Chereads / CINTA SEORANG PENYIHIR / Chapter 10 - MESKIPUN HIDUP SEDANG MENIPUMU

Chapter 10 - MESKIPUN HIDUP SEDANG MENIPUMU

Ternyata para penyihir hidup berdampingan bersama kita dengan segala profesi masing-masing, ada yang memiliki salon, ada yang berprofesi sebagai pendidik ada juga berprofesi sebagai pemain musik.

Ini adalah rahasia tapi sebenarnya, penyihir hidup di dunia ini. Hanya saja manusia tidak memperhatikan itu. Pikirkan tentang itu.

Ketika kamu bertemu seseorang yang keterampilannya tidak bisa kamu tandingi, tidak peduli bagaimana kamu menempatkan dalam waktu dan usaha yang sama. Saat kita bertemu mereka, kita bingung. Seakan waktu telah terhenti dan seluruh tubuh kita menjadi kaku.

Dan kita ditarik oleh kekuatan yang tidak dapat diketahui ini. Dan kami dataang untuk menemukan diri kami menuju mereka tanpa kesadaran diri.

**

Di tengah perkotaan tepatnya di sebuah Bank tempat Muktilah bekerja. Ada seorang wanita setengah baya berjalan dengan memakai sandal karet yang tidak terlalu mahal dan celana leging berwarna merah serta menggunakan celemek bertuliskan kaki sapi tradisional Cee Nunung, menggnakan kaos oblong warna putih, di lehernya terikat galung seperti tasbih para biksu dengan make up ala tante-tane zaman now, berjalan santai sambil tebar pesona kepada para pegawai yang ada pada Bank tersebut.

Seorang pegawai wanita terlihat berdiri sambil mengangkat tangannya, namun setelah di lihat oleh pegawai tersebut, ia mengurungkan niatnya dan kembali duduk.

Sedangkan Muktilah yang sedang duduk sambil memegang beberapa formulir merasa terkjut dengan kedatangan Nunung di hadapannya. Ia merasa akan ada sesuatu yang sial menimpa muktillah, namun Mukti tidak bisa berbuat jauh, terpaksa dirinya menyambut kedatangan Nunung dengan cara memberikan senyum sampai semua gigi Muktilah kelihatan.

"Halo. Bagaimana aku bisa membantu kamu, klien?" Sapa Muktilah

Nunung hanya diam berdiri, dan tangan kirinya mengambil beberapa buku tabungan yang ada di sakunya dan di bantingkannya di hadapan Muktillah.

"Halo? Halo? Halo? Tarik semua uang aku dari semua ini. Tabungan, akun-akun asuransi, jangan tinggalkan satu rupiah pun dan keluarkan semuanya sekarang!" Ucap Nunung dengan nada membentak dan kasar.

"Klien, apakah kita entah bagaimana membuat kesalahan?" tanya Mukti yang kebingungan dengan permintaan Nunung.

Nunung mengambil napas dan memejamkan mata untuk bersiap berkata-kata dengan kencang.

"Tarik saja ketika aku mengatakan untuk menarik keluar. Mengapa begitu banyak mengoceh? Saat cuaca sudah sangat panas!" ucap Nunung sambil melihat semua orang yang ada di Bank tersebut.

Muktilah melihat ke arah rekan nya yang lain tatapi mereka pura-pura tidak menghiraukan dan enggan untuk membantu Mukti menghadapi satu klien ini.

Mukti melirik rekannya yang berada di posisi belakang tapi rekannya juga sama enggan membantu dan Mukti diminta untuk mengurus Klien itu sendiri. Mukti pun dengan berat hati meringis karena semua rekannya menolak untuk membantu permintaan seorang Klien yang satu ini. Mukti memejamkan mata lalu mengambil napas dan kembali tersenyum.

"Aku minta maaf, klien. Jika kamu memberi tahu aku apa kesalahannya, aku akan segera memperbaikinya." Ucap Mukti dengan mencoba bersabar meminta penjelasan atas maksud permintaanya tadi.

"Memperbaiki sialan itu! Omong kosong dengan pengaturan! Apa gunanya memperbaikinya ketika aku sudah mati?" Ucap Nunung yang semakin menjadi-jadi

"Maaf" ucap mukti yang hanya bisa pasrah.

"Ini,ini, ini!" Nunung menunjukan jarinya yang terluka kepada Mukti, lalu ia berkata lagi dengan kencang.

"Apakah kamu tidak melihat? Aku sedang membaca majalah di sini dan aku pikir akan mati karena terlalu berdarah. Ini apakah ini majalah atau senjata? Ack." Nunung menujukan sebuah majalah dan melemparkannya di hadapan Muktilah.

"Aku tidak pernah bisa mempercayakan uang aku yang berharga ke suatu tempat dengan senjata tajam seperti itu. TARIK SEMUANYA! Semua, tanpa meninggalkan satu rupiah pun!" bentak Nunung lagi.

Muktilah mau berbicara namun perkataanya terpotong lagi dan Mukti hanya diam lagi.

"Kamu tidak menganggap kata-kata aku dengan serius? Aku berkata untuk menarik mereka keluar tarik semua uang aku! Aku tidak bisa mengabaikan ini! Keluarlah, kamu Manajer Cabang! Manajer? Halo? Ayo keluar, Manajer Cabang!" Nunung sambil berteriak-teriak lagi.

Hal tersebut, menganggu aktifitas pelayanan di ruangan tersebut. Muktilah kemudian berdiri untuk meredakan kemarahan Nunung. "Klien?" ucap Mukti mengharapkan klien nya ini untuk bisa tenang.

"Ada manajernya, kan? Katakan padanya untuk datang. Aku tahu dia ada di sana. Aku melihat dia keluar." Ucap Nunung yang mengancam dan menujuk-nunjuk ruangan manajer.

Akhirnya dengan berat hati, Muktilah mengabulkan semua permintaan Nunung,

"Serius, Muktilah benar-benar hebat!" ucap salah seorang rekannya yang memberikan apresiasi karena dapat mengatasi masalah salah satu klien yang memang sangat menjengkelkan.

"Bagaimana dia melakukannya setiap saat? Jika itu aku, aku sudah lama berhenti. Dia bahkan bukan pegawai tetap." Ucap rekannya yang sedang melihat Muktilah sedang berbicara dengan Nunung di luar, dan Nunung sudah merasa puas dengan permintaanya yang sudah di kabulkan.

"Dia harus menanggungnya karena dia punya sesuatu yang bisa dia kabulkan." Ucap rekan wanita Mukti.

"Mengabulkan?" tanya rekan pria mukti lagi.

"Mimpi Muktilah adalah menikahi puteri seorang pengusaha independen yang memiliki gedung. Dia hanya perlu menanggung sedikit lagi sekarang." Ucap rekan wanita Muktilah.

"Putri seorang pengusaha mandiri yang memiliki gedung. Siapa itu?" taya rekan pria Muktilah lagi.

Percakapan kedua rekan Muktilah pun usai karena menurut mereka semua permasalahan telah usai, semua berkat Muktilah yang bisa menghadapi situasi yang cukup sulit bagi mereka berdua.

******