Luhut ternyata bukan hanya meminta Uli dan pria yang disangka Monang untuk hadir tapi, juga kedua orang tua mereka.
Jika semalam mereka berada di ruangan ini karena merayakan hasil tangkapan Ikan Emas keberuntungan suami istri maka hari ini ada satu hal yang ingin dikatakan Luhut.
Mereka sudah duduk rapih. Bapak dengan sarung belalai gajah berdiri yang hampir tidak pernah lepas kecuali saat mandi, duduk disebelah Mamak yang masih mengenakan celemek dapurnya. Lupa membuka saat putra sulungnya meminta mereka berkumpul.
Seperti ada satu hal yang penting membuat Luhut mengumpulkan mereka semua. Sesuatu yang menyangkut tentang keluarga.
Arya dan Uli duduk bersebelahan. Penampilan mereka terlihat segar karna baru selesai mandi tapi, dari raut wajahnya mereka berdua sama-sama menyimpan tanya tentang niat Luhut mengumpulkan keluarga disini.
Luhut duduk ditengah-tengah. Di sisi kirinya ada Mamak dan Bapak sementara disisi kanan ada Uli dan Arya. Sudah seperti ingin ikut lomba latihan cerdas tangkas saja.
"Ada apa kiranya kamu mengumpulkan kami disini?" tanya Bapak membuka suara setelah memandang wajah satu persatu penghuni rumahnya itu.
Pertanyaan Bapak bukan dijawab oleh Luhut tapi, pria itu malah memandang penuh arti pada sang adik ipar.
Cuaca hari ini seolah menjadi sebuah pelengkap akan sesuatu yang terjadi nantinya. Buktinya saja hujan tak mau redah meski jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi hari.
"Ada yang ingin aku katakan tentang, Monang." Luhut berkata dingin diiringi dengan suara petir yang begitu kuat menggelegar membuat kaget penduduk bumi.
Sepertinya alam pun sedang mendukung hal yang akan terjadi ini.
"Kenapa?" tanya Bapak heran. Matanya menatap putra, putri dan menantu secara bergantian. Meminta penjelasan. Dari raut wajahnya jelas terlihat bahwa pria tua itu tidak tahu apa-apa.
"Kamu," ucap Luhut menunjuk adik iparnya dengan jari telunjuknya. "Apa ada yang ingin kamu sampaikan sebelum aku memulai pembicaraan ini?" tanya Luhut serius matanya hanya tertuju pada Arya.
Arya diam mencerna kalimat demi kalimat yang di ucapkan Luhut hingga dia berfikir sesuatu. Arya memang tidak tahu apa yang ingin disampaikan Luhut tapi, yang pasti hari ini Arya akan membuka jati dirinya. Hari ketiga ini lebih baik daripada nanti orang lain yang membukanya lebih dulu.
"A–aku ... aku juga ingin menyampaikan sesuatu," kata Arya sedikit terbata-bata. Gambaran saat pertama kali bertemu Luhut menyelimuti pikirannya membuat nyalinya menciut.
"Katakan saja! Kami akan mendengar dengan baik," ucap Mamak seperti tahu arah pembicaraan ini.
"Se–sebenarnya a–aku adalah ..." Belum sepat Arya menyelesaikan ucapannya, Luhut sudah memotong.
"Aku sudah mengetahui segalanya tadi malam. Arya ... aku benar-benar minta maaf. Kami semua minta maaf." Luhut berkata dengan penuh penyesalan. Meski ada sedikit emosi terselip dihatinya.
Hari ini seperti sebuah kebetulan. Tadi Arya sudah mengatakan pada Uli untuk mengungkap jati diri yang sebenarnya sekarang Luhut datang mengumpulkan seluruh penghuni rumah untuk membicarakan hal ini.
"Ada apa sebenarnya? Siapa Arya?" tanya Bapak yang bingung dengan ucapan anak-anaknya. Sementara Mamak santai dengan raut wajahnya yang tenang lagi pula wanita itu sudah mengetahui hal ini lebih dulu.
"Pria yang menjadi menantu kita ini adalah, Arya seorang wisatawan yang berasal dari kota." Mamak menjelaskan pada suaminya setenang mungkin.
"Ba–bagaimana bisa? Ta–tapi wajahnya begitu mirip dengan Monang," kata Bapak terbata-bata semakin bingung mendengar penjelasan ini.
"Disini aku dan penduduk kampung lah yang bersalah dalam hal ini. Kemiripan antara Arya dan Monang membuat kami salah menangkap orang. Aku benar-benar minta maaf." Luhut berkata dengan penuh penyesalan. Semua ini salahnya jika dia lebih teliti maka hal ini tidak mungkin terjadi.
"Dari mana Abang tahu semua ini?" tanya Uli membuka suara. Sedari tadi wanita yang berstatus sebagai istri Arya itu memilih diam, menyimak pernyataan, menyimpan tanya dalam hati.
"Saat Arya mabuk semalam dia mengatakan bahwa dirinya adalah Arya bukan Monang. Hal itu membuat aku sadar saat pertama kali menangkapnya dia juga mengatakan hal yang sama," ucap Luhut menjelaskan kejadian semalam saat Arya mabuk.
Semalam saat pulang dari Lapo Luhut lah yang memapah Arya pulang ke rumah. Tidak terlalu mengenaskan kondisinya memang tapi, untuk seseorang yang tidak pernah minum hal ini akan menjadi sangat buruk. Sepanjang perjalanan Arya tidak berhenti berbicara. Pria itu berkali-kali mengatakan bahwa dirinya adalah Arya bukan Monang.
Luhut yang mendengar pengakuan itu keluar dari mulut Arya menjadi bingung. Kemudian dia menghubungkan kejadian demi kejadian yang terekam dalam otaknya dari pertama bertemu Arya sampai hari ini. Monang yang asli adalah seorang peminum kelas kakap. Monang yang asli tidak akan mabuk jika hanya minum tuak sebanyak lima botol.
Luhut bahkan tidak bisa memejamkan matanya sampai pagi. Berbagai macam pemikiran menyelimuti otaknya. Dia lah yang bersalah dalam hal ini. Lalu kemana Monang yang asli kabur? Mengapa pria brengsek itu menjadi pengecut setelah menodai adiknya?
Pagi tadi saat hendak bertanya akan kebenaran tiba-tiba dia dikagetkan dengan adegan suami istri yang sedang dilakukan Uli dan Arya. Hal itu tiba-tiba saja membuat Luhut teringat akan kejadian dulu yang menimbulkan bekas pada punggung Monang.
Luhut menatap Arya secara intens meneliti punggung pria itu. Mencari bekas luka bacokan jaman SMA waktu mereka tawuran dengan anak Desa sebrang demi memperebutkan seorang gadis cantik. Tubuhnya sangat berbeda dengan Monang asli. Tubuh Arya putih bersih, otot dan perut kotak terpahat rapih pada tubuh ciptaan Tuhan itu. Sungguh berbeda dengan Monang yang hitam serta perut buncitnya.
Luka bekas bacokan itu tidak ada. Ternyata pengakuan pria itu pertama kali benar. Pria itu bukan Monang tapi Arya. Jika diteliti lebih jelas lagi makan perbedaan itu terlihat semakin jelas.
"Lalu bagaimana Mamak bisa tahu semua ini?" tanya Luhut pada sang Ibunda karena Mamak lah yang menjelaskannya pada Bapak.
"Aku tahu sejak pertama kali melihatnya di altar. Suaranya saat mengucapkan janji suci pernikahan terdengar sangat berbeda dengan Monang apalagi warna kulitnya," jelas Mamak.
"Kenapa tidak memberhentikan pernikahan itu jika tahu bahwa pria ini adalah orang asing bukan Monang?" Kini giliran Bapak yang bertanya setelah memilih diam beberapa saat.
"Karena firasat ku mengatakan bahwa pria ini adalah orang baik. Dia bisa menjaga putriku. Buktinya meski benih cinta belum tumbuh, meski mereka tidak saling mengenal tapi, dewi memberikan mereka Ikan Emas keberuntungan," jelas Mamak apa adanya karena memang benar bahwa dia hanya mengikuti kata hati saja.
"Aku tahu bahwa firasat seorang Ibu sangat kuat tapi, apakah kamu tidak berfikir bahwa kita mengikat orang yang salah? Dia punya kehidupan di Kota atau mungkin dia juga punya keluarga yang sedang menunggunya disana. Kita tidak bisa mengekangnya disini," kata Bapak tegas menolak opini istrinya.
"Arya maafkan aku ... aku lah yang bersalah atas semua ini," kata Luhut penuh penyesalan.