"Jangan minta maaf. Disini tidak ada yang bersalah semua terjadi karena sebuah kesalahpahaman yang berujung kebetulan. Kebetulan aku berwajah mirip Monang datang berkunjung dan kebetulan juga Monang lari dari pernikahannya saat itu," kata Arya pada Luhut. Ucapan pria kota itu terdengar tulus meski awalnya dia marah.
"Ti–tidak. Jika aku meneliti dengan lebih jelas lagi, maka aku pasti bisa membedakan kalian berdua," ucap Luhut masih kekeh bahwa dirinya memang bersalah dan itulah kenyataannya.
"Sudahlah, lagi pula nasi yang sudah menjadi bubur tidak akan bisa kembali menjadi beras. Sebaiknya kita luruskan kesalah pahaman ini pada warga kampung," kata Mamak mengambil kesimpulan sepihak.
"Jangankan bubur, Mak. Nasi pulen saja tidak akan bisa menjadi beras. Mau sok bijak tapi diluar nalar ... ehh tunggu dulu. Sepertinya kali ini perumpamaan itu benar." Uli mendengar sambil berfikir dan berbicara sendiri dalam hatinya.
"Dari awal aku sudah ingin mengatakan kepada keluarga ini dan juga penduduk kampung tapi, Uli ketakutan," kata Arya jujur dan memang itulah kenyataannya.
"Kenapa, Uli?" tanya Bapak pada putri sematawayangnya itu.
"Ha? Emm ... itu. A–aku tidak ingin menjadi janda. Aku tidak mau diasingkan," ucap Uli lirih dengan wajah menunduk menatap ambal yang baru dibeli Mamaknya dari Malaysia.
"Kamu tidak akan jadi janda. Lagi pula si Arya kan sudah melakukan kewajibannya sebagai suami," kata Luhut dengan penuh keyakinan menjawab kegundahan adiknya.
"Kewajiban apa maksud mu?" Bapak bertanya pada Luhut tapi, matanya meneliti pasangan pengantin baru itu.
"Seperti yang Mamak dan Bapak lakukan tiap malam," ucap Luhut tanpa beban.
"Dasar anak tidak tahu diri. Memangnya apa yang kami lakukan tiap malam ha?!" Mamak membalas perkataan Luhut.
"Tidak saling mengenal tapi, sudah melakukan itu," kata Bapak ditengah kebingungannya sendiri sambil mengalihkan pembicaraan Ibu dan Anak agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Pernah suatu ketika saat mereka sedang membahas hal penting tiba-tiba saja Luhut menggoda Mamaknya. Diantara mereka tidak ada yang saling mengalah. Adu mulut itu semakin memanas hingga Mamak ngambek dan memutuskan untuk pergi. Enggan ikut dalam musyawarah tersebut.
"Apa salahnya ha? Kamu lupa jika mereka sudah menikah?!" Mamak mencerca pertanyaan pada Bapak. Tak terima dengan ucapan suami yang seperti menyudutkan anak dan menantunya.
"Aku saja dulu waktu dijodohkan dengan mu enam bulan baru bisa merasakan kenikmatan dunia yang sesungguhnya," ucap Bapak tidak terima dengan perkataan Luhut sampai membandingkan kisahnya dulu dengan Mamak.
"Itu karena kamu yang sombong. Punya ladang hanya satu hektar saja sudah seperti punya perusahaan kelas dunia. Sombong, dingin, cuek, sok paling tampan. Akhirnya takluk juga. Lebih parahnya dirimu yang sombong dulu sekarang tidak berani keluar pintu tanpa izin dariku," kata Mamak tak mau kalah saat Bapak mengungkit masalalu mereka. Raut wajahnya terlihat bangga saat mengingat betapa takluknya sang suami sekarang.
"Ini bukan acara reuni tua bangka. Sekarang kita sedang membahas masalah Arya dan Uli," kata Luhut memperingati orang tuanya yang mulai keluar dari topik pembicaraan.
"Dasar anak tidak tahu diri! Begini memang jadinya kalau dibuat tanpa doa. Tidak patuh pada orang tau," kata Mamak kesal.
"Salah kalian sendiri tidak berdoa sebelum bercinta, Makanya kalau on jangan langsung tancap gas tapi, lihat rambu-rambu lalu lintas dulu," ucap Luhut tidak mau kalah.
"Ini juga karena salahmu! Waktu itu aku sudah katakan untuk berdoa dulu kamu malah langsung membobol gawang tanpa aba-aba," kata Mamak kesal pada suaminya.
"Kenapa menyalahkan ku? Salahmu sendiri yang setiap disentuh mengeluarkan desahan erotis. Membuat si ucok ingin cepat-cepat berkunjung," kata Bapak membela diri.
"Makanya sebagai pemegang senjata Bapak harus kuat tahan nafsu agar bisa menghasilkan kualitas terbaik," timpal Luhut.
"Kalian mau meluruskan permasalahan kami atau meluruskan kisah kalian yang sudah memiliki dua orang anak ini?" tanya Uli membuka suara setelah lelah mendengar perdebatan ketiga orang itu.
"Para orang tua ini memang selalu lupa diri jika membahas urusan ranjang," cibir Luhut.
"Berani membuka mulut lagi tidak akan aku nikahkan kamu dengan, Naina. Biar saja Ular Kadut mu itu hanya digunakan untuk pipis seumur hidup." Mamak mengancam putra sulungnya itu.
"Tidak masalah. Aku bisa kawin lari atau menyewa becak supaya tidak perlu repot berlari dengan setelan pengantin. Jaman sudah modern, Mak. Tidak ada hal yang sulit lagi dimuka bumi ini," ucap Luhut apa adanya. Cara terbaik agar menang adu mulut dengan Mamak adalah memasang muka datar tanpa beban.
"Mau kalian apasih sebenarnya?" tanya Uli yang mulai kehilangan kesabaran. Sedari tadi hanya mendengar pembahasan tidak bermutu dari ketiga orang dihadapannya. Sementara ia dan suaminya hanya bisa mendengar.
Sebenarnya apa tujuan mereka berkumpul saat ini? Mengapa jadi membahas hal yang bukan-bukan? Apa masalah Uli dan Arya begitu sepele hingga membuat mereka sering lari dari topik pembicaraan.
"Begini saja. Bawa Uli ke kota masalah kebenaran akan kita ungkap pada warga kampung setelah tahu dimana keberadaan Monang," kata Mamak mengusulkan pemikirannya setelah melihat raut kesal di wajah putrinya.
Rencana tentang membiarkan putrinya dibawa oleh Arya ke Kota sudah dipikirkannya masak-masak sejak pertama kali tahu akan kebenaran ini. Bahkan walau suaminya tidak mengetahui apapun dia tetap rela memberikan putrinya pada Arya.
Ada firasat yang begitu kuat dirasakan Mamak terhadap Arya. Membuat dia yakin bahwa putrinya bisa bahagia disisi pria itu.
"Aku tidak setuju!" kata Bapak menolak keras usul Mamak.
"Kenapa?" tanya Luhut.
"Kita tidak mengenal Arya bagaimana bisa aku memberi putriku satu-satunya pada orang asing? Apa kamu tidak berfikir sejauh itu?" tanya Bapak pada istrinya.
"Karena aku yakin dia adalah pria baik-baik. Arya pasti mampu melindungi Uli dalam kondisi apapun." Mamak berkata penuh percaya diri. Firasat baik tentang Arya yang ia rasakan begitu besar berada didalam hatinya.
"Aku tetap tidak setuju!" tolak Bapak sekali lagi.
"Bagaimana dengan orang tua Monang?" tanya Arya.
"Masalah keluarga itu kalian tidak perlu pikirkan. Mamak dan Bapak yang akan datang kesana untuk meluruskan semua ini. Aku yakin keluarga itu juga tahu bahwa anaknya kabur di hari pernikahan, makanya tidak ada satu pun dari mereka yang hadir saat itu."
"Apa ada sebuah rencana yang sedang disusun mereka untuk menjatuhkan keluarga kita?" tanya Luhut serius.
"Tidak mungkin. Aku dan keluarga Pemberani itu sudah berteman sejak kecil. Aku tidak pernah melihat atau merasakan mereka memiliki rasa iri terhadap orang lain," ucap Bapak menyanggah perkiraan Luhut.
"Lalu kenapa Monang menjebak Uli?" tanya Arya yang sekarang sedang bingung dengan kondisi keluarga ini.