahan atau berlebih-lebihan menambah anggun dan kesederhanaannya.
Aku sangat-sangat tahu Ibu tak pandai berbohong, tapi demi anaknya pasti apa saja dilakukan seorang Ibu, lagi satu dosa dikarenakan aku. Hummm ... Benarlah Arman kata. Kebohongannya kepada suaminya itu bukan sebuah kebaikan yang datang dan bersumber dari aku. Kelakuanku kemarin yang aku nilai kecil__ternyata salah.
"Nasehati anakmu itu Bu, jangan sampai dia punya rencana aneh-aneh. Aku tidak mau hal yang tidak-tidak sampai terjadi, Bu," ucap Ayah sambil menyeruput kopi yang sudah lama menanti untuk dinikmati oleh tuannya. Usai sarapan pagi tadi yang disajikan sang wanita paruh baya tercintanya.
"Semua itu tidak mudah Ayah. Anak kita pasti menuruti kita. Dia anak yang baik kok, tapi dia butuh support dan perhatian dari teman-temannya juga untuk menguatkan dirinya saat ini, Yah. Sementara waktu saja, jangan terburu-buru dan gegabah dulu Ayah. Pelan-pelan dia pasti bisa menerima semuanya. Tudak mudah membalikkan hati. Ayah kayak ndak pernah muda saja sih." Ibu menggoda sambil melayangkan cubitan ke pinggang suaminya itu dan mencairkan suasana agar Ayah lupa dengan geramnya serta ibu tak mau lebih detail dicercanya lagi. Seketika dengan spontan si Ayah menggeliat karena terkaget, sambil mengingat-ngingat bahwa dirinya juga pernah muda, Pernah jatuh cinta. Dan pernah mengejar cinta.
"Ya, atur saja Bu, dia anak perempuanmu, jadi Ibu pasti lebih tau? Nanti aku ingin bicara padanya tentang pertemuan keluarga dengan calon, Bu," lanjut Ayah sontak mengagetkan lawan bicara yang sedari tadi disampingnya.
"Jangan dulu, terkesan memaksa Ayah. Dia sudah berpisah dari Arman, sudah cukup berat, step by step Ayah. Kenapa secepat ini akan mempertemukan mereka?" tanya Ibu spontan bangkit dari duduknya dan mendempetkan diri sambil mengelus-elus bahu Ayah, entah mungkin bertujuan untuk merayunya.
"Lho! Ibu ini gimana toh, Bu? Kalau berlama-lama ya tidak bisa lah, lha wong sudah ada yang siap melamar anak kita. Inez harus segera move on Bu, ya rayulah dia Bu. Ayah akan mengundang calon besan kerumah," terang Ayah sambil menggerak-gerakkan kedua tanganya layaknya pak dosen yang memberi penjelasan mahasiswanya. Ibu tampak menghela nafas panjang karena tidak lagi tahu apa yang harus dikatakan, karena si Ayah ini sudah bulat dalam mengatur rancangan dan polanya.
"Sudah jam segini, Ayah berangkat kerja dulu saja, kalau Inez pulang duluan, aku kabari Ayah agar tenang," ucap Ibuku untuk mengingatkan waktu. Disusul pemandangan rutin setiap hari yaitu kecupan hangat yang dilayangkan ke tangan Ayah, berbalas kecupan kening untuk Ibu yang menjadi hal lumrah.
Ibu yang sejak semalam kurang tidur karena memikirkan aku itu tetap berpikiran baik terhadap kami. Beliau benar-benar yakin kepada janji Arman. Terlebih Ibu sangat mengenal Arman__calon mantu yang sebenarnya sangat disayangi Ibuku (tapi digagalkan oleh Ayahku).
Mungkin skitar jam lima sore bisa lebih akan sampai sana. kurang lebih sepuluh jam perjalanan kami jika normal, namun karena tadi sempat tersendat oleh tragedi bus tergelincir, waktu yang dibutuhkan jelas lebih panjang.
Tak lupa Arman selalu berbalas chat dengan Ibuku selalu, tanpa Ayahku tahu. Arman tak ceritakan tentang kejadian tadi, hanya memberi alasan bus sempat macet, tak lupa pula Arman memberi kabar kepada Liza untuk memintakan aku izin tidak masuk kerja hari ini, semua Arman yang atur, entah aku tak ada pemikiran kesana sama sekali. Aku masih diliputi kekalutan meskipun aku sudah mulai tercerahkan sedikit demi sedikit akan keadaan ini, karena Arman banyak memberi inputan untukku.
Aku tidak tahu apa niat Ayahku terburu-buru unuk menikahkan aku, padahal anak perempuanya ini masih membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka hatinya. Lelaki paruh baya berusia 58 th ini merasa tak cukup muda lagi, bisa jadi karena itu beliau segera ingin menikahkan aku.
Apakah beralasan mengharapkan kehadiran cucu? Ooh tidak! Aku tak pernah membayangkan sejauh itu, membayangkan menikah dengan pria asing sudah cukup canggung buatku. Apalagi memikirkan jauh setelahnya? Aku tak sanggup, entah mengapa aku dilahirkan sebagai anak perempuan orang seorang saja? Andaikata aku memiliki saudara, kakak, adik, pasti tidak akan terjadi seperti ini, beban yang terasa menggelambir di kedua pundakku, urat-urat nadiku yang sesak untuk dialiri darah penyambung kehidupanku. Pasti bisa aku bagi dan aku sandarkan kepada saudara-saudaraku, mungkin kakakku akan membelaku, mungkin adikku akan mendukungku ... Mungkin ... Mungkin saja, hanya kata mungkin yang menjadi sesuatu yang nihil untuk terjadi saat ini.
Karena pada kenyataan yang ada. Aku hanya seorang diri. Semua harus kupikul sendiri tanpa tahu apa yang harus aku pilih karena tak disuguhkan kepadaku pilihan, yang ada hanya keputusan yang harus-harus aku lakukan berdasar perintah sang kepala rumah tangga yang puluhan tahun di nakhodahinya.
Arman tak mungkin lagi melangkah kedepan ke arahku, yang ada hanya melangkah selangkah kian selangkah untuk mundur menjauhiku. Semua tidak akan ada yang bisa mengubahnya.
kecuali pria Tak ku kenal itu!.