Chereads / 60 Days I Love You / Chapter 29 - Tidak Ada Malam Pengantin

Chapter 29 - Tidak Ada Malam Pengantin

Pemberkatan berjalan lancar. Acara yang dijalani pun tak serumit kemarin. Karena memang tidak ada pesta.

Pengucapan janji suci diadakan pukul sepuluh pagi. Dan selesai pukul setengah dua belas. Tidak memakan waktu lama seperti acara sebelumnya.

Kini keluarga yang sekarang terdiri dari lima orang itu sudah duduk diruang keluarga dengan beralaskan karpet kesayangan Mamak yang dikirim langsung dari negara upin ipin.

"Arya, pasti kamu sudah tidak sabar kan menunggu malam nanti," kata Luhut menggoda adik iparnya.

"Aku biasa saja," jawab Arya datar.

Disaat pasangan pengantin baru lainnya menanti moment tersebut Arya malah sebaliknya. Rasa cinta yang belum tumbuh dihatinya membuat dia tak ingin menanam benih pada ladang yang telah resmi menjadi miliknya tersebut.

Arya memenuhi janjinya. Ia menikahi Uli. Bertanggung jawab terhadap wanita itu. Ada sedikit rasa takut kala dia menanam benih dan ternyata ladang itu sudah pernah digarap oleh orang lain.

Lebih baik memantapkan hati terlebih dulu. Memupuk cinta, membiarkannya bersemi agar ia bisa berlaku adil pada Uli. Lebih tepatnya memperlakukan Uli semestinya karena Uli adalah istrinya.

"Santai saja Arya. Masih mending kamu dan Uli sudah saling dekat. Dulu Bapak dan Mamak saja harus tidur terpisah karena tidak saling kenal."

Bapak yang memang di jodohkan orang tuanya mengungkapkan masalalu mereka. Bukan hal pertama kali lagi bagi pria tua itu mengatakannya. Seperti tidak ada habisnya.

"Asal kalian tahu. Bapak buka puasa saat sudah 6 bulan pernikahan," sambung pria tua yang hari ini tidak menggunakan sarung belalai gajah berdiri.

Hari ini adalah hari pernikahan putrinya yang sesungguhnya. Mana mungkin ia menggunakan sarung saat mengantar putrinya ke altar. Bisa-bisa dia disangka habis kali kedua sunat oleh pendeta.

"Kami sudah tahu!" seru anak, putri juga menantunya.

Bapak mengerjabkan matanya berulang kali. Bingung melihat ketiga anaknya begitu kompak. Dia hanya ingin menjadi contoh tapi, kenapa anak-anaknya terlihat begitu acuh.

"Astaga ... kenapa kalian bisa sekompak itu? tanya Bapak mengernyitkan keningnya.

"Itu karena, setiap membahasa masalah Uli dan Arya. Bapak selalu saja menyangkut pautkan dengan keadaan Bapak dulu," kata Luhut mengungkap kenyataan.

"Aku hanya memberi gambaran saja. Barang kali kisah kami bisa menjadi sebuah pelajaran untuk kalian," kata Bapak.

"Alah bilang saja jika Bapak ingin kami mengetahui bagaimana hubungan kalian dulu." Uli membuka suaranya.

Kesal itu ada. Ini bukan hal pertama lagi. Kemarin saat membahas gaun pengantin yang akan dikenakan Uli. Bapak kembali lagi kemasalalunya bersama Mamak.

Mengatakan beberapa moments yang tidak bisa dia lupakan. Hingga anak dan istrinya kesal karena mereka telah terlalu jauh lari dari topik pembicaraan.

Kalau dipikir-pikir Bapak adalah tipe pria romantis. Karena dia tidak sedikit pun melupakan kenangan dulu bersama istrinya. Dia menyimpannya rapat-rapat dalam hati dan pikirannya.

"Makanya kalau mau menikah anak diundang. Jadi kalian tidak perlu repot-repot menceritakan pengalaman kalian," gerutu Luhut.

Kelurga ini sungguh berbeda dengan keluarga lainnya. Disini orang tua dan anak bisa saling melempar candaan. Meski dalam hal tersebut ada batasan yang sama sekali tidak mereka lewati. Masih menghormati orang tuanya.

"Kalau kami mengundang kalian itu artinya kalian ada sebelum kami menikah. Memang kalian pikir kami ini orang tua murahan apa," kata Bapak membalas perkataan Luhut.

"Makanya Mamak dan Bapak jangan menikah dimasa penjajahan Belanda." Arya menimpali percakapan tak berfaedah anak dan bapak tersebut.

"Maksudnya bagaimana?" tanya Mamak heran mendengar ucapan Arya.

"Zaman sekarang banyak pasangan yang menikah setelah menanam benih," kata Arya polos seperti bayi baru lahir.

"Lalu apa hubungannya?" tanya Bapak dan Mamak kompak. Mereka belum paham tujuan perkataan Arya.

"Kalau Mamak dan Bapak menikah di zaman sekarang. Kalian kan bisa memproduksi Luhut dan Uli dulu baru menikah. Lalu tinggal bawa saja kedua anak ini menghadiri pernikahan kalian. Tidak susah, 'kan."

Perkataan itu didengar dan dicerna sedikit lambat oleh Mamak dan Bapak. Hingga akhirnya mereka saling tatap. Merasa ada yang tidak beres.

Tatapan itu beralih ke anak dan menantunya yang sedang senyum-senyum melihat orang tuanya kebingungan.

"Oh berani, ya kalian sekarang. Dasar anak-anak tidak tahu diri."

Mamak bergerak mendekat pada menantu dan putrinya. Menjewer telinga mereka dengan keras. Menimbulkan suara ringisan dari mulut mereka.

"Ampun, ampun, ampun," kata mereka bertiga kompak.

Saat Mamak menjewer telinga putri dan menantunya Bapak juga mengambil alih menjewer telinga putra sulungnya.

Mereka bertiga harus diberi pelajaran karena telah mengatakan yang bukan-bukan.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu berhasil membuat kegaduhan yang sedang terjadi di keluarga itu berhenti.

"Tunggu kalian. Akan ada sesi lanjutan setelah ini," ucap wanita tua itu sebelum pergi membuka pintu.

"Selamat menanti season kedua," kata Bapak dengan senyum meledek.

"Jika selama ini kita melihat anak durhaka maka sekarang saksikan lah Orang tua durhaka."

Luhut menatap Bapaknya dengan tatapan siap berperang. Hal yang sudah tidak asing lagi terjadi dalam keluarga ini.

"Luhut diluar ada Naina mencari mu," teriak Mamak dari depan pintu agar sulungnya itu mendengar.

"Wah ... calon tempat menanam benihku sudah datang," kata Luhut berbinar-binar sambil melangkahkan kakinya keluar dari ruang keluarga.

"Astaga mimpi apa aku sampai memiliki anak seperti kalian ini." Bapak menggelengkan kepala. Frustasi melihat tingkah konyol anak-anaknya.

"Ayo cepat ganti pakaian kalian. Di luar ada Naina. Jangan sampai dia curiga."

Mamak berkata pada suami istri yang masih betah dengan pakaian pernikahannya.

"Apa liat-liat? Kamu juga cepat lah ganti baju sana," kata Mamak pada suaminya yang senyum-senyum tidak jelas.

"Sayang ... tidakkah seharusnya kamu yang mengganti pakaianku?"

***

Malam hari adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh sepasang pasangan suami istri baru. Memadu kasih, hal yang membuat mereka akan saling memiliki seutuhnya.

Sama halnya dengan Uli. Wanita bertubuh kecil itu sudah terlihat sangat cantik. Siap menyambut sang suami.

Malam ini dia menggunakan lingerie merah muda dibalut dengan kimono yang senada.

Panjangnya hanya satu jengkal diatas lutut. Membuat kaki putih mulus itu terpampang nyata. Bagian atas tidak ada yang diumbar oleh, Uli lengan pakaiannya pun masih terlihat normal.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Arya belum juga kembali kekamar mereka. Padahal istrinya sudah menunggu dengan persiapan matang.

Selesai makan malam tadi. Bapak dan Luhut meminta Arya untuk menemani mereka minum kopi hitam sambil bermain catur.

Minum kopi di teras rumah adalah salah satu hal yang dilakukan Bapak-bapak selain minum tuak di Lapo Namboru Risma.

Beberapa warga yang melihat anak, ayah serta menantu itu sedang kompak diluar rumah ikut larut disana.

Mereka membawa kopi masing-masing. Ada juga yang pulang mengambil gitar dan beberapa papan catur.

Malam mulai larut tapi, perkumpulan dadakan itu tidak ada tanda-tanda berhenti. Uli menatap nanar dari jendela kamarnya.

Melihat suami yang sepertinya memang tak ingin melewati malam pengantin bersamanya.

Mata Uli sudah mulai memerah menahan kantuk. Hal yang akan dilakukan malam ini sudah dia pikirkan matang-matang tapi, suami tak kunjung datang.

Uli sengaja mempersiapkan diri karena dia pikir pernikahan akan terasa berarti jika pasangan suami istri sudah bersatu seutuhnya.

Namun, sayang wanita yang malam ini terlihat begitu menawan harus menelan kecewanya bulat-bulat. Uli terpaksa tertidur dangan air mata yang masih membasahi pipinya.