"Astaga Tuhan!" Suara teriakan Mamak menggema di seluruh penjuru Desa.
Selesai makan siang bersama seluruh anggota keluarga. Mamak memutuskan untuk pergi ke pekarangan belakang rumah.
Mengecek persediaan bahan pakan ternak. Hujan cukup deras bisa saja ada bahan pakan yang habis tersapu air karena sudah dibuka plastiknya.
Tapi, kenyataan lain membuat wanita tua itu histeris begitu melihat keadaan peternakan ayamnya.
Separuh kandang rubuh dan banyak ayam yang mati tertimpa reruntuhan.
Keleng adalah orang pertama yang sampai di lokasi kejadian saat teriakan Mamak menggema.
"Ada apa mantan calon mertua?" tanya Keleng bersemangat.
Saat mendengar teriakan. Pria berkulit hitam itu sedang membereskan aliran air gunung yang terhambat karena bendungan bebatuan.
Sumber mata air penduduk Desa berasal dari gunung yang tidak terlalu jauh dari dibelakang rumah Uli.
Cangkul yang digunakan oleh Keleng hampir saja menancap pada kakinya sendiri sangking kaget mendengar teriakan itu.
"Apa suara sangkakala nanti akan lebih memekakkan telinga?" tanya penduduk lain yang juga kaget.
Sungguh ironis. Kalau dipikir-pikir wajar saja jika teriakan Mamak begitu menggema. Wanita tua itu baru menyelesaikan makannya.
Belum lagi, dia adalah salah satu keturunan yang memiliki suara diatas delapan oktaf.
"Semoga saja saat hari kiamat tiba tetap nabi isa yang meniup sangkakala," ucap yang lainnya.
"Untung gendang telingaku tidak pecah."
"Kalau gendang telingamu pecah sebaiknya kita ganti saja dengan telinga babi."
"Sembarangan mulutmu bicara. Mau ku sumpel dengan garuk sampah ini ha?!"
"Berani macam-macam akan ku pastikan pernikahanmu gagal."
"Hei kalian berdua! Lebih baik cepat selesaikan kekacauan yang terjadi agar kalian juga punya waktu lebih lama untuk bergosip."
Begitulah desas-desus warga saat kerja bakti mendengar teriakan Mamak Uli yang mengalahkan suara tertinggi milik Mariah Carey.
"Mantan calon mertua kepalamu rusa! Bahkan disebut calon saja aku tidak setuju. Mana mungkin putriku satu-satunya aku nikahkan dengan TV gosip berjalan sepertimu."
Mamak berkata sinis menata pria kulit hitam tersebut.
"Memang dasar wanita bermulut megafon. TV gosip berjalan itu adalah pekerjaanku untuk mencari sesuap nasi."
"Pekerjaan kok mengurusi urusan orang lain," cibir Mamak.
"Ada apa kamu teriak sekeras itu Mamak Uli? Untung gendang telingaku ini tidak pecah."
"Ada apa. Ada apa. Tidak lihat apa kalau kandang ayam kita rubuh separuhnya."
"Astaga! Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dan disana ... disana ada tumpukan sampah yang menghambat aliran air ke dalam rumah kita."
"Bukan hanya ke rumah kalian tapi dibelakang sana sumber mata air yang mengalirkan air ke seluruh rumah warga juga terhambat."
Keleng berkata tak kalah keras. Ada rasa kesal melihat keluarga terkaya itu.
Sejak hujan redah sampai separuh Desa bersih tapi mereka belum menunjukkan batang hidungnya.
Sekalinya keluar rumah malah sibuk dengan kekacauan yang terjadi pada milik mereka sendiri.
Sejak berdiri dihadapan Mamak. Keleng tidak melihat bahwa wanita tua itu memperhatikan keadaan sekitarnya. Dia hanya sibuk dengan miliknya sendiri.
"Ha ada kamu ternyata!. Pergilah ... katakan pada warga informasi yang baru kamu dapat. Katakan bahwa peternakan ayam kami sudah hancur karena hujan tadi."
Bapak berkata tanpa basa-basi. Seolah memberikan lampu hijau pada sang TV berjalan.
"Katakan juga. Jika sarung belalai gajah berdiri ku ini belum aku ganti sejak senin sore lalu," sambung Bapak menambah informasi.
"Ya ampun mantan calon Bapak mertua. Kita ini kan akan jadi saudara. Jadi mana mungkin aku memberitahu penduduk Desa tentang kejadian kalian."
Keleng berkata basa-basi. Belok kanan kiri dulu baru tembak.
"Alasan. Lagian, bagaimana bisa kamu berada di daerah pekarangan rumahku?"
Bapak bertanya menyelidik si pria kulit hitam itu.
"Makanya kalian jangan asik mengerami telur saja didalam rumah."
"Kalian tidak tahu kan bahwa seluruh penduduk Desa sedang bekerja sama untuk membersihkan Desa."
"Efek hujan disertai angin kencang membuat Desa kita ini berantakan."
Keleng menjelaskan dengan nada suara berapi-api.
"Kalian fikir karena kalian keluarga terpandang jadi aku tidak bisa melawan. Kalian salah. Haha." Batin Keleng bersorak.
"Mak! Pak!" panggil Luhut berteriak dari dalam rumah.
"Kami dibelakang. Ada apa?" tanya Mamak.
"Desa kita berantakan pasca hujan tadi," kata Luhut memberi tahu orang tuanya.
"Terlambat! Kami sudah membersihkan hampir 50% dan kalian baru tahu. Sungguh kelewatan."
Keleng menimpali omongan Luhut.
"Kalau begitu biar kulitmu saja yang ku bersihkan 50% agar tidak dekil." Luhut membalas perkataan Keleng.
Kedua pria ini jika sudah bertemu maka, akan mengalahkan Anjing dan Kucing.
"Hei mantan calon Abang ipar. Itu namanya kamu body shaming. Sungguh keterlaluan."
Keleng berkata seolah menjadi orang paling tersakiti didunia.
Ku menangis
Membayangkan
Betapa kejamnya dirimu atas diriku
"Hentikan nyanyian mu atau ku sumpel mulutmu dengan bangkai ayam itu." Bapak mengancam Keleng.
Pasalnya pria itu sangat lihai dalam hal berakting. Sayang sekali tidak ada produser dikampung ini.
Kalau tidak Keleng pasti akan menjadi artis papan tulis.
"Makan tahu tempe saja sok-sokan body shaming." Luhut mencibir.
"Hei Luhut Namaranggi asal kamu tahu saja, ya. Para peneliti terkenal didunia itu makannya tahu tempe bukan steak."
Keleng membalas ucapan Luhut. Pria hitam ini sudah pasti tidak ingin kalah berdebat. Bisa jatuh reputasinya sebagai TV berjalan.
"Kamu ingin berdebat atau mau pekerjaan?" tanya Bapak yang mulai lelah.
Disaat usia semakin bertambah disaat itulah ada rasa malas untuk sekedar meladeni perbicangan kaum muda disekitar.
"Berapa upah yang ku dapat untuk membereskan peternakan ayam kalian ini?" tanya Keleng langsung pada intinya.
Meski pemberi pekerjaan belum memberitahu apa yang akan dikerjakannya tapi, Keleng seolah memiliki indra keenam.
Soal pekerjaan gak perlu basa-basi. Upah lancar kerja aman.
"Memang pantas dirimu dijuluki TV gosip berjalan sebab kamu bisa membaca yang belum tertulis."
Luhut mencibir Keleng untuk kesekian kalinya. Tidak asik rasanya bertemu Keleng kalau tidak berseteru.
Sesekali mulut berbisa itu memang harus dilawan.
"Bagaimana kalau ku beri 2 kaleng beras." Bapak memberi tawaran.
"Tidak! Kali ini pekerjaannya cukup rumit. Aku harus mengubur puluhan ekor mayat. Sungguh tragis."
Keleng beralasan. Padahal dulu saat mengumpulkan bangkai babi yang terserang penyakit dia hanya dibayar dengan 1 kaleng beras serta 20 butir telur bebek.
"Katakan apa mau mu?"
"Beras 3 kaleng dan berbagai pasokan sembako lainnya untuk 2 bulan lamanya."
"Ngelunjak, ya Leng." Luhut yang sudah kehilangan kesabaran terpaksa harus main kasar.
Ditariknya kepala Keleng kemudian menelusup kan kebawah ketiak. Beruntunglah hari ini Luhut mandi pagi dan menggunakan kaos berlengan.
"Kalau tidak mau, ya sudah."
"Dasar orang susah tidak tahu diri. Dikasih paha malah minta dada." Kini Mamak mengeluarkan suaranya.
Benar-benar butuh tenaga ekstra untuk menghadapi manusia bermulut bisa ini.
"Masih mending aku minta dada daripada aku minta liang kenikmatan." Keleng berkata semakin menjadi-jadi.
"Wah ngajak duel kamu, ya." Emosi Luhut semakin terpancing.
"Sudahlah. Berhenti untuk berdebat. Kepalaku bisa meledak mendengar ocehan tak bermutu kalian."
Mamak berkata pada Luhut dan Keleng yang belum menemukan titik terang akan perdebatan mereka.