Pembicaraan keluarga itu masih terus berlanjut hingga mereka tak menyadari kejadian yang telah terjadi pasca hujan dengan angin kencang tadi.
Hampir pukul setengah dua belas yang artinya sudah dipertengahan hari. Di luar para warga Desa sedang sibuk membersihkan jalanan.
Membereskan pohon-pohon tumbang dan selokan yang mampet akibat sampah daun kering.
Belum lagi jalan licin akibat tanah merah yang terbawa air. Tampak seluruh warga sedang kerja bakti kecuali, keluarga Uli.
Krik! Krik! Krik!
Suara perut Mamak berbunyi menimbulkan hening saat mereka sedang berbicara serius. Ada banyak hal yang harus keluarga itu persiapkan.
Mulai dari membuat bukti bahwa pernikahan Uli dilakukan bukan dengan Monang melainkan Arya. Sampai berkas-berkas yang harus diurus ulang. Sungguh merepotkan memang.
Agar masalah berkas cepat selesai dan diterima oleh dinas pencatatan data warga maka, mereka berinisiatif untuk menempuh jalan tol saja.
Memberi beberapa lembar kertas berwarna merah dengan ukuran 151 mm x 65 mm yang dicetak menggunakan teknik intaglio.
Sungguh lembaran yang mampu membuat siapa saja lupa diri.
Dengan cara itu petugas dinas pencatatan data warga dapat dengan cepat memproses segala urusan mereka.
Efek uang ternyata juga sampai didunia halu!
Tadinya Arya sempat berfikir untuk mengundang, Zoy.
Adik sematawayangnya tapi, pihak keluarga Uli menolak dengan alasan mereka takut jika ada warga yang curiga.
Apalagi kalau hal itu sampai ke telinga, Keleng. Pria bermulut bisa yang dijuluki TV gosip berjalan.
Akhirnya Arya memutuskan untuk memberitahu Zoy bahwa ia akan menikah dan membawa istrinya ke kota.
Arya juga mengatakan, Zoy tidak perlu repot-repot datang ke Desa Suka Hati untuk menyaksikan pernikahannya karena nanti akan diadakan resepsi mewah di Kota.
Awalnya adik dari Arya Wiraguna itu kaget karena selama ini dia tidak pernah mendengar Abangnya dekat dengan siapapun tapi,tiba-tiba saja pria itu akan menikah.
Ada rasa penasaran menyelimuti hati Zoy tentang siapa Kakak iparnya itu.
Namun, dibalik rasa penasaran Zoy yang besar ia juga turut berbahagia.
Karena setelah sepuluh tahun berlalu akhirnya Arya bisa membuka hatinya kembali.
Siapa pun wanita yang menjadi kakak iparnya itu. Akan Zoy hargai dengan sepenuh hati.
Sebab wanita itu berhasil merubah pola pikir Abangnya yang sempat tidak ingin mengenal wanita lagi.
"Astaga sudah hampir jam 12 siang ternyata. Sejak pagi tidak ada apa pun yang kita konsumsi selain teh. Itu pun sudah dingin. Pantas saja sekarang perutku keroncongan," ucap Mamak canggung saat seluruh mata memandangnya.
Tak lama purut Uli pula yang berbunyi. Kemudian disusul oleh Bapak, Arya dan terakhir Luhut.
Suara perut itu bersahutan bagai sebuah irama. Menimbulkan gelak tawa dari bibir mereka masing-masing.
"Marilah kita makan dulu. Lagi pula masalah ini juga sudah selesai. Biar nanti Luhut saja yang mengurus berkas di pencatatan data warga," ucap Mamak pada seluruh keluarga.
Wanita tua itu berjalan ke dapur. Mempersiapkan makanan yang masih berada diatas kompor.
Tadi saat Luhut meminta seluruh keluarga berkumpul, Mamak sedang memasak.
Sekarang ibu dua anak itu kembali melanjutkan ritual masaknya lagi. Memastikan keluarganya makan makanan sehat.
Bagaimana pun keadaannya seorang Ibu tetap akan memperhatikan kondisi rumah serta seluruh penghuninya.
Saat seluruh penghuni rumah sudah mulai bubar. Uli menarik kasar pergelangan tangan Arya.
Membawa suaminya ke kamar. Ada hal penting yang harus Uli bicarakan pada pria kota itu sebelum pernikahan sesungguhnya terjadi.
"Bang, apa kamu serius ingin menikah dengan aku?" tanya Uli saat mereka sudah berada dalam kamar.
Hanya mereka berdua. Berdiri saling berhadapan. Uli tidak melepaskan genggaman dari lengan suaminya.
"Apa kamu ingat saat aku mengucapkan kata tidak akan menjadikanmu janda?"
Arya bertanya. Menatap lekat manik mata sang calon istri sesungguhnya.
"Ya, aku ingat. Lalu kenapa?" tanya Uli heran.
Uli mengerjapkan matanya seolah tak ingin tersihir oleh ketampanan pria yang akan menjadi suami sebenarnya.
Posisi mereka saling berhadapan. Manik mata saling menatap. Genggaman tangan tak urung dilepaskan oleh Uli.
Membuat mereka bisa merasakan deru nafas serta detak jantung masing-masing. Ada yang aneh disini!
"Jika kita tidak menikah lagi maka, statusmu akan tetap menjadi istri Monang. Padahal akulah orang yang mengucap janji."
Uli mengerjap beberapa kali. Pikiran wanita itu terpecah. Antara ketampanan sang suami serta masalah yang sedang terjadi.
"Maka, sudah bisa dipastikan bahwa aku hanyalah orang lain. Monang lah yang berhak atas dirimu. Apa itu mau mu? Apa itu adil untukku?"
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir, Uli wanita itu hanya menggoyangkan kepala ke kiri kanan.
Matanya juga enggan terlepas dari menatap Arya. Sorot matanya tidak terbaca sangking banyaknya pikiran yang sedang berkelana di kepala wanita itu.
"Kalau begitu izinkan aku menikahi mu. Memulai segalanya dari awal." Arya berkata penuh keseriusan.
Hanya dibalas anggukan kepala serta senyum tulus dari hati yang paling dalam.
Bahagia. Tentu saja hal itu yang dirasakan oleh Uli. Tidak menyangkan jika impiannya sejak kecil untuk bersuamikan orang kota terwujud.
"Kenapa kamu begitu? Tingkah mu sudah seperti anak ABG jatuh cinta," kata Arya yang melihat Uli hanya menatapnya saja sejak tadi.
"Kamu tampan," kata Uli malu-malu rona mera muda tercetak jelas di pipinya.
"Itu suatu pujian atau hinaan?" tanya Arya yang semakin tak nyaman dengan tingkah Uli.
Tatapan mata serta senyum malu-malu yang diciptakan Uli malah membuat Arya geli sendiri.
"Aku mengatakan yang sejujurnya," katanya lagi dengan nada yang terdengar begitu manja.
Katakanlah katakan sejujurnya
Apa mungkin kita bersatu
Kalau tak mungkin lagi hujan
Menyejukkan hati kita
Sebait lirik lagu itu lolos dari bibir Luhut. Dinyanyikan dengan begitu merdu. Suara tinggi ciri khas penduduk Desa Suka hati.
Pintu yang rusak akibat dobrakan Luhut pagi tadi sukses membuat obrolan suami istri itu terdengar ditelinga Luhut.
Tidak bermaksud menguping. Hanya saja pria berwajah sangar itu tak sengaja mendengar ucapan 'Yang Sejujurnya'
Membuat Luhut dengan refleks menyanyikan tembang milik Christine Panjaitan tersebut sambil berjalan menuju dapur.
"Dasar bujang lapuk tidak tahu diri. Bisa-bisanya menguping pembicaraan orang."
Uli menggerutu atas perbuatan Abangnya. Moment serius mereka harus hancur karena nyanyian itu.
Meski suara Luhut terdengar indah. Namun, hal itu tetap saja membuat kesal pasangan suami istri yang sedang berbicara serius tersebut.
"Sekali lagi aku tanyakan. Apa kamu serius?" tanya Uli setelah keadaan kembali normal.
"Sudah ku katakan bahwa aku tidak akan pernah ingkar janji."
Arya menjawab mantap. Entah apa sebenarnya yang ada dipikiran pria itu.
Menerima pernikahan yang seharusnya bukan untuk dirinya.
"Apa itu berarti kamu menyukaiku?" tanya Uli ragu tapi rona merah tidak bisa dibohongi.
Wanita itu menunggu jawaban ia dari bibir Arya. Namun, sayang ....
"Tidak," jawab Arya cepat karena memang perasaan itu sama sekali belum muncul dihatinya.
Raut ragu di wajah Uli berubah menjadi raut kecewa mendengar jawaban Arya.
Mencoba tegar meski terluka. Hanya itu yang dapat di lakukan Uli sekarang.