"Basket? gimana dengan basket?"
Zafran diam membisu setelah menanyakan pertanyaan yang baru saja dilontarkannya. Tatapannya begitu hampa melihat Sarah, dua orang itu hanya saling bertatapan. Dan untuk kesekian kalinya, Zafran merutuki dirinya yang sempat berfikir aneh-aneh.
Lalu Sarah tersenyum dan menggeleng kecil, "Nggak bisa!"
Mendengar itu, Zafran langsung tersadarkan, lalu mengangguk cepat.
"Gitu, ya?" tanya Zafran kehabisan kata.
"Memang kenapa?" tanya Sarah balik.
"Hah?" sontak Zafran kebingungan, "Itu, gue hanya bertanya karena sebentar lagi Festival Olahraga Tahunan akan dilaksanakan. Lo nggak berpartisipasi? mau ikut apa?"
Sarah tampak berfikir, "Festival? kapan?"
"Minggu depan! Gue hanya menawarkan diri, kalau lo mau ikut latihan basket dengan gue bersama anak kelas kita yang lain. Yah! cuma latihan, karena gue yang jago basket ini ingin memamerkan kemampuan gue. Karena itu gue tanya." jawab Zafran refleks dengan bohong. Zafran tidak dapat memikirkan jawaban yang lain.
Sarah tersenyum tipis, "Boleh juga."
Zafran tersenyum kikuk, lalu kembali berjalan beriringan dengan Sarah. Entah kenapa Zafran masih bertanya-tanya kenapa dirinya bertanya seperti tadi pada Sarah? padahal sudah jelas jika Sarah tidak bisa bermain basket.
"Saya nggak berpartisipasi, karena nggak bisa." ucap Sarah menatap pada jalan di depannya.
Zafran mengangguk, sudah mengerti dengan kondisi dan alasan Sarah. Detik berikutnya, Zafran mengingat sesuatu. Langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas putih yang dilipat menjadi empat bagian. Zafran memberikannya pada Sarah.
Sembari berjalan, Sarah menerima kertas tersebut dengan bingung, berkali-kali Sarah memutar kertas di tangannya.
"Ini dicatat, ya!" ingat Zafran tentang kertas pengenalan dirinya. Dan Zafran sudah menjadikan catatan itu sebagai hal wajib yang harus diberikannya pada Sarah setiap hari. Sama seperti dirinya yang selalu mengenalkan diri pada Sarah.
"Yang ini kertasnya nggak bunga-bunga. Kali ini kertas putih, jernih, murni, dan suci dari motif-motif seperti punya Mimi."
Sarah sepertinya mengerti maksud kertas tersebut. Lalu, mengangguk dan memasukkan kertas itu ke dalam saku miliknya.
Akhirnya, tidak ada lagi pembicaraan. Sarah dan Zafran fokus menuju Ruang Laboratorium yang kini sudah berada di depan mereka. Tanpa banyak kata, mereka menyelesaikan tugas mereka dan masuk ke dalam ruangan tersebut.
***
Akhirnya Zafran bisa bernafas lega setelah selesai dengan alat-alat praktik. Cowok itu kini berjalan dengan memasukkan dua tangannya dalam saku sembari bersenandung dengan santai melewati koridor-koridor kelas.
Usai dari Laboratorium, Zafran dan Sarah berpisah karena Sarah yang mengatakan jika dirinya ingin ke suatu tempat di sekitar sana. Untuk kali ini Zafran tidak ingin terlalu mau tahu dan peduli kemana Sarah akan pergi.
Saat sibuk bersenandung, mata Zafran terhenti di sebuah Mading besar, dan secara bersamaan tubuhnya ikut terhenti. Mata Zafran fokus melihat tempelan berupa artikel di Mading tersebut. Dengan dahi berkerut, Zafran membaca tempelan di sana.
"Murid dengan jalur prestasi terbaik?" tanya Zafran sendiri sembari membaca.
"Peraih juara Olimpiade Basket SMP tingkat nasional?"
Zafran menatap lama gambar seorang pria berseragam basket dengan memamerkan medali emas sembari merangkul bola basket. Senyumnya begitu mengembang, terlihat sangat bahagia. Zafran pun membaca nama pemilik foto tersebut.
"GALEN MAHENDRA?" teriak Zafran begitu kaget dengan apa yang dibacanya. Zafran sontak menutup mulutnya, dan celingak-celinguk melihat apakah ada orang yang mendengar teriakannya. Zafran tidak dapat menahan kekagetannya ketika nama Kapten Basket SMA Angkasa terpampang jelas di sana. Nama yang sangat ingin Zafran rebut dan gantikan jabatannya itu ternyata bukan main-main.
Setelah memastikan tidak ada orang, Zafran pun kembali menatap Mading dengan tatapan tidak percaya. Zafran mendesis panjang.
"Orang ini? wah.... bukan main-main, sangat di luar dugaan!"
"Gue yakin kemampuan gue lebih baik. Juara Olimpiade Basket tingkat SMP?" Zafran mendecih keras. "Masih kecil!"
Zafran memukul-mukul dadanya tidak mau kalah, "Gue akan dapatkan gelar peraih medali emas tingkat SMA secara Internasional. Dengan penghargaan pemain basket tertampan, mapan, dan sopan. Kalau bisa, gue akan dapatkan medali terbuat dari Intan Permata. Lihat aja!"
Zafran terus saja menyombongkan dirinya, merasa tidak ingin kalah. Tak lama, Zafran menyipit melihat foto Galen di Mading.
"Ngomong-ngomong, dia SMP mana, ya?" tanya Zafran.
"Mimpi kamu terlalu tinggi kalau ingin berada di sana juga!" ucap seorang pria. Zafran beralih menatap pria tersebut. Hal pertama yang Zafran lihat dari pria itu adalah, kumisnya!
"Sebagai guru, Bapak itu seharusnya mendukung murid. Bukan mematahkan semangat!" sinis Zafran pada Guru Kimia di depannya ini.
"Kamu anggap Bapak guru kamu?" tanya Pak Surya dengan senyuman usilnya.
Zafran mendesis, "Saya anggap Bapak guru murid-murid di sini. Tapi, Bapak tetap teman Papa saya yang paling mengesankan!"
"Apanya yang mengesankan?"
"Kumisnya!"
Pak Surya langsung mendecih mendengar jawaban Zafran. Padahal, ia sudah sempat merasa tersanjung karena dipuji oleh Zafran. Akhirnya Pak Surya hanya bisa memaksakan senyum, menepuk bahu Zafran dengan sabar.
"Ternyata kamu memang mirip Papa kamu, ya?" tanya Pak Surya.
"Nggak mungkin mirip Bapak! gen kita sangat berbeda." jawab Zafran dengan usil lagi.
Tidak ingin membalas ucapan Zafran, Pak Surya pun memilih mendekat ke samping Zafran, ikut menjuru menatap tempelan-tempelan Mading. Begitu banyak anak-anak berprestasi yang ditempel di sana, membuat guru kimia tersebut menghela nafas berat dan menggeleng pelan.
"Mereka anak-anak yang luar biasa! tidak seperti anak di samping saya ini!" sindir Pak Surya.
Merasa tersindir, Zafran pun menunjuk foto Galen di hadapan Pak Surya. "Saya akan dapatkan posisi ini! saya harap Bapak nggak lupa kalau saya mahir bermain basket."
"Maaf, Bapak lupa." ucap Pak Surya bercanda. Membuat Zafran berdecak kesal sendiri.
"Ngomong-ngomong, anak yang kamu tunjuk itu, juga dapat juara di kelasnya." Pak Surya menginfokan.
Zafran tiba-tiba terbungkam, tidak dapat berkata-kata lagi, rasanya ia benar-benar kalah telak oleh Kapten Basketnya sendiri. Tapi, bukan Zafran namanya jika tidak teguh pada pendiriannya. Buktinya, Zafran malah mengepalkan tangannya dengan semangat, menunjukkan pada Pak Surya jika dirinya adalah anak dari Bapak Evan sang pekerja keras.
"Kita lihat, kalo saya bisa jadi kapten basket SMA Angkasa!" semangat Zafran.
Pak Surya tersenyum, menepuk bahu Zafran pelan.
"Kalau bisa, akan bapak hadiahkan nasi plus dengan garam."
Zafran menggeleng, lalu berkacak pinggang dengan bangga.
"Nggak! Bapak harus potong kumis Bapak!"
Setelah mengatakan itu, Zafran langsung berbalik badan dengan tersenyum puas. Meninggalkan Pak Surya yang kini tengah menutup mulutnya, atau yang lebih tepat sedang menutup kumisnya karena merasa takjub dengan ucapan Zafran.
"Kamu mau kemana, Zafran?" tanya Pak Surya menyadari jika Zafran sudah meninggalkannya.
Zafran berbalik, dan mengembangkan senyumnya pada Pak Surya.
"Ada Mie Ayam Bakso tanpa saus, sambal, dan kol yang sedang menanti saya." lalu Zafran berjalan meninggalkan Pak Surya begitu saja.
Guru kimia itu pun hanya dapat menggeleng takjub beberapa kali. Ia menghembuskan nafasnya dengan panjang dan berat.
"Semoga otak anak itu dapat membedakan Proton, Neutron, dan Electron terlebih dahulu!"