"Apa?" Pertanyaan yang Arya lontarkan sontak membuat ketiga orang itu kaget. Untung saja jantungnya tidak terbuat dari kaca. Bisa saja saat itu juga sudah hancur berkeping-keping.
Masalah penjebakan itu memang tidak ada satu pun orang yang tahu. Semuanya terjadi seperti sudah terencana dengan baik. Pagi itu tiba-tiba saja para penduduk kampung memergoki Uli dan Monang berada dalam satu ruang tanpa sehelai benang pun.
"Kenapa kalian kaget begitu?" tanya Arya dengan polosnya.
"Apa maksudmu mengatakan kalau Uli dijebak?" tanya Luhut mengernyitkan keningnya. Semakin membuka kebenaran semakin banyak pula hal yang tidak mereka ketahui.
"Aku juga tidak tahu pastinya. Silahkan tanya saja pada Uli yang jelas-jelas mengalami hal itu," kata Arya buang badan. Memang sudah menjadi kewajiban Uli untuk menjelaskan duduk perkara ia dengan Monang yang sebenarnya. Lagi pula untuk apa Arya menjelaskan sesuatu yang ia sendiri tidak ada didalamnya.
"Jelaskan!" titah ketiga orang itu kompak menatap satu objek yang sama yaitu Uli.
Uli kaget mendengar ucapan orang tua dan abangnya. Ia menatap Arya memelas sedangkan yang ditatap hanya mengangkat bahu, memilih tidak ikut campur dengan masalah yang ada sebelum ia hadir.
Terdengar helaan nafas kasar sebelum akhirnya Uli berkata, "A–aku juga tidak tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya. Aku hanya tahu bahwa malam itu kepalaku sangat pusing lalu paginya tiba-tiba saja aku sudah berada di ruangan itu bersama Monang." Kejujuran itu terlontar dari bibirnya karena memang ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Bagaimana bisa?" tanya Bapak. Pria tua itu semakin bingung dengan situasi yang terjadi.
Jika memang Monang menjebak Uli lalu mengapa ia kabur pada hari pernikahan mereka? Kalau memang tak ingin menikah dengan Uli kenapa tidak membiarkan Uli menikah dengan Leon saja? Mengapa harus terjadi drama seperti ini?
"Bukankah dua hari sebelum pernikahan itu kamu dipingit bersama teman-temanmu," ucap Luhut mengingat-ingat hal sebelum kejadian itu terjadi.
Malam itu saat dua hari pernikahan akan dilangsungkan, Uli memang dipingit bersama keempat temannya termasuk Naina. Anehnya lagi saat Uli hilang tidak ada satu pun diantara mereka berempat yang tahu kemana calon pengantin itu hingga para warga datang dan mereka beramai-ramai memergoki Uli dengan Monang.
"Arya ..." Mamak memanggil menantunya mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibir putra sulung juga suaminya. Wanita tua itu memilih mengalihkan perkataan. Ada hal lebih penting yang harus ia tanyakan pada menantunya.
Arya menoleh. Menatap Mamak penuh tanya tanpa mengeluarkan sepatah kata dengan menggenggam cangkir teh yang baru saja akan diminumnya. "Apa, Uli masih perawan saat kamu menikmatinya pertama kali?" Pertanyaan Mamak sontak membuat seluruh manusia yang ada disitu membeku. Mata mereka membulat sempurna menatap wanita tua itu tak terkecuali dengan Arya. Mereka tidak percaya Mamak bisa menanyakan hal yang paling pribadi.
Pria dengan setelan kaus oblong itu tersedak. Ia tidak menyangka jika sang Ibu mertua menanyakan hal itu padanya. Padahal mereka baru masuk pemanasan belum buka label apalagi membobol gawang. Bagaimana ia bisa tahu bahwa gua itu sudah pernah dikunjungi atau tidak.
"Hei, Arya! Kenapa kamu diam saja?" tanya Mamak lagi yang tidak mendapat respon apapun dari menantunya. Arya malah sibuk memandang cangkir teh yang hampir masuk ke tenggorokannya.
"Ha? I–itu ... A–aku tidak tahu," kata Arya terbata-bata.
"Bagaimana bisa tidak tahu? Lalu yang kalian lakukan pagi tadi itu apa ha?!" tanya Luhut dengan suara naik satu oktaf, matanya memicing menyelidik Arya. Mencari kebenaran yang sesungguhnya karena tadi dia melihat sendiri apa yang pengantin baru itu lakukan.
"Ka–kami baru mau memulainya tapi ––"
"Tapi, Abang keburu masuk kamar tanpa permisi. Kentang jadinya," kata Uli memotong ucapan suaminya.
"Sepertinya ada yang aneh dengan semua ini," ucap Bapak yang mulai fokus pada titik permasalahan. "Arya, aku izinkan kamu membawa putriku ke Kota sampai kita menemukan Monang yang asli seperti usul istriku tadi," sambung pria tua itu.
"Tapi aku ––"
"Aku juga tidak tahu pernikahan kalian sah atau tidak? Saat mengucap janji suci kamu menyatakan dirimu sebagai Hamonangan Pemberani padahal kenyataannya kamu adalah Arya. Bawalah putriku ke Kota. Kenalkan dia sebagai adik sepupumu. Aku tidak keberatan," kata Bapak memotong ucapan Arya. Entah apa yang pria tua itu pikirkan yang jelas ia tahu apa yang terbaik untuk putri bungsunya itu.
"Arya ... sejak pertama kali melihatmu, Mamak yakin bahwa kamu adalah pria yang baik. Tolong jaga putriku. Untuk urusan di Desa ini biar kami yang mengurusnya. Pesan Mamak hanya satu. Tolong tunda kehamilan sampai masalah ini selesai. Tentang pernikahan sah atau tidak biar semua itu Tuhan yang mengatur toh juga saat pergi ke sungai Air Mata semalam Dewi telah memberkati kalian. Sampai hari ini aku masih percaya mitos itu dan juga firasat ku yang begitu kuat tentang dirimu." Mamak berkata panjang lebar untuk putri dan menantunya.
"Kamu tahu Arya ... Desa ini masih terpencil. Kami memang umat beragama tapi, kami juga mempercayai mitos itu. Selepas kamu percaya atau tidak itu adalah urusanmu." Kali ini Luhut yang mengeluarkan pendapatnya.
"Arya ... Bapak serahkan putriku satu-satunya padamu. Bawa dia ke Kota! Aku tahu ini sulit untuk mu tapi, sekali lagi ku katakan bahwa aku ikhlas jika kamu mengenalkannya sebagi adik sepupumu." Terdengar helaan nafas panjang tapi, Bapak sudah memikirkannya matang-matang.
"Tidak!" tolak Arya tegas membuat empat orang berada disitu memandang kecewa. Memilih diam tanpa mengeluarkan kata. Ini adalah salah mereka jadi sangat tidak mungkin jik Arya si pria Kota yang tidak tahu apapun ikut lebih dalam lagi.
"Aku tidak akan membawa Uli ke kota dengan status sebagai adikku tapi, aku akan membawanya dengan status istri dari Arya Wiraguna," kata Arya penuh keyakinan membuat wajah mereka berempat yang layu kini mulai segar kembali.
"Bagaimana bisa ku lepaskan kelinci lucu yang sudah masuk dalam sangkar ku," kata Arya dalam hatinya tersenyum penuh arti.
"Aku izinkan kamu menikahi putriku kembali," kata Bapak dengan tegas. "Arya selepas apa yang terjadi tolong jangan diingat lagi. Aku merestui mu karena percaya padamu. Tolong jangan hancurkan kepercayaan ku."
"Kalian tidak perlu takut aku tidak akan merusak kepercayaan kalian. Aku tidak ingin berjanji tapi, aku akan berusaha sebisaku untuk menjaga dan melindungi Uli. Apapun masalah yang akan terjadi nanti setidaknya Uli adalah istri sah ku. Bang Luhut aku mita tolong urus berkas-berkas pernikahan kami yang sah." Luhut hanya tersenyum simpul mendengar perkataan sang adik ipar.
"Bang, apa kamu serius dengan perkataan mu tadi? apa aku tidak salah dengar?" tanya Uli dengan rona wajah memerah. Ada rasa senang juga bimbang ia takut bahwa Arya hanya main-main saja.
Arya hanya menganggukkan kepala dengan senyum yang terlihat begitu tulus.
"Lalu bagaimana dengan Monang?" tanya Luhut tiba-tiba.
"Apa kalian bisa memberikan aku foto Luhut agar orang ku bisa mencarinya?" tanya Arya menatap satu persatu manusia dihadapannya.