Sebuah pesawat sedang bersiap mendarat ke bandara, banyak sekali orang-orang mengantri untuk membeli tiket atau pun menunggu keberangkatan menuju luar negeri atau terbang ke antar pulau.
Lukman Hakim dengan mengenakan topi ala-ala mamang somay, dengan tas haiking di punggungnya dan sebotol air mineral di tangannya sudah turun dari pesawat dan berada di bandara untuk bergegas menaiki taksinya.
Namun, orang-orang di sekitar yang berpapasan dengan Lukman, semuanya menutup hidung dan mulut mereka masing-masing.
Bukan hanya satu dua orang, melainkan semuanya, rupanya Lukman semenjak dari Myanmar hingga pulang ke tanah air tidak mandi dan baju pun tidak ganti-ganti, entah berapa lama dia menjadi bau dan kotor seperti itu.
Lukman berjalan dengan santai sambil memperhatikan orang-orang di sekitarnya merasa tidak nyaman karena aroma tubuhnya yang membuat udara sekitar menjadi kotor.
"Aku mencium?" ucap Lukman sambil mencium lengah bajunya.
"Aku bahkan tidak mencium.." gerutu Lukman sambil terus berjalan dengan santai.
**
Di restoran, Nining sudah berada di dapur dan sudah memakai celemek wanra biru muda, di tangannya sebuah pisau sedang memotong-motong lobak menjadi kecil-kecil.
Lina sedang memegang sebuah centong besar dan tengah mengudek kaldu pada kuali besar, sedangkan Irma sedang memotong-motong beberapa bumbu untuk campuran kaldu.
Nining yang sedang memotong lobak kemudian melemparkan pisaunya dan marah-marah sendiri, karena kesal.
"Bahkan manusia menggunakan sejenis sihir yang disebut 'pisau koki'. Apa ini. Tidak ada pisau koki, tidak ada MSG! Jika itu yang terjadi, lalu apa gunanya mengumpulkan sihir?!" ucap Nining yang dengan nada kesal.
Kedua neneknya hanya berbisik melihat tingkat Nining di pagi ini.
"Apakah dia masih kelihatan gila, Kaka?" tanya Irma yang berbisik kepada Lina.
"aaaaaaah.. mengapa lobak ini begitu tebal?" rengek Nining.
**
Sebuah mobil taksi sedang berjalan sedang, di dalam nya sudah ada Lukman yang duduk bangku belakang yang tertidur pulas, jendela mobil pun kemudian di buka sengaja oleh sang sopir, yang sudah tidak tahan mencium aroma yang tidak sedap dari Lukman, sampai sang sopir pun mengenakan masker rangkap agar bau itu tidak tercium sehingga dapat dengan baik menyetir.
Mendengar suara bising, Lukman pun kemudian terbangun karena jendela mobil terbuka, Lukman pun melihat perlakuan sopir taksinya yang mengenakan masker tebal, Lukman pun merasa canggung tapi ia abaikan, kemudian tangannya mengambil handphone yang ada di saku celananya, kemudian menelpon seseorang yang ada di restoran sup nasi milik Lina.
Hanphone Nining pun bergetar, sebuah panggilan masuk, Nining dengan sigap mengambil handphone nya lalu mengangkat telpon itu.
"Halo? Sangat? kamu benar-benar mencintaiku?" ucap Nining sambil tersenyum-senyum sendiri lalu nada bicaranya mulai meninggi.
"Apakah kamu berpikir bahwa aku akan mengubah ponsel aku hanya karena kamu mencintai aku?!" ucap Nining sambil membanting handphone nya di atas meja.
'orang yang kamu coba hubungi tidak tersedia saat ini..' sebuah pesan operator terdengar di ponsel Lukman.
"Apa yang dia lakukan?" gerutu Lukman.
Nining kembali memotong-motong lobak, dengan cara berutal. Matanya kemudian melirik kedua neneknya dengan tatapan kesal. Dan kedua neneknya pun menghindar dari tatapan Nining lalu fokus pada pekerjaan masing-masing.
Nining kemudian mengangkat ponselnya lagi dan tersenyum menerima panggilan kedua ini.
"Halo?" sapa Nining
"Bibi, ini aku. Apa yang kamu lakukan bahwa kamu tidak mengangkat telepon kamu?" ucap Lukman
"Siapa ini?" tanya Nining.
"Apa yang kamu bicarakan? Itu Lukman Hakim." Ucap Lukman.
"Siapa Lukam Hakim?" tanya Nining dengan suara datar.
"Kamu membuatku kesal! Ruang atap di gedung 63-1." Jawab Lukman
"Membangun 63-1" Nining terdiam sambil mengingat
"Siapa?" tanya Irma pelan.
"si Lukman" ucap Nining
"si Lukman?" ucap Lina dan Irma. Mendengar nama itu kedua neneknya seperti acuh dan tidak terlalu memperdulikan.
"Aku akan tiba sekitar satu jam lagi. Berikan beberapa makanan untukku. Kode pas sama sehingga kamu bisa masuk begitu saja. Ah! Kamu tahu, kan? 2 porsi yang tidak tampak seperti 2 porsi tetapi 1 porsi yang tampak seperti 2 porsi." Ucap Lukman sambil tersenyum kemudian menuntup teleponnya dan memasukan ponselnya ke saku celan nya kembali.
Sang supir merasa keheranan dan matanya melihat-lihat tingkat Lukman dari balik spion.
Dengan wajah kesal Nining kemudian menarik napas dan menaruh kembali ponselnya, di rapatkannya kedua tangannya sambil matanya terpejam, Nining mencoba mengatur napasnya karena semakin kesal atas apa yang di alami barusan ini.
"Gangguan aku meningkat." Nining menggerutu sendiri.
"Mengapa? Apakah dia meminta kami untuk memberikan 2 porsi yang tidak tampak seperti 2 porsi, tetapi apakah 1 porsei yang tampak seperti 2 porsi lagi?" tanya Irma yang paham dengan kebiasaan salah satu pelanggannya itu.
"aah... benar-benar. Bisakah kita menolak pengiriman hanya untuk satu porsi?" ucap Nining yang merasa bosan dengan pesanan Lukman.
"Hah? Apakah ini saatnya bagi kamu untuk membedakan antara pelanggan? Kamu hanya bisa mampir ke tempatnya! Apakah itu 1 porsi atau 2 porsi, mengapa itu penting?! Kamu masih tidak bisa memahami situasi kami? Cepatlah!" ucap Lina dengan nada tinggi.
"Ya buu..." Nining menjawab dengan malas
**
Nining sudah di tengah perjalanan dan akan menuju tempat para pelanggan, seperti biasa susunan nampan berisi makanan ia bopong di atas kepalanya, dengan mengenakan baju berwarna biru muda dengan spatu hak tinggi warna putih Nining berjalan dengan anggun dan santai.
Kemudian Nining mampir ke Bank tempat kerjanya pacaranya, lalu berdiri di depan jendela seperti biasa, matanya kemudian bergegas mencari sosok pria idamannya, Nining melihat sebelah kiri, sebelah kanan, dan di meja kerja pacarnya, tetapi tidak di jumpai nya. Nining kemudian merasa sedih setelah melihat di dalam Bank itu tidak ada muktilah kemudian Nining pun kembali melanjutkan perjalananya mengantarkan pesanan ke pelanggan berikutnya.
Susunan nampan sudah tinggal 2 lapis, Nining kemudian terusu melangkah bersiap menghantarkan pesanan terakhir. Di tengah perjalanan Nining melihat Muktilah yang mengenakan pakain kerja seperti biasa, sedang berjalan dengan langkah cepat, di tangannya seikat bunga ia bawa entah untuk di berikan kepada siapa.
"Ayang Mukti" Nining berkata sendiri melihat pacar, dengan rasa curiga, Nining mengikuti langkah Muktilah dari belakang, langkah Nining terhenti di persimpangan jalan, dilihatnya Muktilah yang membawa bunga di tangannya, kemudian memasuki sebuah restoran.
Perasaan Nining semakin tidak karuan melihat gelagat Muktilah itu, pikirannya semakin tidak menentu. Nining kemudian menghampiri restoran dimana Muktilah masuk. Namun sesampainya dia di restoran, ternyata masih tutup, mata Nining melihat ke sebuah tulisan 'buka jam 4 sore – 2 pagi'.
Dengan perasaan yang tidak karuan itu, akhirnya Nining melangkah secara perlahan untuk melihat lebih jauh, sedang apa Muktila di dalam restoran itu.
Nining mengamati setiap jendela restoran yang terlapisi sebuah kaca filem, sehingga hanya bisa melihat dari dalam tetapi tidak bisa di lihat dari luar, Nining melangkah secara perlahan mencari sela untuk bisa melihat kondisi di dalam.
Ada sebuah luba kecil yang tak terlapisi kaca filem, akhirnya mata Nining bisa melihat ruangan dalam resto, di amatinya bagian dalam tidak ada seseorang ataupun muktilah, hanya terlihat sebuah jas pria tergantung di salah satu cantolan resto itu. Nining kemudian akan bergegas pergi meninggalkan resto itu. Namun, dari dalam muncul suara gaduh.
Ahmmm.. aahmmmm, ah, ah ah.....
Pandangan Nining kemudian tercekam melihat seorang laki-laki dan perempuan sedang asik berpelukan sambil berciuman dengan penuh gairah.
Melihat itu, Nining bagaikan tersambar petir di siang hari, tangannya bergetar hati dan pikir semakin kacau, dengan mata kepala Nining, Muktilah sudah tega selingkuh dengan si Nunung. Nining kemudian mengambil ponsel nya dan mencoba menghubungi Muktilah, untuk memastikan apakah laki-laki yang sedang bercumbu itu bukan dirinya, rupanya ponsel Muktilah yang di taruh di atas meja beserta bunga yang di bawa nya begetar 'pengantar sup nasi restoran' nama yang memanggil pada ponsel milik Muktilah.
"Asiih..." Mukti merasa kesal karena kegiatan menicumi Nunung terganggu.
"Apa? Perusahaan kamu?" Nunung yang sudah di bakar api gairah bertanya memastikan.
"Tidak?" ucap Muktilah sambil merasa was-was dan tititnya sudah tegang.
Muktilah tidak menjawab panggilan dari Nining, tetapi langsung di matikan, lalu ponsel di letakan begitu sajah ponselnya dan lanjut lagi menyerang bibir Nunung dengan ganas.
Muktilah asik memainkan lidahnya yang masuk ke mulut Nunung, tangan Nunung pun di kalungkan ke leher Muktilah dengan kuat, dan bibirnya menerima serangan yang bertubi-tubi dari Muktilah. Dada nunung yang besar terhimpit oleh dada Muktilah yang tidak terlalu kekar.
Cumbuan mereka terhenti karena Nunung mendengar sesuatu.
"Bukankah kamu baru mendengar sesuatu?" ucap Nunung.
"Suara apa?" ucap Mukti, sambil pandangannya melihat-lihat ke arah depan.
"Aku mendengarnya. Kamu tidak mendengar apa-apa?" tanya Nunung.
Mukti masih melihat-lihat sekeliling untuk memastikan ada apakah gerangan.
Mendengar hal itu, kemudian Nunung menarik dasi Muktilah dan kembali di lumatnya bibir Muktilah, pelukan mereka semakin erat, Nunung siap menangkang namun kembali terhenti.
Di luar resto, Nining hanya diam mematung menyaksikan kejadian itu, terlihat nampan berisi mangguk sup nasi yang Nining bawa seketika itu hancur berantakan. Karena Nining merasa darah di seluruh tubuhnya berkumpul di kepala seakan mau meledak, kedua tangannya kemudian memegang kepalanya dan,
Haaaaaaaaaaaaaaaaaaa...Nining berteriak sekencang-kencangnya, membuat keadaan di dalam resto menjadi porak poranda, akibat teriakan Nining tersebut.
Muktilah dan Nunung yang sedang asik bercumbu sontak menjadi ketakuan, karena mereka berdua merasa ada sebuah gempa yang menggoncang restorannya.
Dari teriakan itu, Nining rupanya kehilangan kekuatan sihirnya, lalu ia mundur dan memutar badannya sambil melangkah dengan hati yang hancur.
Nining berjalan meninggalkan restoran itu dengan raut muka yang super galau, air matanya pun terjatuh membasahi pipinya, kecantikan dan keceriaan Nining yang biasa kini menjadi redup.
Nining terus berjalan melangkah sampai di suatu jalan, dia duduk merunduk sambil menangis sejadi-jadinya. Orang-orang di sekitarnya hanya melihatnya dengan tatapan yang aneh, namun, Nining tidak memperdulikan hal itu, hatinya bagaikan di tusuk oleh seribu pedang yang tajam, hanya air mata yang bisa mengobati Nining untuk saat ini.
******