Sepulang dari pasar Ratna dan Bude Karsih melihat rumah terlihat sangat sunyi dan sepi. Ratna melirik jam dinding ternyata pukul 08.00 pagi. Mereka membeli bahan makanan untuk membuat makanan jadi dan di jual ketetangga dan warga-warga kampung sebelah. Sudah pasti Mentari telah berangkat ke sekolah sendiri. Karna Ratna telah berpesan waktu subuh tadi untuk Mentari agar menyiapkan perlengkapan sekolahnya ketika hendak berangkat, baju seragam Mentari telah Ratna setrika dengan rapih dan tergantung manis di pegangan pintu lemari. Ratna sangat bangga dan bersyukur memiliki anak seperti Mentari. Karna anak seusianya blm tentu mengerti masalah yang tengah di alami orang tuanya.
"Ayuk Ndok kita ke dapur nanti Ibu yang akan membantumu memasak," ucap Bude Karsih menenteng plastik besar menuju dapur.
"Baik Bu, Monggo!" Ratna menyusul dengan membawa dua plastik besar di kedua tangannya masuk ke dapur.
Sesampainya di dapur Ratna berkata, "Bu, kita akan membuat apa dulu? Saya jadi ingat waktu Mentari masih bayi dan Bunga masih sekolah TK dulu Bu. Bersama Ayahnya."
"Oh iya Ndok? Inget opo?" Tanya Bu Karsih dengan logat Jawanya penasaran.
"Dulu sekali Bu, waktu sebelum perpisahan terjadi. Ayahnya anak- anak nekat membawa kami ke sesuatu Desa. Dan tempat itu sangatlah sejuk dan segar. Jauh dari perkotaan juga dari keramaian penduduk. Di sana kami tinggal bersama teman akrabnya Arya. Namanya Mas Burhan. Beliau teman sekolah Arya waktu SMA dulu. Beliau memiliki banyak kebun sayuran dan sawah berhektar-hektar dari warisan kedua orang tua Mas Burhan. Semua sayuran di tanam Mas Burhan juga istrinya yang cantik dan baik namanya Sabrina, Mas Arya sangat terpuruk saat itu. makanya Mas Arya lari menjauh dari Ibu Marni. Tak ingin berpisah dengan anak-anaknya juga istrinya, " Ucap Ratna panjang lebar.
Sambil memotong tempe kecil-kecil Bude Karsih menghayati cerita Ratna dengan seksama. Lalu Ratna mengupas bawang hingga matanya mulai berkaca-kaca.
"Mereka memiliki dua putri cantik. Anak pertama yang bernama Sari berusia 10 tahun dan putri keduanya bernama Dian berusia 8 tahun. Mereka berpaut hanya 2 tahun. Mereka suka sering membantu Ayah dan Ibunya berkebun sayuran. Lalu Mas Burhan dan Mas Arya menjual sayurannya itu ke pasar di perkotaan memakai mobil carry," lanjut Ratna lagi.
Kali ini Ratna membelender sambel balado untuk telur yang sedang di rebus dan tempe orek.
"Terpaksa kami menyekolahkan Bunga di Desa terpencil tersebut. Kadang saya menitipkan Mentari pada Istri Burhan, yaitu Mbak Sabrina karna harus mengantar jemput Bunga sekolah TKnya yang cukup jauh dan harus melewati jembatan gantung. Saya khawatir saat itu takut terjadi hal yang buruk dengan Bunga. Padahal kekhawatiran saya berlebihan. Banyak anak-anak sekolah menyebrangi jembatan gantung tersebut bertahun-tahun tapi mereka masih beruntung selamat. Salah satu Warga Desa di sana pernah mengatakan kepada saya, kalau jembatan itu aman dan kokoh. Tetap saja hati saya masih was-was. Sebelum kami ke Desa terpencil tersebut, Mas Arya mengirimi pesan melalui surat kepada Ibunya, Marni namannya. Isi pesan itu mengatakan bahwa Mas Arya butuh waktu untuk menerima semuanya dan janji akan kembali dan akan memenuhi keinginan ibunya. Semua nomor ponsel telah di matikan untuk menghindar dari Ibu Marni dan Jesicca, Bu."
"Tak terasa waktu terus bergulir. Selama 4 tahun lamanya kami tinggal di Desa terpencil tersebut hingga kami pun kembali lagi ke kontrakan ini lagi. Kami bukan tidak betah. Tapi tak ingin merepotkan keluarga Mas Burhan dan Mbak Sabrina, walaupun kami ikut bekerja di sana. Mereka sangat ramah. Seperti saudara menyambut kita dengan tangan terbuka waktu itu, Bu."
Semua makanan hampir rampung setengah. Tinggal membuat urap daun singkong dan mengoreng kentang.
Ratna memulai melanjutkan ceritanya kembali.
"Kami kembali menyekolahkan Bunga di SD dekat sini dan memulai hidup yang baru lagi. Tapi yang bisa saya lakukan hanya menjahit. Kembali Arya menyalakan ponselnya dan banyak pesan dari Ibunya untuk kembali kepadanya memenuhi janjinya. Saat itu Mas Arya menghela nafas ["Aku akan melakukan sesuatu agar kita mendapatkan penghasilan lagi."] Mas Arya menelpon semua relasinya dan teman-temannya agar mau membantunya di saat ekonomi seperti ini. Tapi hanya salah satu teman kuliahnya dulu bernama Musri ingin membantu mengorder baju seragam untuk karyawannya di restoran. Dari situ kami mendapatkan orderan 50 pcs baju seragam. Kami bekerja keras semaksimal mungkin dalam waktu kurang lebih sebulan dengan kerja keras kami dapat melakukannya. Dan kami bisa menyelesaikan masalah ekonomi kami ini Bu Karsih."
Bude Karsih tersenyum mendengar cerita Ratna dan Ratna masih berkutat dengan membungkus makanan ke plastik lalu mengikatnya.
"Sampai pada akhirnya setahun kami tinggal di sini. Bu Marni pun mengetahui keberadaan kami lewat temannya Musri. Waktu itu Bu Marni sedang bersama Jesicca sedang melakukan makan siang di restoran milik Musri. Lalu mungkin Mustri tak sengaja menceritakan perihal orderan baju seragam itu ia bertemu dengan Mas Arya dan Saya waktu itu. Tak berlangsung lama datanglah Bu Marni dan Jesicca ke kontrakan kami ini. Dengan amarah Bu Marni yang memuncak ["Apa yang kamu lakukan beberapa tahun ini? Tak ada kabar hanya surat ini. Apa kamu pikir dengan surat ini dapat meluluhkan Mamah?"] Di lemparkannya selembar kertas berisikan surat tersebut ke wajah Mas Arya. Mas Arya hanya bisa menunduk dan Mas Arya tak berbicara sepatah katapun. Saya juga terdiam. Saya tak bisa berbuat apa-apa saat itu." Ratna menangis tiba-tiba air matanya mengalir membasahi pipi. Di usapkannya air mata Ratna dengan tisu yang ada di meja makan oleh Bude Karsih dan mengelus-elus pundak Ratna.
"Sudahlah Ndok, jangan bersedih lagi. Ingat Mentari sekarang ya Ndok," ucap Bude Karsih menyemangati.
"Saya sedih Bu, waktu itu Bunga di bawa paksa pas pulang dari sekolahnya. Tanpa mengganti baju seragam dan tanpa berpamitan dan memeluk dulu pada saya." Air mata Ratna tak terbendung lagi. Menangisi dan meratapi masa lalunya dengan pahit. Inilah takdir tak dapat di pungkiri.
Bude Karsih memeluknya erat. Menenangkan hati Ratna yang kembali terluka dan tak dapat terobati oleh obat apapun.
Makanan matang mereka telah selesai. Begitu banyak makanan bervariasi di ikat dengan plastik es itu. Di taruh di plastik merah besar dan siap untuk di jual.
"Mamah, Mentari sudah pulang. Hmmm!" ucap Mentari hidungnya mencium masakan yang enak dari dapur.
Tak terasa pagi telah berganti siang. Mentari berlarian kecil memasuki dapur
"Mamah sama Bude lagi masak apa? Kok banyak banget," tanya Mentari melirikan matanya ke arah plastik merah besar tersebut.
"Eh Mentari sayang sudah pulang, ganti baju dulu ya Nak. Abis itu makan ada makanan kesukaan kamu loh," ucap Ratna membereskan plastik merah besar itu ke meja makan.
"Ok Mamah!" jawabnya langsung menuju kamar untuk berganti pakaian seragamnya dengan kaos dan celana panjang legging nya.
Di meja makan Mentari makan Ayam goreng dan tempe orek. Wajahnya sumringah senang. Karna jarang-jarang Mentari makan-makanan yang banyak ini dan enak-enak. Biasanya hanya nasi goreng, ceplok telur dan tempe kadang tahu.
"Mamah, ada acara apa kok banyak sekali makanannya?" tanya Mentari sembari menggigit paha ayam goreng.
Bude Karsih menjawab, "Habiskan dulu makanannya baru boleh ngomong Ndok. Mamah sama Bude mau berjualan keliling." Bude Karsih tersenyum.
Ratna menyapu lantai dapur dan berkata, "Kamu di rumah aja ya sayang. Nanti Mamah sama Bude mau jualan dulu buat beli ayam goreng kesukaan Mentari ya Nak."
"Mentari kenapa gak boleh ikut Mamah sama Bude berjualan? Memangnya gak boleh ya?"
Ratna menghampiri Mentari dan mengelus rambut panjang hitamnya. "Bukan begitu sayang. Kamu masih kecil. Kamu tuh fokusnya belajar dan sekolah aja ya sayang. Gak perlu ikut kami berjualan, ya sayang. Ngerti kan Nak?"
Mentari mengangguk tanda mengerti.