"Wa'alaikumussalam iya, Bu. Ini sebentar lagi akan berangkat, nanti saya akan kasih kabar terus ke Ibu. Doakan semua lancar Bu, tapi maafkan Arman, tidak bisa antar kerumah, karena sudah janji tidak kerumah itu lagi, akan saya antar sampai depan saja Bu." Seorang Ibu yang mengemban kegalauan hati, ketika menemui tak kunjung hadir putri tersayangnya dari kemarin, apalagi Ayahnya pasti akan mempertanyakan tentang keberadaannya dimana, meskipun Ibu tahu aku dimana, takkan mungkin Ibu cerita apa adanya kepada Ayah.
"Maafkan kami Nak Arman, pasti akan hadir yang terbaik untukmu, Nak Arman pria yang baik dan bertanggung jawab, Ibu akan bilang Ayah bahwa inez inap dirumah Liza ya kalau begitu. besok tolong kabari ibu ya nak, terima kasih sekali lagi," pungkas ibu mengakhiri perbincangan jarak jauh itu.
Aku tak mau membuat Ibu cemas tapi karena keadaan sehingga aku tak ada pilihan lain lagi, Ibu, bab apa yang harus aku alami setelah ini? Aku diliputi kegundahan hati kian hari kian mengeri.
Betapa besar kekhawatiran Ibu, sehingga yang dihubungi adalah Arman, bukan aku, padahal akulah anaknya. Benarlah tugas Arman berat untuk menjagaku karena itu tadi pagi dia tidak mau melakukannya denganku.
Aku perlahan bangkit dari dudukku, setelah merapikan, pula aku bergegas menuju ruang tamu untuk membereskan barang-barangku.
"Kak Inez, doa kami selalu menyertaimu dan kak Arman, kami selalu sayang Kak Inez," ucap Icha dan Echa berbarengan, sikembar nan ayu yang masih imut ini adalah penyemangat yang luar biasa bagiku saat ini. Aku mengangguk perlahan lalu kupeluk mereka berdua dengan sisa kehangatan yang aku punya.
"Inez, Ibu bawakan sesuatu, tapi ya sekedarnya ya? Tolong diterima ya Nez? Sampaikan salamku pada Ibumu ya, kapan saja Nak Inez maen kesini, rumah ini selalu terbuka untukmu, Nak," pesan Ibunda Arman untuk Ibuku, calon besan yang terhalangkan.
Aku mengangguk pelan sembari melayangkan dekapan tereratku untuk beliau. Kami berpelukan seakan-akan tak akan bertemu lagi, ya bisa jadi hari ini adalah terakhir kali aku bertemu ibunda sebab tidak akan bisa lagi aku datang kesini setelah hari ini.
Ah ... Lagi lagi air mata ini tumpah ruah tak terelakkan lagi.
"Ibu, Arman dan Inez pamit dulu ya? Arman akan langsung bekerja besok bu, bulan depan insyaaAlloh Arman pulang lagi." Sembari mendekap Ibundanya dan keduanya pun sama-sama menangis haru, benar kata orang. Lelaki yang menyayangi Ibunya, pasti akan menyayangi dan menghargai kekasihnya juga, seperti Arman yang selalu berusaha menjaga harga diriku.
Echa Icha jaga Ibu baik-baik ya?" pernyataan Arman ini disusul dengan cium tangan dan cium pipi kanan dan kiri kedua adiknya serta Ibundanya.
Langkah demi langkah terasa menampung beban berat ini tak urung tetap harus dijalankan sesuai alurnya, karena harus sudah menjadi tekadnya untuk memulangkan aku dan memastikan keselamatanku sampai di kota kelahiranku.
Taxi jadul yang memang sehari-hari mengitari kota Jogja menghentikan deru mesin mobilnya ketika melihat lambaian Arman, pertanda bahwa dirinyalah sang pemesan, mata ini tak kedip sedikitpun menatap gerak dan gelagat pria disampingku itu, aku tak mau kehilangan tatapanku terhadap dia selagi masih ada kesempatan apalagi kehilangan dia, aku takkan mau membayangkan meskipun itu akan terjadi jua.
"Ayo, masuk Nez, jadwal keberangkatan kita tidak boleh telat, karena bus akan berangkat pagi ini juga," ajakan Arman membuyarkan lamunanku, tangan mungil ini disabetnya untuk segera menaiki Taxi.
Tampak dari kejauhan lambaian tangan ketiga orang terkasih Arman juga terkasihku, bagaimana tidak? Lima tahun mereka juga menjadi bagian dari hidupku. Lambaian ini apakah benar-benar untuk terakhir kali dari mereka bagiku? Untuk diriku yang akan segera dijodohkan dengan pria lain yang tak aku tahu.
Apa bisa aku menemui cerita sehangat ini lagi disini? Antara mungkin atau tak mungkin hanya bisa aku perdebatkan dalam hati, sebab daya dan upaya sudah tidak lagi mempertuan Arman untuk mempertahankan rajutan cinta kami, sepanjang jalan air mataku mengiringi, hanya Arman yang terpampang ketegaran.
"Inez, percayalah perjuanganku yang terbesar untukmu saat ini adalah perjuanganku dalam doa, yakinlah semua bisa kita lewati bersama," tutur kata yang ia suguhkan ke haribaanku menjadi amunisi yang menguatkan urat nadiku untuk terus mengalirkan semangat kehidupan. Terima kasih Arman kedewasaanmu ini banyak menjadi bekal untukku.
Kejar-mengejar Bus tujuan masing-masing menjadi pemandangan yang lumrah di dalam terminal keberangkatan. Banyak orang yang menghampiri silih berganti, menawarkan dan menanyakan tujuan kami untuk diantarkan kepada bus tujuan kami.
"Tidak, Pak terima kasih. Kami sudah pesan tiket dan sudah menghubungi pihak bus ini," kata Arman sambil tetap menggandeng aku yang menjinjing tas, sedang Arman menenteng tas ransel dan tas jinjing.
Naiklah kami berdua ke bus yang sedari tadi kami cari akhirnya kami temui. Menyusuri penumpang yang ternyata penuh sesak, adakah kursi untuk kita bisa berjajar berdua, kalau penuh begini jangan-jangan hanya ada kursi kosong yang terpisah, tidak! Aku mau duduk bersama Arman, ini kan perjalanan jauh.
"Nez, sini Nez, duduk disana," pinta arman kepadaku untuk duduk masuk tepat disamping jendela bus, lalu disusul dirinya yang duduk disampingku.
Dia masih mengangkat dan meletakkan barang-barang kami ke bagasi atas yang sudah disediakan diatas tempat duduk kami, sedetikpun aku tak melewatkan tatapanku terhadapnya akan gerak geriknya. Apalah daya pria yang penuh tanggung jawab ini bukan untukku. Pria baik ini akan berpisah dariku, setelah selesai dia bergegas duduk disampingku.
Tak lama disusul deru suara mesin pertanda akan segera berangkat bus antar provinsi ini.
Mas kenek pun memberi tanda bahwa penumpang telah penuh, Arman tak menatap atau melirikku sedikitpun, padahal aku berulang kali mencuri pandang terhadapnya, dinginnya Ac yang terpasang benar-benar membuat kulit ariku merinding dan segera aku pasang jaketku.
"Arman, jika memang aku harus dinikahkan dengan orang lain, apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku memecah kesunyian diantara kami.
"Jika itu sudah menjadi takdirmu, dengan berat hati aku harus terima Nez, harus bagaimana lagi? Mana bisa aku melawan takdir atau melakukan hal yang terlarang?" jelasnya, ya Arman adalah pria yang cukup tekun beribadah dan berusaha menjalankan sesuai Agama, meskipun belum bisa sempurna.
"Apa kamu akan tetap bekerja disitu atau kamu akan mencari kerja lain agar tidak bertemu dengan aku?" lanjutku sambil meraih tangannya.
"Aku akan tetap bekerja disitu, justru aku tidak ingin jauh darimu, meskipun akan terhalang batasan-batasan aku akan tetap ingin bisa dekat dan melihatmu selalu. Senyum dan keadaanmu dengannya bagaimana? Aku akan selalu memantau dirimu Nez, aku tak bisa jauh darimu," tambah Arman menyahut pertanyaanku.