Delon masih saja duduk di kursi nyaman dikantornya. Ia memutar-mutar ujung bolpoinnya sembari memikirkan suatu hal yang menguras emosinya. Ia memikirkan kejadian yang menimpa Kania semalam, dan di tambah lagi ia mengerahkan semua orang suruhannya untuk mencari ibu kandungnya. Kini Delon telah sadar, ia sudah beranjak dewasa, tanggung jawabnya begitu besar. Kini bukan saatnya untuk berfoya-foya dan menghabiskan waktunya untuk main game.
Seseorang telah mengetuk pintu ruangan Delon, "Tok..tok.."
"Masuk!!"
Wildan masuk ke ruangan Delon dengan membawa sejumlah informasi.
"Sesuai perintah mas Delon. Saya sudah mencari tau ke semua rumah sakit bahkan klinik kecil di kota ini. Mereka tidak pernah mengurus jenazah yang bernama Soraya Wijaya dalam 20tahun terakhir ini. Dan Saya sudah kerahkan semua orang untuk mencari di dinas sosial atau desa pelosok sekalipun." Papar Wildan dengan tegas.
"Berarti masih ada harapan, kalau ibu saya masih hidup!!" Kata Delon penuh harap. Ia kembali memutar otaknya untuk mendapatkan cara bagaimana mencari ibunya.
"Apa menurutmu cara ini efektif??" Tanya Delon.
"Kita akan berusaha sekuat tenaga dan melakukan segala cara untuk mencari ibu Soraya" jawab Wildan.
"Terimakasih Wildan. Kamu benar-benar partner yang hebat!!" Kata Delon memuji Wildan.
"Untuk perampok yang tadi malam menyerang nona Kania, dia adalah suruhan orang kompetitor Wijaya Groub, yang beberapa bulan lalu separuh asetnya kita sita karena hutangnya yang belum terbayarkan" terang Wildan.
"Kurang ajar.... Bisa-bisanya mereka mengincar adikku. Tolong mulai sekarang perketat pengawalan Kania. Dan satu lagi, jangan sampai Kania merasa risih dengan kawalan ini!!!" Perintah Delon.
"Maksut mas Delon, apa kita mengawal nona Kania dari kejauhan??" Tanya Wildan memperjelas.
"Iya benar!!!" Ungkap Delon.
"Baik. Lima menit lagi mas Delon ada jadwal meeting dengan perusahaan textil" ucap Wildan.
"Apa papa juga hadir?" Tanya Delon.
"Pak Wijaya hari ini sedang mendatangi undangan pameran Seni di Hotel Sam Ratulangi" jawab Wildan menegaskan.
"Baiklah, siapkan semuanya!!" Perintah Delon.
"Baik mas Delon, permisi!!!" Ucap Wildan sembari bergegas meninggalkan ruangan Delon.
Delon kembali berfikir, cara apa apalagi yang harus ia lakukan untuk menemukan ibu kandungnya. Ia hanya mempunyai beberapa berkas seperti akta lahir ibunya, dan sebuah ijazah saja. Beberapa file penting menghilang begitu saja, entah ada yang sengaja menghilangkan semua berkas itu, atau memang hilang dimakan waktu. Ia menghembuskan nafas panjangnya, kemuadian berdiri tegap, merapikan pakaiannya. Setelah itu ia mengambil beberapa map penting di mejanya, dan bergegas ke ruang meeting.
...
Kania membuka matanya perlahan. Tubuhnya tak bisa digerakkan, rasanya seperti remuk. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Ia membuka selimutnya dan ingin duduk bersandar di ujung ranjangnya. Tetapi untuk mengangkat tubuhnya saja dia tak sanggup.
Tiba-tiba asisten rumah tangganya datang membawa sarapan untuk Kania, "Nona Kania biar saya bantu, sebentar!!"
Asisten itu menaruh nampan berisi makanan di meja Kania, dan membantu Kania untuk duduk.
"Apa perlu saya panggilkan dokter untuk Nona??" Tanya asisten itu.
"Iya, panggilkan untukku. Badanku rasanya sakit semua!!" Perintah Kania.
"Baik Nona. Saya akan menelfon dokter!!" Kata asisten itu sembari akan pergi dari kamar Kania.
"Tunggu, siapa yang membawaku ke kamar semalam??" Tanya Kania penasaran, karena seingatnya semalam dia duduk di sofa dengan Miko.
"Pria yang bersama Nona semalam yang membawa Nona ke kamar. Nona Kania tertidur di sofa, dan pria itu membopong Nona ke kamar!!" Terang asistennya.
"Miko??? Yasudah kamu boleh pergi!!"
Kania tersenyum sendiri ketika dia tau Miko lah yang membawanya ke kamarnya. Ia melihat luka di siku dan lututnya. Semuanya terbungkus plester dengan rapi. Kania tak menyangka, Miko melakukan semua ini. Tapi setelah mengingat kembali kejadian semalam, Kania masih shock dan takut untuk keluar rumah.
...
"Apa?? Kania diserang perampok??!!" Seru Sonya dan Tania serentak. Setelah Miko menceritakan semuanya.
"Handphone nya sampai sekarang nggak aktif, gue khawatir banget!!" Ungkap Sonya khawatir dengan keadaan Kania.
Mereka bertujuh berkumpul di kantin sekolah pada jam istirahat. Sonya dan Tania mengorek info tentang Kania, karena dia tidak masuk sekolah dan handphone nya juga tidak aktif. Satria, Sendy dan Revan pun terkejut saat mendengar cerita Miko. Apalagi Revan, ia merasa menjadi orang yang tidak berguna sama sekali. Bahkan Kania dalam bahaya pun dia tidak tau. Revan menganggap dirinya seperti pengecut, ia hanya mampu mengagumi, tapi untuk menjaga keselamatan Kania ia tak sanggup.
"Lu kenapa Van, wajah lu berubah gitu!!" Sindir Sendy. Seketika semua orang menatap wajah Revan, yang memerah dan gelisah.
"Eng--enggak, gue cuma khawatir aja sama Kania" jawabnya terbata-bata.
Miko menatap tajam wajah Revan. Kali ini ia sadar, kalau Revan sepertinya juga menyimpan rasa kepada Kania. Tapi dalam hati Miko ia tidak akan membiarkan ini terjadi, siapapun tidak akan bisa memiliki Kania. 'Kania hanya milik gue!!' pikir Miko.
Seketika Revan meninggalkan kantin tersebut, saat semua sahabatnya mengetahui raut wajahnya yang berbeda. Dia memberikan alasan untuk pergi ke toilet. Akan tetapi Miko merasa sikap Revan ada yang aneh. Dia bermaksud akan mengikuti Revan diam-diam.
Sonya, Tania, Sendy dan Satria tak menghiraukan mereka berdua, mereka tetap melanjutkan makan siang yang sudah di pesan. Dan benar saja, Revan tidak menuju arah toilet. Ia menuju ke belakang sekolah, lebih tepatnya menuju ke arah lapangan basket. Ia bersandar pada sebuah dinding diujung lapangan. Revan mengeluarkan handphone dari sakunya. Dan mencari nama Kania. Untuk pertama kalinya, dia memberanikan diri menekan tombol telepon pada handphonenya. Setelah menunggu beberapa detik, panggilannya tersambung.
{Hallo, ini siapa ya?}
{Kania, gu-gue Revan. Gimana kabar lu? Udah baikkan?}
{Oh, Revan temennya Miko ya?? Gue udah agak mendingan. Barusan dokter meriksa gue!}
{Syukurlah!!}
{Oh ya, tolong sampein ke temen-temen gue ya. Tadi handphone gue mati. Soalnya gue lihat mereka pada nelfonin gue.}
{Iya Kan. Ntar gue sampein. Lu cepet istirahat ya. Bye}
{Oke bye bye Revan}
Revan mematikan teleponnya. Untuk pertama kalinya dia berani menelpon Kania, dan berani bicara dengan Kania. Jantungnya berdetak kencang, padahal ini hanya mendengar suara Kania dari telepon. Tapi Revan sudah merasa tak karuan. Miko mengawasi Revan dari balik dinding, ternyata dugaannya benar. Revan memiliki perasaan ke Kania. Kali ini saingan Miko bukan hanya Willy. Tapi sahabatnya sendiri. Miko mengepalkan tangannya, ia merasa geram. Ia tak ingin persahabatannya hancur gara-gara seorang wanita. ' kenapa harus Revan sih?' gerutunya dalam hati. Miko pun meninggalkan lapangan basket dan kembali menuju kelasnya. Ia terdiam memikirkan hal ini. Ia begitu mencintai Kania, tapi dia juga sangat menghargai persahabatannya.